Popular Post

Posted by : Unknown 12 February 2015


Chapter 3
Sore hari, pulang sekolah. Aku berjalan dengan langkah lambat seperti biasa menyusuri koridor sekolah. Walaupun sudah sangat sore, aku tidak berusaha mempercepat langkahku karena Sasuke sedang ada keperluan. Aku tidak mau terlalu lama menunggunya di tempat kami biasanya bertemu untuk pulang bersama, di sebuah kedai es krim milik paman Jiraiya, tetangga kami. Bukan karena aku tidak suka berlama-lama di kedai paman yang poligami itu (tentu karena aku yakin ia tidak mungkin merayuku), tetapi paman Jiraiya sangat baik sehingga selalu menyodorkan es krim tambahan setelah aku menghabiskan pesananku.
Melewati ruangan ekskul, aku mendengar suara teriakan seorang gadis. Aku melongok melalui jendela untuk mencari tahu.
Sakura. Ia sedang berlatih taekwondo. Sepertinya ia sedang privat atau semacamnya, karena hanya ada dia dan pelatihnya di ruangan itu. Mungkin ia sedang berlatih intensif untuk menghadapi pertandingan atau sejenisnya. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas kemampuannya dalam dunia bela diri itu sudah tak diragukan lagi. Teriakannya barusan terlontar saat ia melakukan tendangan. Pelatihnya tersenyum sumringah, puas atas kemampuan anak didiknya.
Tiba-tiba aku melihat bayangan diriku samar di kaca jendela tempat aku mengintip latihan Sakura. Begitu beda. Aku dan dirinya sangat jauh berbeda. Aku yang lemah dan kikuk, ia yang kuat dan tangguh. Tetapi, walaupun menjadi ‘most wanted girl’ di sekolah, aku tak pernah mendengarnya memiliki kekasih. Mungkin ia orang yang pemilih. Yeah, wajar saja baginya. Ups! Mengapa aku jadi senang berspekulasi tentangnya begini?
Aku sedang ingin meneruskan kembali langkahku yang tadi sempat terhenti saat kudengar seseorang memanggilku.
“Hei, Hinata!” sapanya riang.
Aku menoleh dan mendapati Naruto sedang setengah berlari ke arahku.
“Kau belum pulang?” tanyanya.
Aku menggeleng. ‘Kalau aku sudah pulang, lalu dengan siapa kau bicara sekarang?’ batinku.
“Mau pulang denganku?” tawarnya.
“Tidak perlu, terima kasih. Aku ingin mampir dulu ke suatu tempat.” Tolakku halus.
“Kalau boleh aku tahu, kemana?” tanyanya penasaran.
‘Ugh, ingin tahu sekali sih orang ini!’ rutukku dalam hati. Tapi aku tetap menjawabnya, “Kedai es krim milik paman Jiraiya.”
“Oh! Kau sering ke tempat itu?” tanyanya terkejut campur senang.
“Hmm, yaa, lumayan sering.”
“Wah, aku tidak menyangka kau adalah pelanggan setia pamanku!” katanya semangat.
“Pamanmu? Jadi paman Jiraiya itu pamanmu?” tanyaku terkejut.
“Iya! Waah, kalau begitu, ayo kita ke sana! Kebetulan aku juga sedang ingin makan es krim gratis!” ajaknya sambil menarik tanganku.
“Ta –tapi…”
“Ayo, nanti kau kuberi diskon!”
zzz
Kincring! Sebuah lonceng berdenting saat pintu kedai dibuka. Naruto yang masih tak melepas tanganku menarikku masuk. Aku terpaksa mengikutinya, padahal aku sudah melihat Sasuke beranjak pulang di depan sekolah tadi. Tapi ia bersikap seolah-olah tak melihatku.
“Pamaan! Aku mau es krim cokelat istimewa!” teriaknya pada paman Jiraiya. Lalu menoleh padaku dan bertanya, “Kau mau apa, Hinata?”
“Aku… aku pesan yang biasa saja, Paman.” Jawabku langsung pada paman Jiraiya.
“Lho, Hinata, tumben kau ke sini bersama Naruto. Biasanya –“
“Ya, aku tadi bertemu dengan Naruto dan ia mengajakku kemari bersama.” Potongku.
“Benar. Dan nanti aku akan mengantarnya pulang.“ lanjut Naruto.
“Lho, tapi –“
“Dan sepertinya Naruto sudah tidak sabar ingin makan es krim. Dari tadi ia menarikku dengan cepat.” Potongku lagi.
Dipotong dua kali, paman Jiraiya memilih untuk tidak bicara lagi. Kuharap paman bisa mengerti maksudku, bukan malah sakit hati oleh sikapku ini.
“Hinata, kau biasanya ke sini bersama siapa?” Tanya Naruto.
“Hmm, sendiri saja.” Jawabku. Aku tidak bohong, aku memang biasanya sendiri ke sini, lalu bertemu dengan Sasuke dan kami pulang bersama.
“Kau biasanya memesan apa?”
“Seperti yang ku pesan sekarang. Lihat saja saat nanti datang.”
Tak lama kemudian pesanan kami datang. Kami menghabiskan es krim kami sambil mengobrol, atau lebih tepatnya dia berbicara, aku mendengarkan.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk.
Maaf, aku sudah di rumah. Kau harus pulang bersamanya.
Dari Sasuke. Aku mendengus kesal.
“Ada apa?”
“Hmm, tidak apa-apa.” Dustaku.
“Jadi, bagaimana, nanti jadi kan pulang bersamaku?” tawarnya lagi.
“Kurasa ya.” Jawabku akhirnya.
Senyum Naruto mengembang maksimal sebelum akhirnya ia bersorak senang.
“Kenapa?” tanyaku.
“Hmm, tidak apa-apa.” Jawabnya menirukan jawabanku tadi.
zzz
Esok paginya aku sengaja berangkat lebih awal untuk menghindari Sasuke. Aku sedang kesal padanya. Kenapa sih ia bersikeras ingin agar aku bersama Naruto? Yang kuinginkan kan dia!
Mendekati lampu merah, aku kembali gugup. Keringat dingin menerobos pori-pori dahiku. Tanganku mulai bergetar kecil.
Lampu hijau! Aku melangkahkan kakiku yang rasanya sangat kaku itu. Pasti aku tampak seperti robot rusak sekarang.
Kuning. Oh, tidak. Bahkan aku belum sampai setengah jalan! Kurasakan kakiku semakin berat, seakan tertarik magnet di dasar bumi.
Merah. Tepat di tengah-tengah jalan raya, mobil-mobil itu mendapat giliran untuk maju. Kepalaku mulai pusing. Aku merasa semuanya berputar.
Diin.. Diin..! Bunyi klakson mobil-mobil membuatku kepalaku semakin pening. Pandanganku seketika menjadi gelap. Aku menjambak sejumput rambutku, seakan kepalaku ingin pecah. Kupejamkan kedua mataku yang menjadi tak berfungsi itu.
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku yang oleng tak keruan ini ditangkap seseorang. Ia langsung membawaku ke seberang jalan.
Setelah beberapa saat berusaha menenangkan diri, aku membuka mataku.
Sepasang mata emerald jernih membalas tatapanku. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya.
“Yeah. Kurasa begitu. Terima kasih, Sakura.” Jawabku.
“Kupikir kau sebaiknya jangan meninggalkan Sasuke lagi.” Pesannya.
Aku terkejut. Mataku melebar.
“Kau –kau tahu darimana?” tanyaku heran.
Ia hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang sangaaat manis, dan juga membuat penasaran.
“Hati-hati, oke? Sebentar lagi Sasuke datang.” Ujarnya sambil menoleh ke seberang jalan. Sasuke berdiri di sana, sudah mau menyeberang.
Sakura kemudian pergi begitu saja.
Tak lama kemudian Sasuke datang. Dengan tatapan marah campur khawatir, ia memarahiku.
“Sudah berapa kali kukatakan?! Kau HARUS selalu berangkat bersamaku!” ucapnya dengan nada tinggi.
Aku menunduk dalam-dalam. “Maaf,” hanya itu yang dapat kukatakan.
Sepanjang sisa perjalanan ia benar-benar seperti bisu. Tak mau bicara padaku, tapi matanya selalu mengawasiku.
zzz
Pelajaran olah raga, pelajaran paling kubenci seumur hidupku.
Dengan gesit ia berlari kesana kemari, membalas pukulan shuttle cock lawan. Sesekali ia memberi kesempatan padaku, yang sebagian besar ku hancurkan kesempatan itu karena shuttle cock itu tidak mengarah ke tempat yang benar, atau bahkan tidak melampaui net. Tapi ia tak pernah berhenti menyemangatiku dan kembali memberiku kesempatan apabila skor kami masih aman.
Ia baik. Sangat baik dan bahkan terlalu baik. Tapi tidakkah ia menyadari bahwa ke-baik-annya membuatku benci? Aku benci, karena kesenjangan antara aku dengannya semakin jauh.
Ia mengibas-ngibaskan rambut pink sepinggangnya yang dikuncir ekor kuda. Kami menang lagi kali ini, dan itu menyelamatkan nilai pelajaran olah ragaku. Aku seharusnya berterima kasih padanya.
“Hinata, kau ada kemajuan! Itu bagus sekali!” ucapnya tulus.
Yeah, ia tidak salah. Aku memang bisa memukul raket dengan tepat satu kali lebih banyak daripada minggu lalu. Tapi tentu saja hal itu tidak lantas membuatku bahagia.
Aku mengangguk tipis seraya mengatakan, “Terima kasih.” Akhirnya bisa juga kukeluarkan kata itu.
Ia menenggak air minumnya lalu mengelap dagunya yang basah terkena tumpahannya saat meminum dengan terburu-buru tadi. Melihatku diam saja, ia mengacungkan botol minumnya.
“Kau mau?” tawarnya.
“Tidak, terima kasih.” Tolakku halus. Sebenarnya aku memang sangat haus, aku lupa membawa minuman dan sangat malas ke kantin.
“Sudahlah, aku tahu kau haus. Minumlah!” bujuknya sambil meletakkan botol minumnya ke tanganku.
Mau tidak mau aku menerimanya. Aku meneguk air segar yang langsung membasahi kerongkonganku.
“Ini, terima kasih,” ucapku sambil mengembalikan botol minumannya. Ia menerima dengan cengiran lebar.
“Kau marah padaku?” tanyanya menyelidik.
“Ha? Tidak.” Jawabku agak terkejut dengan pertanyaannya.
“Kupikir kau marah karena tadi aku jarang memberimu kesempatan. Maaf ya, bukannya aku mau main sendiri, tapi aku hanya ingin menyelamatkan nilai kita.” Urainya.
“Oh, aku tidak berpikir begitu. Aku malah senang kau jarang memberiku kesempatan, karena aku pasti akan lebih banyak menyia-nyiakannya.” Jawabku.
Kami terdiam. Ia mengelap keringatnya yang masih deras lalu mengipas-ngipaskan dirinya dengan buku.
“Err, Sakura, aku mau tanya.” Kataku tiba-tiba. Aku sendiri agak kaget mengapa aku berkata begitu. Aku hanya merasa aku ingin menanyakannya.
“Apa?” tanyanya. Matanya melebar penasaran.
“Itu… bagaimana… bagaimana kau bisa tahu aku sering berangkat bersama… dia?” Ucapku terbata. Aku tak ingin menyebutkan nama orang yang ku maksud, karena aku khawatir ada yang mendengar obrolan kami. Lagi pula Sakura sudah tahu siapa yang ku maksud.
“Oh… tentu saja aku tahu. Aku kan sering melihat kalian pulang-pergi.” Jawabnya santai.
“Lho, memang rumahmu di mana?” tanyaku heran. Arah rumahku dan Sasuke memang berbeda dengan rumah-rumah teman sekolahku pada umumnya. Aku dan Sasuke tinggal di daerah yang cukup sepi dan agak jauh, bahkan bisa dibilang cukup terpencil. Anak-anak tetanggaku biasanya bersekolah di sekolah yang terletak di dekat rumah kami, tapi aku dan Sasuke memilih sekolah yang berbeda. Teman sekolah kami hampir tidak ada yang tahu rumah kami, lagipula kami sama-sama pendiam dan tidak punya teman. Siapa yang akan peduli pada kami?
“Rumahku searah dengan kalian kok. Tapi tidak sejauh kalian. Hmm, lebih tepatnya di dekat lampu merah itu.” jawabnya.
zzz
Pelajaran sastra. Kelompok kami (aku, Sasuke, Sakura, Naruto, Chouji, Aya, Yuuri, Naomi, Maruko dan Hanawa) mendapat giliran tampil. Semua teman-teman dari kelompok lain sudah sangat penasaran bagaimana penampilan drama yang dibuat oleh penulis terkenal di sekolah, Uchiha Sasuke.
Setelah berganti baju, tiba-tiba saja perutku mendadak mulas. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Tanganku mulai bergetar.
“Hinata, ada apa?” tanya Sakura. Matanya menatapku khawatir. Aya, Yuuri, Naomi, dan Maruko yang sudah lebih dulu selesai sudah keluar dari tadi.
“Aku… kurasa aku demam panggung!” jawabku pelan sekali. Aku malu sekali mengakuinya.
“Tenanglah, Hinata. Semuanya akan baik-baik saja. Kau sudah sangat hebat saat latihan. Percayalah, kau juga pasti hebat saat tampil nanti!” ujarnya menenangkanku. Tangannya mengusap-usap punggungku lembut.
“Tapi… aku takut. Aku takut, Sakura! Bagaimana nanti kalau aku tiba-tiba gemetar hebat? Bagaimana nanti kalau aku salah? Bagaimana? Aku takut, Sakura! Semuanya menantikan penampilan kelompok kita! Bagaimana kalau aku menghancurkannya? Bagaimana –“
“Sshht…” potongnya sambil mengunci mulutku dengan telunjuknya.
Aku diam, tapi dalam hatiku tidak bisa diam.
“Dengarkan aku. Sekarang, tutup matamu!” perintahnya. Aku hanya bisa menuruti saja.
“Tarik napas dalam-dalam… tahan… hembuskan perlahan. Lakukan itu berulang kali sampai jantungmu berdetak dengan normal dan teratur.” Tambahnya. Lagi-lagi aku hanya bisa menurut.
“Berdoa dalam hati. Itu yang paling utama.” Instruksinya lagi.
‘Ya Tuhan, jangan biarkan aku mengacaukan semuanya. Aku tidak ingin mengecewakan siapapun, terutama Sasuke. Ya Tuhan, beri aku kekuatan. Amin.’
Aku mengangguk sebagai tanda doaku sudah selesai.
“Sekarang, dengarkan aku lagi. Kita sudah berlatih sebaik mungkin, dan kita akan menampilkannya sebaik mungkin.” Ucapnya meyakinkanku.
Aku mengangguk mantap.
“Baik, sekarang buka matamu.”
Aku membuka mata, disambut oleh mata hijau emerald jernihnya yang berkilauan.
“Bagaimana?” tanyanya.
“Jauh lebih baik. Terima kasih, Sakura.” Ucapku sungguh-sungguh.
Sakura tersenyum. Lagi-lagi senyumnya membuatku iri. Sangat manis dan, lebih dari itu, sangat tulus. Aku bisa melihat ketulusan terpancar dari dirinya. Sudah cantik di luar, cantik pula di dalam.
“Ayo bergegas, kita pasti sudah ditunggu.” Ajaknya. Kami bergegas keluar dari ruang ganti.
Ini pementasan drama pertama bagi kami. Sasuke sendiri sebelumnya hanya sering menulis naskah. Kemampuan akting kami benar-benar ingin dilihat sekarang.
Ceritanya sebenarnya sederhana. Apalagi bagianku, tidak sulit sama sekali. Aku hanya duduk terdiam di sebuah bangku, membaca surat dan berekspresi sesuai isi surat itu. Isi surat itu dibacakan dalam bentuk rekaman suara Sakura, yang berperan sebagai penulis surat itu. Sakura dan yang lain berakting sesuai isi surat itu, menggambarkan keadaan yang tertulis di surat tanpa dialog.
Kakak,
Maafkan aku, aku tahu kau pasti terkejut menerima surat ini.
Aku menampakkan ekspresi yang memang benar-benar terkejut.
Maafkan aku, dulu aku meninggalkanmu begitu saja. Aku benar-benar kalut dan takut saat itu. Perceraian orang tua kita saja sudah terasa mencekikku. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baik ayah maupun ibu tidak mau membawa kita bersamanya. Aku merasa sangat sakit. Perasaan tertolak dan terbuang begitu menguasaiku, tak peduli seberapa besar mereka berpura-pura ingin mengajak kita tapi mereka tidak bisa. Aku tahu, keberadaan kita sudah tidak lagi diharapkan.
Sasuke yang berperan sebagai ayahku dan Sakura bertengkar dengan Yuuri yang berperan sebagai ibu kami. Sasuke membawa koper besar dan beranjak pergi, lalu Sakura menariknya, menatapnya dengan tatapan memohon. Sasuke menggeleng perlahan sambil mengusap kepalanya lembut. Lalu Sasuke benar-benar pergi. Sakura menghampiri Yuuri, menggenggam tangannya dan menatapnya dengan tatapan sama seperti saat ia menatap Sasuke tadi. Tapi Yuuri juga menggeleng, ia memeluk Sakura dan menepuk-nepuk punggungnya lembut. Aya yang berperan sebagai aku waktu kecil hanya terdiam.
Maafkan aku, aku tidak menurutimu yang mengajakku untuk tinggal bersama nenek dan memulai kehidupan baru di luar kota. Aku begitu egois saat itu, yang kuinginkan hanyalah melupakan bahwa aku punya keluarga agar aku bisa melupakan rasa sakit itu. Aku pergi tanpa tujuan seorang diri, tanpa pemberitahuan apapun.
Aya menarik sebuah koper besar dan menjinjing sebuah tas besar. Di punggungnya juga tergendong sebuah ransel. Ia menyerahkan tas yang dijinjingnya pada Sakura. Tapi Sakura lari meninggalkan Aya. Aya mencoba mengejarnya tapi kepayahan dengan beban yang dibawanya.
Maafkan aku, aku membuatmu benar-benar panik saat itu. Kepergianku secara mendadak membuatmu menunda kepergianmu beberapa minggu, tapi aku tak kunjung ditemukan. Kau menitipkan alamat rumah nenek pada salah satu tetangga kita.
Aya berlari dari salah satu sisi panggung ke sisi lain, lalu kembali lagi dengan ekspresi sama: panik dan frustasi. Lalu dengan muram Aya menyerahkan sebuah kertas pada Hanawa.
Maafkan aku, aku benar-benar bukan adik yang baik. Aku hidup di jalanan dan berteman dengan orang-orang yang menurut sebagian besar orang bukanlah orang baik-baik. Tapi menurutku mereka semua baik, mungkin karena aku sudah tidak lagi baik-baik. Mereka membantuku melupakan rasa sakitku. Yeah, walaupun hanya sementara, tapi setidaknya rasa sakit yang tertancap kuat dalam diriku bisa menjadi tak terasa saat aku tidak sadar.
Sakura berjalan sendirian dari sisi panggung sebelah kiri, di arah berlawanan ada Naruto, Chouji, Naomi, dan Maruko. Mereka berempat yang berpenampilan berantakan itu sedang tertawa-tawa. Lalu Naruto menghampiri Sakura dan mengajaknya bergabung. Awalnya Sakura nampak canggung, tapi lama-lama terbiasa. Chouji menawarkan sebuah bungkusan pada Sakura. Sakura menerima dan menghirupnya tanpa ragu sampai hilang kesadaran. Mereka berlima pesta narkoba bersama.
Aku menggeleng-geleng tak percaya.
Maafkan aku, aku mengeluh dan mengerang setiap rasa itu datang. Rasa dimana aku benar-benar membutuhkan penenangku. Rasa yang begitu sakit, seperti sekarat tapi tak kunjung mati. Rasa yang sama hebatnya dengan rasa sakit dalam hatiku selama ini. Tapi kali ini, fisikku lah yang luar biasa kesakitan. Lengkap sudah penderitaanku. Jiwa ragaku sudah sakit dan benar-benar hancur.
Sakura di tengah-tengah panggung sendirian. Ia meringkuk dan menggigil hebat. Aktingnya di bagian ini sangat luar biasa, ia betul-betul menjiwai karakter yang dimainkannya sebagai orang yang sedang sakau. Ia benar-benar mampu menunjukkan kesakitan yang luar biasa. Bibirnya bergetar meringis, begitu miris dan membuat yang melihatnya seperti teriris-iris.
Aku memegang dadaku dan mencengkeram bajuku, ikut merasakan perih yang dirasakan Sakura.
Maafkan aku, aku hanya bisa tersenyum dan mengucapkan selamat dari jarak jauh padamu saat kulihat kau kini sudah menjadi orang hebat.
Sakura memandang koran yang dipegangnya dengan mata berkaca-kaca sambil tersenyum.
Aku mengangguk-angguk kecil.
Maafkan aku, yang menyesali pilihanku yang salah.
Sakura menulis sesuatu di selembar kertas, lalu menelepon seseorang.
Maafkan aku, aku tahu kau masih selalu berusaha mencariku, tapi kau tidak akan bisa menemukanku.
Sakura memasukkan banyak pil ke dalam mulutnya. Kemudian menyuntikkan sesuatu ke lengan kirinya. Setelah itu ia menghirup serbuk yang sudah dipersiapkannya. Dalam waktu singkat, tubuhnya mengejang-ngejang, buih putih keluar dari mulutnya. Matanya membeliak seakan mau meloncat. Tiba-tiba Naruto datang dan dengan terkejut ia hampiri Sakura. Sakura menyerahkan surat yang tadi ditulisnya pada lelaki itu sebelum akhirnya mengejang semakin hebat yang dengan tiba-tiba langsung berhenti. Tanpa ada gerakan apa-apa lagi.
Aku menutup mulutku dengan telapak tangan dan menggeleng-geleng tak percaya sebelum merosot dari bangku yang kududuki.
zzz
Guru dan teman-temanku yang lain langsung bertepuk tangan begitu penampilan kami berakhir. Kami bersepuluh berbaris sambil berpegangan tangan lalu menundukkan badan. Suara tepukan tangan penonton semakin meriah, bahkan tidak sedikit yang memberikan standing applause. Sakura yang berdiri di sebelahku mengeratkan genggaman tangannya, seolah berkata, ‘Benar, kan, semuanya baik-baik saja?’
Kami tidak dapat menghentikan senyuman kami. Rasanya lega sekali melihat semuanya berakhir dengan tidak mengecewakan.
zzz
“Itu tadi keren sekali! Kau lihat, banyak yang memberikan standing applause pada kita!” pekik Naruto setelah kami selesai beres-beres di backstage.
“Benar! Akhirnya usaha kita tidak sia-sia!” sahut Chouji.
“Yeah, lega sekali rasanya!” Ucap Aya sambil menghembuskan napas lega.
“Aku jadi ingin bermain drama lagi!” Kata Yuuri.
“Bagaimana aktingku tadi? Apa aku cocok jadi artis?” Tanya Naomi.
“Aktingmu bagus kok. Kalau aku bagaimana?” Tanya Maruko balik.
“Kau juga bagus kok. Ayo kita ikut casting saja kalau begitu!” Ajak Naomi.
“Ya! Dan kita akan terkenal!” Jawab Maruko.
“Dan banyak uang!” Tambah Hanawa.
“Dan punya banyak penggemar!” Ucap Yuuri.
“Kyaa! Aku tidak bisa membayangkannya!” Teriak Naomi histeris.
Teman-teman sekelompokku asyik berbincang-bincang dengan semangat menggebu-gebu. Sepertinya mereka ketagihan bermain drama. Aku hanya terdiam sambil sesekali tersenyum kecil mendengar celotehan mereka. Sasuke diam tanpa ekspresi, tapi bisa kulihat matanya menunjukkan sorot puas. Sakura tertawa-tawa kecil.
Lalu Sasuke menoleh pada gadis yang tengah tertawa-tawa itu, menatapnya dengan tatapan yang membuat darahku serasa mendidih.
“Sakura, kau tadi luar biasa.” ucapnya pelan. Hanya Sakura, aku, dan ia sendiri yang mendengarnya.
Sakura menoleh ke arahnya, lalu menjawab, “Kau juga hebat. Aku selalu mengagumi kemampuanmu dalam menulis.” Ucapnya pelan, lalu Sakura kembali mengarahkan pandangannya ke teman-teman kami yang masih larut dalam perasaan gembira.
“Dan aku selalu mengagumi kemampuanmu membuat semua orang terkagum-kagum, termasuk aku.” Balas Sasuke dengan sangaaaaat pelan. Sakura tidak menanggapinya, entah karena tak mendengar atau memang pura-pura tak mendengarnya.
zzz


 To Be Continue..

Next : Reborn [Part 4]

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Star Imagination - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -