Popular Post

Posted by : Unknown 22 February 2015

Fan fiction Anime Naruto

Ha! Sakura memang buta sekali soal musik. Bisa dibilang di situlah ia tidak bisa tampak mengagumkan. Entah mengapa hal itu membuatku senang dan aku menyeringai dalam hati.

Part 6

“Confessions”

“Baik, anak-anak. Setelah bab lalu kita mempelajari tentang seni peran, sekarang kita memasuki cabang seni yang lain, yaitu seni musik. Dan setelah melihat bakat-bakat besar pada diri kalian, saya menjadi optimis untuk mengadakan audisi untuk kalian. Sebenarnya ini merupakan tes biasa, untuk mengambil nilai kalian. Tapi, tes ini bisa juga disebut tidak biasa, karena kali ini saya sekaligus mencari siapa di antara kalian yang akan tampil pada perayaan ulang tahun sekolah ini yang akan diadakan 3 minggu lagi. Minggu depan tes dan audisi dari saya, dua minggu kemudian orang-orang yang lolos audisi akan tampil pada perayaan bergengsi di sekolah itu. Jadi, kalian harus berusaha semaksimal mungkin untuk penilaian pekan depan.” Ujar Ms. Kurenai Yuhi, guru kesenian kami.
Semua murid di kelasku melongo mendengarnya. Tidak biasanya penilaian praktek menjadi seserius ini. Memang, biasanya yang tampil di acara ulang tahun sekolah adalah anak-anak yang nilai-nilai keseniannya bagus-bagus. Tapi tidak hanya dari seni musik, karena biasanya ada juga pertunjukan drama, pembacaan puisi, dan sebagainya.
“Kalian mungkin heran mengapa saya lebih menekankan pada seni musik. Well, itu karena… pada malam perayaan ulang tahun sekolah tahun ini, kita kedatangan seorang tamu istimewa. Beliau adalah Mr. Zetsu, salah satu pencari bakat musik ternama dari Konoha Music School. Jadi, saya ingin beliau menemukan bakat di antara kalian. Dan orang yang beruntung itu akan masuk Konoha Music School tanpa tes dan mendapatkan beasiswa penuh!” lanjut Ms. Kurenai semangat.
Dalam sekejap ruangan menjadi riuh oleh siswa-siwi yang terperanjat dan berbisik-bisik satu sama lain. Setiap tahun, sekolahku memang selalu merayakan ulang tahunnya. Dan siapa pun yang bisa tampil malam hari itu adalah orang yang beruntung, karena popularitasnya akan menanjak drastis. Event ini bahkan jauh lebih ‘wah’ daripada pertunjukan drama yang diadakan beberapa waktu lalu, karena pertunjukan itu hanya bagian dari pelajaran kesenian, tidak semua warga sekolah menontonnya, bahkan kepala sekolah tidak hadir. Tetapi beda dengan acara ulang tahun sekolah. Mulai dari kepala sekolah, dewan guru, seluruh siswa, bahkan para orang tua murid hadir pada acara itu.
Tapi kami benar-benar tidak menyangka tahun ini ada yang berbeda. Selain popularitas, hal yang juga diincar oleh siswa-siswi tentunya kesempatan masuk Konoha Music School tanpa tes, dengan beasiswa penuh pula! Jadi, bisa kukatakan, tidak hanya murid yang gila popularitas yang menginginkannya, tetapi juga mereka yang terobsesi masuk Konoha Music School, mereka yang ingin beasiswa, mereka yang ingin memiliki masa depan cerah melalui sekolah musik ternama itu. Intinya, semua murid berlomba-lomba untuk memenangkan audisi!
zzz
“Hinata, kau tampak bersemangat sekali. Ada apa?” Tanya Sakura saat kami pulang sekolah bersama. Hari ini Sakura tidak ada jadwal les atau latihan taekwondo.
“Ah, tidak juga. Aku hanya ingat perkataan Ms. Kurenai tadi.”
“Oh, audisi itu. Ya, semua orang tampaknya benar-benar mempersiapkan diri sebaik mungkin. Kau juga harus begitu, Hinata. Suaramu kan sangat bagus.” Kata Sakura.
