- Back to Home »
- fiction »
- Reborn [Part 6]
Posted by : Unknown
22 February 2015
Fan fiction Anime Naruto |
Ha! Sakura
memang buta sekali soal musik. Bisa dibilang di situlah ia tidak bisa
tampak mengagumkan. Entah mengapa hal itu membuatku senang dan aku
menyeringai dalam hati.
Part 6
“Confessions”
“Baik, anak-anak. Setelah bab lalu
kita mempelajari tentang seni peran, sekarang kita memasuki cabang seni
yang lain, yaitu seni musik. Dan setelah melihat bakat-bakat besar pada
diri kalian, saya menjadi optimis untuk mengadakan audisi untuk kalian.
Sebenarnya ini merupakan tes biasa, untuk mengambil nilai kalian. Tapi,
tes ini bisa juga disebut tidak biasa, karena kali ini saya sekaligus
mencari siapa di antara kalian yang akan tampil pada perayaan ulang
tahun sekolah ini yang akan diadakan 3 minggu lagi. Minggu depan tes dan
audisi dari saya, dua minggu kemudian orang-orang yang lolos audisi
akan tampil pada perayaan bergengsi di sekolah itu. Jadi, kalian harus
berusaha semaksimal mungkin untuk penilaian pekan depan.” Ujar Ms.
Kurenai Yuhi, guru kesenian kami.
Semua murid di kelasku melongo
mendengarnya. Tidak biasanya penilaian praktek menjadi seserius ini.
Memang, biasanya yang tampil di acara ulang tahun sekolah adalah
anak-anak yang nilai-nilai keseniannya bagus-bagus. Tapi tidak hanya
dari seni musik, karena biasanya ada juga pertunjukan drama, pembacaan
puisi, dan sebagainya.
“Kalian mungkin heran mengapa saya lebih
menekankan pada seni musik. Well, itu karena… pada malam perayaan ulang
tahun sekolah tahun ini, kita kedatangan seorang tamu istimewa. Beliau
adalah Mr. Zetsu, salah satu pencari bakat musik ternama dari Konoha
Music School. Jadi, saya ingin beliau menemukan bakat di antara kalian.
Dan orang yang beruntung itu akan masuk Konoha Music School tanpa tes
dan mendapatkan beasiswa penuh!” lanjut Ms. Kurenai semangat.
Dalam sekejap ruangan menjadi riuh oleh
siswa-siwi yang terperanjat dan berbisik-bisik satu sama lain. Setiap
tahun, sekolahku memang selalu merayakan ulang tahunnya. Dan siapa pun
yang bisa tampil malam hari itu adalah orang yang beruntung, karena
popularitasnya akan menanjak drastis. Event ini bahkan jauh lebih ‘wah’
daripada pertunjukan drama yang diadakan beberapa waktu lalu, karena
pertunjukan itu hanya bagian dari pelajaran kesenian, tidak semua warga
sekolah menontonnya, bahkan kepala sekolah tidak hadir. Tetapi beda
dengan acara ulang tahun sekolah. Mulai dari kepala sekolah, dewan guru,
seluruh siswa, bahkan para orang tua murid hadir pada acara itu.
Tapi kami benar-benar tidak menyangka
tahun ini ada yang berbeda. Selain popularitas, hal yang juga diincar
oleh siswa-siswi tentunya kesempatan masuk Konoha Music School tanpa
tes, dengan beasiswa penuh pula! Jadi, bisa kukatakan, tidak hanya murid
yang gila popularitas yang menginginkannya, tetapi juga mereka yang
terobsesi masuk Konoha Music School, mereka yang ingin beasiswa, mereka
yang ingin memiliki masa depan cerah melalui sekolah musik ternama itu.
Intinya, semua murid berlomba-lomba untuk memenangkan audisi!
zzz
“Hinata, kau tampak bersemangat sekali.
Ada apa?” Tanya Sakura saat kami pulang sekolah bersama. Hari ini Sakura
tidak ada jadwal les atau latihan taekwondo.
“Ah, tidak juga. Aku hanya ingat perkataan Ms. Kurenai tadi.”
“Oh, audisi itu. Ya, semua orang
tampaknya benar-benar mempersiapkan diri sebaik mungkin. Kau juga harus
begitu, Hinata. Suaramu kan sangat bagus.” Kata Sakura.
“Kau tampaknya tidak terlalu tertarik dengan audisi ini.” Ujar Sasuke pada Sakura dengan heran.
“Tertarik? Well, siapa yang tidak ingin?
Tapi, aku tahu diri. Kemampuan bermusikku nol besar. Jadi persiapanku
hanya sebatas untuk penilaian, agar nilaiku tidak sangat hancur. Sama
sekali tidak berpikiran untuk lolos audisi.” Sahut Sakura muram. Baru
kali ini aku melihatnya begitu pesimis.
“Kau jangan pesimis begitu, apa kau percaya keajaiban?” tanyaku pada Sakura.
Sakura mengangguk, “Aku percaya kehendak
Tuhan, tapi aku tidak bisa terlalu mengharapkan sesuatu yang memang di
luar kemampuanku. Karena mungkin memang bukan di situ jalanku. Aku tidak
mau bergantung pada keajaiban.”
Aku terdiam. Aku memang ingin
‘mengalahkan’ Sakura, dan akan lebih mudah bila Sakura memang tidak
berniat untuk menampilkan semaksimal mungkin, tapi aku ingin
‘mengalahkannya’ dengan lebih terhormat. Aku ingin Sakura lebih
bersemangat untuk tampil maksimal dan aku bisa jauh lebih bagus daripada
dirinya. Itu persaingan yang kuinginkan. Bukan menang dari orang yang
memang tidak ingin memenangkannya.
“Seperti apapun penampilanmu minggu
depan, lakukan yang terbaik. Usahakan yang terbaik. Kita tidak tahu apa
yang direncanakan Tuhan untukmu, yang bisa kau lakukan hanyalah berusaha
semaksimal mungkin. Masih ada waktu untuk berlatih. Ingat! Semua murid
berambisi untuk lolos audisi, jadi bisa kau bayangkan seperti apa usaha
mereka. Bila kau hanya menargetkan nilai yang tidak hancur –bahkan kau
tidak mengharapkan nilai bagus-, usahamu pasti jauh di bawah mereka
semua. Apalagi kau bilang kau sama sekali nol dalam bermusik. Yang ada
pasti hasilnya penampilanmu sangat amat buruk, karena penampilan yang
mungkin di saat tidak ada event khusus seperti ini merupakan penampilan
standar, akan menjadi sangat buruk di antara penampilan-penampilan lain
yang istimewa. Bisa diibaratkan bebek standar di antara bebek-bebek akan
tampak seperti itik buruk rupa di antara angsa-angsa rupawan.” Wejang
Sasuke panjang lebar. Aku belum pernah mendengarnya bicara sepanjang
ini.
“Sasuke benar sekali, Sakura.
Bersemangatlah seperti biasanya. Kita bisa berlatih bersama-sama.”
Dukungku tulus. Well, seperti yang kukatakan tadi, aku ingin Sakura
bersungguh-sungguh agar aku bersemangat menjalani ‘kompetisi’ ini.
zzz
Setelah seminggu penuh aku, Sakura, dan
Sasuke berlatih bersama (aku bernyanyi, Sakura bermain keyboard, dan
Sasuke bermain gitar), kami siap untuk penilaian sekaligus audisi itu.
Walaupun berlatih bersama, tetapi kami tampil sendiri-sendiri, karena Ms
Kurenai ingin melihat kemampuan individu kami.
Sakura tampak memejamkan mata sambil
menghela napas dalam-dalam sebelum mulai menekan tuts-tuts keyboard. Aku
jadi teringat tips yang diberikan Sakura itu beberapa waktu lalu.
Memang sangat membantu. Aku ikut berdoa dalam hati. Aku ingin Sakura
tampil dengan baik.
Dan benar saja, penampilan Sakura bisa
dibilang cukup baik. Bahkan sangat baik untuk orang yang tidak memiliki
kemampuan dasar sepertinya. Gemblenganku dan Sasuke rupanya membuahkan
hasil. Aku tersenyum puas.
Setelah Haruno Sakura, selanjutnya adalah
aku, Hyuuga Hinata. Dengan sedikit gugup aku maju menghadap Ms Kurenai.
Aku melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Sakura tadi untuk
menenangkan diri.
“There’s a song that’s inside of my soul
It’s the one that I’ve tried to write over and over again
I’m awake in the infinite cold
But You sing to me over and over and over again…”
Aku menyanyikan lagu Mandy Moore yang
berjudul Only Hope, sebuah lagu dari salah satu film kesukaanku, A Walk
to Remember. Membayangkan menjadi Jamie Sullivan dalam film itu, aku
menjadi sangat menghayatinya. Seolah-olah aku memang benar-benar Jamie
yang sedang tampil dalam drama musikal musim semi, Tommy “The Guns”,
menjadi Alicia, penyanyi klub yang misterius.
“So I lay my head back down
And I lift my hands and pray
To be only Yours
I pray to be only Yours
I pray to be only Yours
I know now You’re my only hope.”
Tepuk tangan dari teman-teman
mengembalikanku pada kenyataan, menjadi Hyuuga Hinata yang sedang tampil
untuk penilaian dan audisi menghebohkan itu.
Saat berjalan kembali ke tempatku semula,
aku melihat tatapan mata Ms Kurenai berbinar-binar, seperti orang yang
menemukan apa yang dicari-carinya sekian lama. Aku tersenyum dalam hati.
Semoga saja aku tidak terburu berbangga diri.
Setelah aku duduk di tempatku semula,
puluhan pasang mata teman-temanku masih saja mengikutiku walaupun sudah
ada temanku yang maju. Mereka tak henti-hentinya menatapku kagum, sampai
aku jadi risih dibuatnya.
“Super!” kata Naruto yang langsung menghampiriku untuk memberiku selamat.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Untuk penampilanmu yang luar biasa itu.
Aku yakin kau akan tampil 2 minggu lagi di aula dengan ratusan pasang
mata menatap kagum padamu.”
“Jangan berlebihan. Kau bahkan belum
melihat semuanya, mungkin saja ada yang lebih bagus dariku.” Ujarku
merendah, walau dalam hati aku sama optimisnya dengan dia. Hanya saja
aku tak mau terburu merasa senang sebelum benar-benar memastikannya.
Setelah Naruto kembali ke tempat
duduknya, Sakura dan teman-temanku yang lain langsung berbisik-bisik
memanggilku untuk memberi ucapan selamat dan menyatakan keyakinan mereka
kalau aku pasti lolos, atau sekadar mengacungkan kedua ibu jari
tangannya.
Aku hanya tersenyum dan berterima kasih.
Tapi, mengapa Sasuke tidak termasuk di antara mereka?
Aku menoleh ke arahnya. Ku lihat ia
sedang memperhatikan temanku yang sedang tampil. Semua teman yang tampil
diperhatikan olehnya. Sama sekali tidak mengalihkan secuil pun
perhatiannya untuk sekadar menoleh dan tersenyum padaku sebagai ucapan
selamat.
‘Tenang, Hinata, mungkin ia hanya tidak mau gegabah seperti yang lain.’ Hiburku pada diriku sendiri.
zzz
“Hinata, Sasuke, kalian benar-benar luar
biasa, kalian terpilih untuk tampil pada perayaan ulang tahun sekolah.
Bayangkan, dalam waktu seminggu di saat yang lain sibuk berlatih
masing-masing, kalian justru sibuk mengajari aku. Tapi kalian bisa
tampil luar biasa sehingga mengalahkan mereka. Aku yakin, kalau kalian
memaksimalkan waktu 2 minggu ini untuk berlatih intensif, kalian akan
mendapatkan tiket emas itu. Aku doakan kalian dan aku dukung kalian
sepenuhnya!” ujar Sakura padaku dan Sasuke sepulang sekolah.
Ya, yang terpilih adalah aku dan Sasuke.
Sasuke tadi menampilkan permainan gitar yang sangat luar biasa. Jemari
tangannya dengan lincah memainkan senar-senar gitar sehingga
menghasilkan nada-nada rumit yang indah. Sasuke juga mendapat perlakuan
sepertiku dari teman-teman. Dan aku tidak mengucapkan selamat padanya
seperti halnya ia tidak mengucapkan selamat padaku.
Ms. Kurenai tadi berpesan pada kami untuk
menyiapkan masing-masing dua buah penampilan, satu solo dan satu lagi
kami tampil bersama. Jadi itu artinya selama 2 minggu ini aku akan
banyak menghabiskan waktu dengan Sasuke.
Aku menghela napas lega. Akhirnya aku
mendapatkan Sasuke-ku kembali. Dan Sakura sementara ini akan menyingkir
dari kami untuk membiarkan kami berkonsentrasi latihan. Hanya
pulang-pergi bersama kami. Tidak ada berlatih bertiga seperti seminggu
yang lalu. Fiuuh, ternyata keputusanku untuk mengorbankan seminggu
‘membagi Sasuke’ dengannya berbuah manis untukku.
zzz
Kupikir, aku akan benar-benar bisa ‘mendapatkan kembali’ Sasuke-ku. Tapi ternyata aku salah.
Sudah seminggu lebih berlalu dari waktu
dua minggu intensifku dan Sasuke. Tapi Sasuke masih tidak seperti
Sasuke-ku yang dulu. Bahkan seminggu ini tidak bisa disebut intensif
karena intensitas pertemuan kami lebih jarang daripada saat kami latihan
bertiga bersama Sakura. Ia selalu beralasan kalau kami sebaiknya fokus
dulu pada penampilan solo kami, setelah itu kami baru akan berlatih
bersama secara intensif pada minggu kedua. Tapi kenyataannya, sudah 2
hari dari minggu kedua tidak ada perubahan apapun dalam intensitas
pertemuan kami.
“Sasuke, ini sudah minggu kedua. Mengapa
latihan bersama kita tetap 2 jam per hari? Saat kita berlatih bersama
Sakura saja kita menghabiskan waktu 4 jam setiap harinya.” Protesku
halus.
“Hinata, dengarkan aku. Kau, aku, dan
Sakura itu berbeda. Sakura tentu membutuhkan waktu yang banyak untuk
meningkatkan kemampuannya yang sangat payah itu. Kalau aku, lebih bisa
berkonsentrasi latihan seorang diri. Sedangkan kau, bakatmu sudah sangat
gemilang, tanpa latihan intensif pun, hanya berlatih biasa, kau bisa
menampilkannya dengan maksimal. Jadi, latihan yang efektif untuk kita
adalah, aku berlatih sendiri dulu sampai kemampuanku memadai, begitu
pula denganmu, walaupun kau tidak perlu berusaha sekeras aku dengan
kemampuan istimewamu itu. Lalu, bila kemampuanku sudah memadai untuk
bisa tampil denganmu, kita tinggal latihan bersama sekaligus gladi
bersih. Jadi setiap hari selama 2 jam itu aku hanya menyesuaikan
denganmu agar penampilan kita tetap kompak dan harmonis. Selebihnya kita
berlatih sendiri-sendiri agar aku bisa lebih konsentrasi sampai gladi
bersih.”
“Hah, aku tahu kau hanya mengada-ada
alasannya, Sasuke. Bagaimana mungkin kita bisa tampil kompak dan
harmonis dengan latihan 2 jam per hari?” ujarku kesal.
“Mengapa tidak? Tidakkah kau lihat latihan kita selama ini baik-baik saja?”
“Kenapa kau begitu egois??! Kau bisa
berkonsentrasi latihan seorang diri, jadi memutuskan kita lebih banyak
berlatih sendiri. Mengapa tidak mempedulikan aku? Kau tidak tahu kan
kalau aku hampir tidak pernah berlatih sendiri selama ini?? Aku hanya
berlatih saat bersamamu. Selebihnya, aku tidak bisa berlatih!! Lupakah
kau pada pentingnya chemistry pada penampilan kita?? Memangnya
apa yang membuat penampilanku begitu istimewa sampai terpilih kalau
bukan karena penjiwaanku yang mengalahkan teman-teman bersuara merdu
lainnya? Kau pikir penjiwaanku bisa lahir begitu saja, chemistry
kita bisa terjalin bergitu saja, tanpa adanya sesuatu yang
memperkuatnya seperti intensitas pertemuan yang tinggi???” teriakku
dengan penuh emosi. Dapat kurasakan darahku menjalar ke kepala sampai
membuat wajahku panas, dan pastinya wajahku sudah benar-benar merah
karena amarah.
Sasuke mematung sesaat. Terkejut atas
ledakan emosiku barusan. Setelah beberapa detik kami sama-sama diam,
akhirnya ia berkata,”Bukankah selama belasan tahun ini kita banyak
menghabiskan waktu bersama? Lagipula, kulihat selama kita berlatih ini,
kau sudah mendapatkan feelnya. Aku bisa merasakannya setiap kau menyanyikannya.” ujarnya hati-hati, mungkin takut aku kembali meledak-ledak.
Aku tertawa miris. Cukup lama sampai tawa
palsu itu berubah menjadi lelehan air mata. Sasuke menatapku bingung.
Mungkin yang membuatnya bingung adalah tadi aku meledak-ledak dan
sekarang menangis. Haah, mana mungkin aku sanggup marah setelah energiku
terkuras habis tadi? Amarahku hanya bisa tertuang lewat air mata
sekarang.
“Sasuke… Sasuke…. Begitu bebalkah
perasaanmu akibat kejeniusan pikiranmu? Begitu kebaskah hatimu sampai
tidak merasakannya? Atau, apa kau memang tidak pernah mempedulikan aku
–maksudku, perasaanku?”
Sasuke diam, menungguku melanjutkan perkataanku untuk membuatnya mengerti apa maksud ucapanku ini.
“Aku menyukaimu.” Lanjutku. Singkat dan sangat jelas. Menjelaskan semuanya.
Samar kulihat tubuhnya mengejang.
“Aku menyukaimu. Aku mencintaimu. Aku
menginginkanmu. Hanya untukku. Aku tidak suka perhatianmu selama ini
padaku terbagi pada Sakura, juga pada siapapun. Aku ingin menghabiskan
banyak waktu denganmu, seperti selama belasan tahun ini, yang mulai
berkurang semenjak kita masuk SMA, dan jauh lebih berkurang semenjak
hadirnya Sakura di antara kita. Aku ingin kita bisa tampil dengan sangat
memukau dengan chemistry yang sama-sama kuat, bukan hanya
penghayatanku yang benar-benar menjiwai penampilan kita, tetapi juga
penghayatanmu yang nyata kepadaku. Aku ingin kita bisa bersama-sama –“
“Cukup, Hinata.” Potong Sasuke. Ia langsung membalikkan badannya memunggungiku.
Air mataku terjun semakin deras, tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya pergi dariku setelah pengakuanku ini.
Tapi ia tidak pergi. Ia masih terdiam di tempatnya.
“Itulah, Hinata. Kau ingin kita semakin
sering bertemu karena perasaanmu padaku. Aku pun ingin mengurangi waktu
pertemuan kita karena alasan yang sama. Kau salah bila mengira aku tidak
peduli dengan perasaanmu. Justru karena aku tahu, aku memahami
perasaanmu, aku berbuat demikian. Aku tidak ingin melukaimu karena aku
tidak bisa membalas perasaanmu. Aku –“
“Cukup. Oke. Intinya, kau tidak
mencintaiku. Sudah jelas, aku sudah mengerti. Tidak usah diteruskan. Kau
pasti lebih menyukai gadis yang pandai memasak, menjahit, tapi juga
pandai bela diri.” Kali ini aku yang menghentikan ucapannya. Aku tidak
sanggup mendengar kelanjutan kata-katanya. Jadi lebih baik aku yang
mengucapkannya.
“Bukan begitu, Hinata. Sama sekali bukan karena Sakura.” Bantah Sasuke seraya membalikkan badannya lagi, menghadap ke arahku.
“Lalu karena apa?”
“Tidakkah kau melihat jurang besar di
antara kita? Kita memiliki perbedaan yang terlalu besar, sehingga kita
tidak dapat bersatu.”
“Apa maksudmu? Bukankah perbedaan itu ada agar kita saling melengkapi?”
“Dalam beberapa hal, ya. Tapi dalam hal
ini, sama sekali tidak. Karena ini menyangkut hidup mati kita.
Menyangkut jalan hidup dan tujuan akhir kita, juga apa yang menjadi
pegangan dalam hidup kita. Kita berbeda keyakinan.”
Aku merasa tertampar saat itu juga. Ya, mengapa aku tidak menyadarinya selama ini?
Keyakinan. Itu adalah sesuatu yang tidak
bisa dicampuradukkan. Yang tidak bisa untuk saling melengkapi. Adanya
perbedaan itu, berarti kita tidak berada pada garis yang sama. Kalaupun
kita berjalan bersisian, garis itu memiliki ujung yang berbeda.
Selamanya kita tidak akan pernah berada pada titik yang sama.
Lututku lemas. Dalam hitungan sepersekian
detik tubuhku ambruk. Aku terduduk dengan berurai air mata yang seakan
tak ada habisnya.
Sasuke menghampiriku dan ikut duduk di depanku.
“Itulah mengapa sejak awal SMA aku
mencoba sedikit menjauh darimu. Aku berusaha terlihat sangat fokus pada
sekolah sehingga terkesan mengabaikan keberadaanmu. Itu semua ku lakukan
untuk mencegah timbulnya perasaan ini. Untuk mencegah air matamu tumpah
ruah begini. Itu juga yang membuatku ingin mendekatkanmu pada lelaki
lain, lelaki yang bisa bersamamu, yang mencintaimu dan akan selalu
bersamamu, Namikaze Naruto itu. Dan itu juga yang membuatku merasa
senang atas kehadiran Sakura di antara kita, yang menjadi teman dekat
lain untukmu selain aku. Semua itu karena aku sangat ingin menjaga
perasaanmu.” Urai Sasuke.
Aku masih saja menangis sambil mendengarkan ucapannya.
“Kalau aku tidak mempedulikanmu, aku akan
langsung meninggalkanmu begitu saja agar tidak punya masalah perasaan
apapun denganmu. Tapi aku tidak begitu, kan? Setidaknya, aku berusaha
melepasmu secara perlahan. Karena aku telah berjanji pada ibuku untuk
menjagamu.”
Mataku membesar. ‘Untuk apa Sasuke berjanji pada ibunya untuk menjagaku?’ batinku.
Seakan bisa membaca pikiranku, Sasuke
melanjutkan, “Bagaimanapun, kau itu tetanggaku. Orang yang dekat
denganku. Terlebih kau sudah tidak mempunyai siapapun selain nenekmu.
Jadi sebagai teman, aku harus menjaga dan melindungimu. Itu permintaan
ibuku saat orang tuamu meninggal. Sejak kecil ibuku juga yatim piatu,
dan beliau sangat mengerti perasaanmu. Maka aku berjanji padanya untuk
selalu menjaga dan melindungimu. Sebagai teman, seperti seorang kakak.”
Aku masih sesenggukan walaupun air mataku tidak sederas tadi. Sasuke terus menemaniku sampai aku benar-benar berhenti menangis.
“Jadi?” tanyaku setelah air mataku berhenti menetes.
“Sibukkan pikiranmu dengan persiapan
perayaan ulang tahun sekolah, maka lama-lama perasaanmu padaku akan
netral kembali. Asalkan kau tidak membiarkan perasaan itu semakin
menjadi-jadi. Karena itulah, lebih baik kita berlatih seperti ini. Tidak
terlalu lama bersama, tapi kualitas penampilan kita tetap terjaga.”
Aku mengangguk. Sekarang bahkan aku rasanya ingin latihan kami setengah jam saja setiap harinya.
Sasuke menepuk-nepuk puncak kepalaku lembut. Lalu berdiri dan beranjak pergi.
“Tunggu, lalu bagaimana dengan Sakura? Seperti apa perasaanmu padanya?” tanyaku tiba-tiba.
“Apa itu penting bagimu? Yang penting adalah, ada atau tidak ada Sakura tidak akan mengubah status kita.”
“Well, aku hanya ingin tahu,” Ucapku sambil menghapus sisa-sisa air mata di pipiku. Lalu berdiri dan menghampirinya.
“Sebagai teman, kita kan bisa sharing.
Kau sudah tahu aku menyukai siapa, jadi aku juga ingin tahu kau
menyukai siapa. Katakan saja kau menyukainya atau tidak. Aku akan
mendukungmu sebagai sahabat.” Ujarku. Walaupun sakit, tapi kenyataan
bahwa aku tidak bisa menjadi lebih dari sahabatnya harus ku hadapi.
Sasuke menatap mataku lekat-lekat. Ia tidak mengatakan apapun, tapi aku bisa membaca jawabannya dari tatapan itu.
Ya, mana mungkin Sasuke dengan kejamnya mengiyakan pertanyaanku kalau aku sudah tahu jawabannya?
Zzz – zzZ
To Be Continue ...