“Kau tampaknya tidak terlalu tertarik dengan audisi ini.” Ujar Sasuke pada Sakura dengan heran.
“Tertarik? Well, siapa yang tidak ingin? Tapi, aku tahu diri. Kemampuan bermusikku nol besar. Jadi persiapanku hanya sebatas untuk penilaian, agar nilaiku tidak sangat hancur. Sama sekali tidak berpikiran untuk lolos audisi.” Sahut Sakura muram. Baru kali ini aku melihatnya begitu pesimis.
“Kau jangan pesimis begitu, apa kau percaya keajaiban?” tanyaku pada Sakura.
Sakura mengangguk, “Aku percaya kehendak Tuhan, tapi aku tidak bisa terlalu mengharapkan sesuatu yang memang di luar kemampuanku. Karena mungkin memang bukan di situ jalanku. Aku tidak mau bergantung pada keajaiban.”
Aku terdiam. Aku memang ingin ‘mengalahkan’ Sakura, dan akan lebih mudah bila Sakura memang tidak berniat untuk menampilkan semaksimal mungkin, tapi aku ingin ‘mengalahkannya’ dengan lebih terhormat. Aku ingin Sakura lebih bersemangat untuk tampil maksimal dan aku bisa jauh lebih bagus daripada dirinya. Itu persaingan yang kuinginkan. Bukan menang dari orang yang memang tidak ingin memenangkannya.
“Seperti apapun penampilanmu minggu depan, lakukan yang terbaik. Usahakan yang terbaik. Kita tidak tahu apa yang direncanakan Tuhan untukmu, yang bisa kau lakukan hanyalah berusaha semaksimal mungkin. Masih ada waktu untuk berlatih. Ingat! Semua murid berambisi untuk lolos audisi, jadi bisa kau bayangkan seperti apa usaha mereka. Bila kau hanya menargetkan nilai yang tidak hancur –bahkan kau tidak mengharapkan nilai bagus-, usahamu pasti jauh di bawah mereka semua. Apalagi kau bilang kau sama sekali nol dalam bermusik. Yang ada pasti hasilnya penampilanmu sangat amat buruk, karena penampilan yang mungkin di saat tidak ada event khusus seperti ini merupakan penampilan standar, akan menjadi sangat buruk di antara penampilan-penampilan lain yang istimewa. Bisa diibaratkan bebek standar di antara bebek-bebek akan tampak seperti itik buruk rupa di antara angsa-angsa rupawan.” Wejang Sasuke panjang lebar. Aku belum pernah mendengarnya bicara sepanjang ini.
“Sasuke benar sekali, Sakura. Bersemangatlah seperti biasanya. Kita bisa berlatih bersama-sama.” Dukungku tulus. Well, seperti yang kukatakan tadi, aku ingin Sakura bersungguh-sungguh agar aku bersemangat menjalani ‘kompetisi’ ini.
zzz
Setelah seminggu penuh aku, Sakura, dan Sasuke berlatih bersama (aku bernyanyi, Sakura bermain keyboard, dan Sasuke bermain gitar), kami siap untuk penilaian sekaligus audisi itu. Walaupun berlatih bersama, tetapi kami tampil sendiri-sendiri, karena Ms Kurenai ingin melihat kemampuan individu kami.
Sakura tampak memejamkan mata sambil menghela napas dalam-dalam sebelum mulai menekan tuts-tuts keyboard. Aku jadi teringat tips yang diberikan Sakura itu beberapa waktu lalu. Memang sangat membantu. Aku ikut berdoa dalam hati. Aku ingin Sakura tampil dengan baik.
Dan benar saja, penampilan Sakura bisa dibilang cukup baik. Bahkan sangat baik untuk orang yang tidak memiliki kemampuan dasar sepertinya. Gemblenganku dan Sasuke rupanya membuahkan hasil. Aku tersenyum puas.
Setelah Haruno Sakura, selanjutnya adalah aku, Hyuuga Hinata. Dengan sedikit gugup aku maju menghadap Ms Kurenai. Aku melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Sakura tadi untuk menenangkan diri.
There’s a song that’s inside of my soul
It’s the one that I’ve tried to write over and over again
I’m awake in the infinite cold
But You sing to me over and over and over again…
Aku menyanyikan lagu Mandy Moore yang berjudul Only Hope, sebuah lagu dari salah satu film kesukaanku, A Walk to Remember. Membayangkan menjadi Jamie Sullivan dalam film itu, aku menjadi sangat menghayatinya. Seolah-olah aku memang benar-benar Jamie yang sedang tampil dalam drama musikal musim semi, Tommy “The Guns”, menjadi Alicia, penyanyi klub yang misterius.
So I lay my head back down
And I lift my hands and pray
To be only Yours
I pray to be only Yours
I pray to be only Yours
I know now You’re my only hope.
Tepuk tangan dari teman-teman mengembalikanku pada kenyataan, menjadi Hyuuga Hinata yang sedang tampil untuk penilaian dan audisi menghebohkan itu.
Saat berjalan kembali ke tempatku semula, aku melihat tatapan mata Ms Kurenai berbinar-binar, seperti orang yang menemukan apa yang dicari-carinya sekian lama. Aku tersenyum dalam hati. Semoga saja aku tidak terburu berbangga diri.
Setelah aku duduk di tempatku semula, puluhan pasang mata teman-temanku masih saja mengikutiku walaupun sudah ada temanku yang maju. Mereka tak henti-hentinya menatapku kagum, sampai aku jadi risih dibuatnya.
“Super!” kata Naruto yang langsung menghampiriku untuk memberiku selamat.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Untuk penampilanmu yang luar biasa itu. Aku yakin kau akan tampil 2 minggu lagi di aula dengan ratusan pasang mata menatap kagum padamu.”
“Jangan berlebihan. Kau bahkan belum melihat semuanya, mungkin saja ada yang lebih bagus dariku.” Ujarku merendah, walau dalam hati aku sama optimisnya dengan dia. Hanya saja aku tak mau terburu merasa senang sebelum benar-benar memastikannya.
Setelah Naruto kembali ke tempat duduknya, Sakura dan teman-temanku yang lain langsung berbisik-bisik memanggilku untuk memberi ucapan selamat dan menyatakan keyakinan mereka kalau aku pasti lolos, atau sekadar mengacungkan kedua ibu jari tangannya.
Aku hanya tersenyum dan berterima kasih.
Tapi, mengapa Sasuke tidak termasuk di antara mereka?
Aku menoleh ke arahnya. Ku lihat ia sedang memperhatikan temanku yang sedang tampil. Semua teman yang tampil diperhatikan olehnya. Sama sekali tidak mengalihkan secuil pun perhatiannya untuk sekadar menoleh dan tersenyum padaku sebagai ucapan selamat.
Tenang, Hinata, mungkin ia hanya tidak mau gegabah seperti yang lain.’ Hiburku pada diriku sendiri.
zzz
“Hinata, Sasuke, kalian benar-benar luar biasa, kalian terpilih untuk tampil pada perayaan ulang tahun sekolah. Bayangkan, dalam waktu seminggu di saat yang lain sibuk berlatih masing-masing, kalian justru sibuk mengajari aku. Tapi kalian bisa tampil luar biasa sehingga mengalahkan mereka. Aku yakin, kalau kalian memaksimalkan waktu 2 minggu ini untuk berlatih intensif, kalian akan mendapatkan tiket emas itu. Aku doakan kalian dan aku dukung kalian sepenuhnya!” ujar Sakura padaku dan Sasuke sepulang sekolah.
Ya, yang terpilih adalah aku dan Sasuke. Sasuke tadi menampilkan permainan gitar yang sangat luar biasa. Jemari tangannya dengan lincah memainkan senar-senar gitar sehingga menghasilkan nada-nada rumit yang indah. Sasuke juga mendapat perlakuan sepertiku dari teman-teman. Dan aku tidak mengucapkan selamat padanya seperti halnya ia tidak mengucapkan selamat padaku.
Ms. Kurenai tadi berpesan pada kami untuk menyiapkan masing-masing dua buah penampilan, satu solo dan satu lagi kami tampil bersama. Jadi itu artinya selama 2 minggu ini aku akan banyak menghabiskan waktu dengan Sasuke.
Aku menghela napas lega. Akhirnya aku mendapatkan Sasuke-ku kembali. Dan Sakura sementara ini akan menyingkir dari kami untuk membiarkan kami berkonsentrasi latihan. Hanya pulang-pergi bersama kami. Tidak ada berlatih bertiga seperti seminggu yang lalu. Fiuuh, ternyata keputusanku untuk mengorbankan seminggu ‘membagi Sasuke’ dengannya berbuah manis untukku.
zzz
Kupikir, aku akan benar-benar bisa ‘mendapatkan kembali’ Sasuke-ku. Tapi ternyata aku salah.
Sudah seminggu lebih berlalu dari waktu dua minggu intensifku dan Sasuke. Tapi Sasuke masih tidak seperti Sasuke-ku yang dulu. Bahkan seminggu ini tidak bisa disebut intensif karena intensitas pertemuan kami lebih jarang daripada saat kami latihan bertiga bersama Sakura. Ia selalu beralasan kalau kami sebaiknya fokus dulu pada penampilan solo kami, setelah itu kami baru akan berlatih bersama secara intensif pada minggu kedua. Tapi kenyataannya, sudah 2 hari dari minggu kedua tidak ada perubahan apapun dalam intensitas pertemuan kami.
“Sasuke, ini sudah minggu kedua. Mengapa latihan bersama kita tetap 2 jam per hari? Saat kita berlatih bersama Sakura saja kita menghabiskan waktu 4 jam setiap harinya.” Protesku halus.
“Hinata, dengarkan aku. Kau, aku, dan Sakura itu berbeda. Sakura tentu membutuhkan waktu yang banyak untuk meningkatkan kemampuannya yang sangat payah itu. Kalau aku, lebih bisa berkonsentrasi latihan seorang diri. Sedangkan kau, bakatmu sudah sangat gemilang, tanpa latihan intensif pun, hanya berlatih biasa, kau bisa menampilkannya dengan maksimal. Jadi, latihan yang efektif untuk kita adalah, aku berlatih sendiri dulu sampai kemampuanku memadai, begitu pula denganmu, walaupun kau tidak perlu berusaha sekeras aku dengan kemampuan istimewamu itu. Lalu, bila kemampuanku sudah memadai untuk bisa tampil denganmu, kita tinggal latihan bersama sekaligus gladi bersih. Jadi setiap hari selama 2 jam itu aku hanya menyesuaikan denganmu agar penampilan kita tetap kompak dan harmonis. Selebihnya kita berlatih sendiri-sendiri agar aku bisa lebih konsentrasi sampai gladi bersih.”
“Hah, aku tahu kau hanya mengada-ada alasannya, Sasuke. Bagaimana mungkin kita bisa tampil kompak dan harmonis dengan latihan 2 jam per hari?” ujarku kesal.
“Mengapa tidak? Tidakkah kau lihat latihan kita selama ini baik-baik saja?”
“Kenapa kau begitu egois??! Kau bisa berkonsentrasi latihan seorang diri, jadi memutuskan kita lebih banyak berlatih sendiri. Mengapa tidak mempedulikan aku? Kau tidak tahu kan kalau aku hampir tidak pernah berlatih sendiri selama ini?? Aku hanya berlatih saat bersamamu. Selebihnya, aku tidak bisa berlatih!! Lupakah kau pada pentingnya chemistry pada penampilan kita?? Memangnya apa yang membuat penampilanku begitu istimewa sampai terpilih kalau bukan karena penjiwaanku yang mengalahkan teman-teman bersuara merdu lainnya? Kau pikir penjiwaanku bisa lahir begitu saja, chemistry kita bisa terjalin bergitu saja, tanpa adanya sesuatu yang memperkuatnya seperti intensitas pertemuan yang tinggi???” teriakku dengan penuh emosi. Dapat kurasakan darahku menjalar ke kepala sampai membuat wajahku panas, dan pastinya wajahku sudah benar-benar merah karena amarah.
Sasuke mematung sesaat. Terkejut atas ledakan emosiku barusan. Setelah beberapa detik kami sama-sama diam, akhirnya ia berkata,”Bukankah selama belasan tahun ini kita banyak menghabiskan waktu bersama? Lagipula, kulihat selama kita berlatih ini, kau sudah mendapatkan feelnya. Aku bisa merasakannya setiap kau menyanyikannya.” ujarnya hati-hati, mungkin takut aku kembali meledak-ledak.
Aku tertawa miris. Cukup lama sampai tawa palsu itu berubah menjadi lelehan air mata. Sasuke menatapku bingung. Mungkin yang membuatnya bingung adalah tadi aku meledak-ledak dan sekarang menangis. Haah, mana mungkin aku sanggup marah setelah energiku terkuras habis tadi? Amarahku hanya bisa tertuang lewat air mata sekarang.
“Sasuke… Sasuke…. Begitu bebalkah perasaanmu akibat kejeniusan pikiranmu? Begitu kebaskah hatimu sampai tidak merasakannya? Atau, apa kau memang tidak pernah mempedulikan aku –maksudku, perasaanku?”
Sasuke diam, menungguku melanjutkan perkataanku untuk membuatnya mengerti apa maksud ucapanku ini.
“Aku menyukaimu.” Lanjutku. Singkat dan sangat jelas. Menjelaskan semuanya.
Samar kulihat tubuhnya mengejang.
“Aku menyukaimu. Aku mencintaimu. Aku menginginkanmu. Hanya untukku. Aku tidak suka perhatianmu selama ini padaku terbagi pada Sakura, juga pada siapapun. Aku ingin menghabiskan banyak waktu denganmu, seperti selama belasan tahun ini, yang mulai berkurang semenjak kita masuk SMA, dan jauh lebih berkurang semenjak hadirnya Sakura di antara kita. Aku ingin kita bisa tampil dengan sangat memukau dengan chemistry yang sama-sama kuat, bukan hanya penghayatanku yang benar-benar menjiwai penampilan kita, tetapi juga penghayatanmu yang nyata kepadaku. Aku ingin kita bisa bersama-sama –“
“Cukup, Hinata.” Potong Sasuke. Ia langsung membalikkan badannya memunggungiku.
Air mataku terjun semakin deras, tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya pergi dariku setelah pengakuanku ini.
Tapi ia tidak pergi. Ia masih terdiam di tempatnya.
“Itulah, Hinata. Kau ingin kita semakin sering bertemu karena perasaanmu padaku. Aku pun ingin mengurangi waktu pertemuan kita karena alasan yang sama. Kau salah bila mengira aku tidak peduli dengan perasaanmu. Justru karena aku tahu, aku memahami perasaanmu, aku berbuat demikian. Aku tidak ingin melukaimu karena aku tidak bisa membalas perasaanmu. Aku –“
“Cukup. Oke. Intinya, kau tidak mencintaiku. Sudah jelas, aku sudah mengerti. Tidak usah diteruskan. Kau pasti lebih menyukai gadis yang pandai memasak, menjahit, tapi juga pandai bela diri.” Kali ini aku yang menghentikan ucapannya. Aku tidak sanggup mendengar kelanjutan kata-katanya. Jadi lebih baik aku yang mengucapkannya.
“Bukan begitu, Hinata. Sama sekali bukan karena Sakura.” Bantah Sasuke seraya membalikkan badannya lagi, menghadap ke arahku.
“Lalu karena apa?”
“Tidakkah kau melihat jurang besar di antara kita? Kita memiliki perbedaan yang terlalu besar, sehingga kita tidak dapat bersatu.”
“Apa maksudmu? Bukankah perbedaan itu ada agar kita saling melengkapi?”
“Dalam beberapa hal, ya. Tapi dalam hal ini, sama sekali tidak. Karena ini menyangkut hidup mati kita. Menyangkut jalan hidup dan tujuan akhir kita, juga apa yang menjadi pegangan dalam hidup kita. Kita berbeda keyakinan.”
Aku merasa tertampar saat itu juga. Ya, mengapa aku tidak menyadarinya selama ini?
Keyakinan. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dicampuradukkan. Yang tidak bisa untuk saling melengkapi. Adanya perbedaan itu, berarti kita tidak berada pada garis yang sama. Kalaupun kita berjalan bersisian, garis itu memiliki ujung yang berbeda. Selamanya kita tidak akan pernah berada pada titik yang sama.
Lututku lemas. Dalam hitungan sepersekian detik tubuhku ambruk. Aku terduduk dengan berurai air mata yang seakan tak ada habisnya.
Sasuke menghampiriku dan ikut duduk di depanku.
“Itulah mengapa sejak awal SMA aku mencoba sedikit menjauh darimu. Aku berusaha terlihat sangat fokus pada sekolah sehingga terkesan mengabaikan keberadaanmu. Itu semua ku lakukan untuk mencegah timbulnya perasaan ini. Untuk mencegah air matamu tumpah ruah begini. Itu juga yang membuatku ingin mendekatkanmu pada lelaki lain, lelaki yang bisa bersamamu, yang mencintaimu dan akan selalu bersamamu, Namikaze Naruto itu. Dan itu juga yang membuatku merasa senang atas kehadiran Sakura di antara kita, yang menjadi teman dekat lain untukmu selain aku. Semua itu karena aku sangat ingin menjaga perasaanmu.” Urai Sasuke.
Aku masih saja menangis sambil mendengarkan ucapannya.
“Kalau aku tidak mempedulikanmu, aku akan langsung meninggalkanmu begitu saja agar tidak punya masalah perasaan apapun denganmu. Tapi aku tidak begitu, kan? Setidaknya, aku berusaha melepasmu secara perlahan. Karena aku telah berjanji pada ibuku untuk menjagamu.”
Mataku membesar. ‘Untuk apa Sasuke berjanji pada ibunya untuk menjagaku?’ batinku.
Seakan bisa membaca pikiranku, Sasuke melanjutkan, “Bagaimanapun, kau itu tetanggaku. Orang yang dekat denganku. Terlebih kau sudah tidak mempunyai siapapun selain nenekmu. Jadi sebagai teman, aku harus menjaga dan melindungimu. Itu permintaan ibuku saat orang tuamu meninggal. Sejak kecil ibuku juga yatim piatu, dan beliau sangat mengerti perasaanmu. Maka aku berjanji padanya untuk selalu menjaga dan melindungimu. Sebagai teman, seperti seorang kakak.”
Aku masih sesenggukan walaupun air mataku tidak sederas tadi. Sasuke terus menemaniku sampai aku benar-benar berhenti menangis.
“Jadi?” tanyaku setelah air mataku berhenti menetes.
“Sibukkan pikiranmu dengan persiapan perayaan ulang tahun sekolah, maka lama-lama perasaanmu padaku akan netral kembali. Asalkan kau tidak membiarkan perasaan itu semakin menjadi-jadi. Karena itulah, lebih baik kita berlatih seperti ini. Tidak terlalu lama bersama, tapi kualitas penampilan kita tetap terjaga.”
Aku mengangguk. Sekarang bahkan aku rasanya ingin latihan kami setengah jam saja setiap harinya.
Sasuke menepuk-nepuk puncak kepalaku lembut. Lalu berdiri dan beranjak pergi.
“Tunggu, lalu bagaimana dengan Sakura? Seperti apa perasaanmu padanya?” tanyaku tiba-tiba.
“Apa itu penting bagimu? Yang penting adalah, ada atau tidak ada Sakura tidak akan mengubah status kita.”
“Well, aku hanya ingin tahu,” Ucapku sambil menghapus sisa-sisa air mata di pipiku. Lalu berdiri dan menghampirinya.
“Sebagai teman, kita kan bisa sharing. Kau sudah tahu aku menyukai siapa, jadi aku juga ingin tahu kau menyukai siapa. Katakan saja kau menyukainya atau tidak. Aku akan mendukungmu sebagai sahabat.” Ujarku. Walaupun sakit, tapi kenyataan bahwa aku tidak bisa menjadi lebih dari sahabatnya harus ku hadapi.
Sasuke menatap mataku lekat-lekat. Ia tidak mengatakan apapun, tapi aku bisa membaca jawabannya dari tatapan itu.
Ya, mana mungkin Sasuke dengan kejamnya mengiyakan pertanyaanku kalau aku sudah tahu jawabannya?
Zzz – zzZ


To Be Continue ...

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Star Imagination - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -