- Back to Home »
- fiction »
- Reborn [Part 2]
Posted by : Unknown
12 February 2015
Fan Fiction Anime Naruto |
Aku tetap yakin, karena aku mengenal Sasuke lebih lama dari siapapun di sekolah kami.
Part 2
Matahari tampak sangat bersahabat
pagi ini. Tidak terlalu menyengat, tapi tetap membuatku bersemangat.
Sinarnya menerobos celah-celah kecil di antara dedaunan pohon besar yang
menaungiku pagi ini. Di sepanjang jalan, deretan pohon besar yang teduh
membuat para pejalan kaki merasa sangat nyaman berjalan di trotoar,
walaupun petugas kebersihan harus kerja ekstra membersihkan rontokan
daun yang seakan tak ada habisnya itu setiap pagi-pagi sekali.
Saat aku mau menyeberang jalan raya, tiba-tiba sudut
mataku menangkap kehadiran seseorang tepat di sebelahku. Tanpa menoleh
pun aku sudah sangat yakin siapa gerangan yang menjajari langkahku.
Diam-diam aku menghela napas lega karena tanpa kehadirannya aku pasti
saat ini sedang kalang kabut panik untuk menyeberang –yah, walaupun
hanya menunggu lampu hijau lalu berjalan biasa saja di atas zebra cross yang membentang seperti red carpet
di hadapanku ini, tapi tetap saja tanganku gemetar bila melakukannya
sendiri, membayangkan diriku yang berpostur cukup mungil berjalan di
tengah jalan raya besar, ditatap mobil-mobil yang menunggu gilirannya
lewat.
“Kenapa tidak menungguku?” tanyanya dengan nada tidak senang.
“Kupikir kau sudah berangkat duluan.” Jawabku jujur. Aku memang berangkat agak telat kali ini.
“Kau tahu aku tak akan pernah meninggalkanmu. Bukankah sudah sering kubilang kau harus berangkat bersamaku?” ungkapnya ketus.
“Maaf.” Hanya itu yang dapat aku katakan setelah beberapa saat terdiam.
Saat lampu hijau menyala bagi para
penyeberang jalan, ia menggandeng tanganku tanpa ragu, seperti yang ia
lakukan selama kurang lebih 12 tahun ini.
zzz
Ia berdiri setengah langkah di depanku, tepat di sampingku. Tangannya menggenggam tanganku erat.
Aku selalu menatapnya setiap kali ia
membantuku menyeberang, karena aku tidak perlu melihat jalan saat
dituntun olehnya. Aku memandangi wajahnya yang hanya terlihat sedikit,
dan rambut raven yang sangat ‘khas’ dia, yang terlihat sangat serasi
dengan kedua mata tajamnya yang seperti mata elang itu.
Ia selalu seperti ini. Melindungiku, tapi
cenderung berlebihan. Mungkin aku dianggapnya sesuatu yang sangat rapuh
dan mudah hancur berkeping-keping, atau mudah luruh oleh sapuan angin.
Dan aku sangat tidak suka itu.
Aku melepas genggamannya dengan agak
kasar setelah kami sampai di seberang jalan. Kupikir ia akan marah
padaku yang tidak tahu terima kasih telah dibantu menyeberang lalu
meninggalkanku begitu saja. Ternyata aku salah, ia malah menarik sudut
bibirnya sedikit sambil menoleh ke arahku. Lebih parahnya lagi, ia malah
merangkul pundakku.
Rasanya seperti ada sesuatu yang merambat
dari tangan yang disandarkannya di bahuku, lalu menjalar ke sekujur
tubuhku. Hangat. Aku merasa sangat nyaman dirangkulnya seperti ini.
Semua kekesalanku atas perlakuan overprotektifnya menguap.
Andai saja sikapnya akan selalu hangat
seperti ini. Tapi aku yakin, itu hanya pengharapanku saja. Ia akan
berubah menjadi Uchiha Sasuke, siswa teladan di sekolah dengan otak
jenius dan segudang penghargaannya, yang sangat terobsesi untuk
melakukan semua hal dengan sempurna, sangat serius, tidak menyenangkan
seperti sekarang. Ia juga akan menjelma menjadi sosok dingin seperti
makhluk yang tak dapat disentuh.
Dan benar saja, ia mulai menunjukkan
sikap seperti orang mau berubah wujud, selayaknya Superman atau
superhero lainnya. Tangannya perlahan turun dari pundakku, jaraknya pun
menjauh dariku. Sikapnya sudah mulai formal.
‘Saatnya untuk berubah, Uchiha?’
sindirku dalam hati. Aku tidak pernah berani mengatakannya. Entah
kenapa saat sikapnya sudah menjadi formal seperti itu aku merasa ia
sangat asing bagiku, bukan Sasuke-ku.
“Kau hati-hati, ya.” Pesannya dengan suara sangat pelan, tapi masih sanggup diterima telingaku dengan baik.
Ya, seperti biasa, ia akan berpesan seperti itu sebelum mempercepat langkahnya mendahuluiku beberapa meter.
Semakin dekat gedung sekolah, semakin jauh jarak kami.
zzz
“Kau hati-hati, ya.”
Pesan kakakku sambil mengacak-acak rambutku. Walaupun sakit, ia tetap
memaksakan seulas senyum tipis terukir di bibirnya. Dalam matanya yang
gelap itu kulihat kecemasan, kesedihan, kehancuran, tapi juga harapan
dan semangat yang meluap. Kakak akan meninggalkanku di pondok terpencil
ini. Sendirian.
Aku hanya menggigit bibirku kuat-kuat,
sampai nyaris berdarah, hanya agar air mataku tidak tumpah. Bibirku
bergetar, disusul dengan guncangan bahuku dan gejolak air bening di
pelupuk mataku.
Aku yakin kakak tak sanggup menatapku
seperti itu. Ia langsung menarikku ke dalam dekapannya, membenamkan
wajahku di dadanya, dan membelai rambutku penuh kasih sayang.
“Aku menyayangimu, Hinata. Aku akan
lakukan apapun demi kebahagiaan dan keselamatanmu. Karena kau adalah
milikku satu-satunya, maka aku akan menjagamu sekuat yang aku mampu.
Ingatlah selalu, Hinata, kau adalah adikku yang paling aku sayangi.
Selamanya.” Ucapnya. Sangat panjang untuk ukuran kakakku yang selama ini
pelit kata-kata.
Mendengarnya, tangisku pecah. Aku
menangis sesenggukan di dadanya. Bajunya pasti akan sangat basah. Tapi
sepertinya ia tak akan ambil pusing.
“Aku yakin kau akan sanggup bertahan.
Begitu juga aku. Kita akan sanggup melewati ini semua.” Ujarnya lagi,
mencoba meredakan tangisku.
Entah berapa lama aku menangis seperti itu. Yang jelas, saat aku menarik kepalaku, aku melihat baju kakak sangat sangat basah.
“Hahaha, kau ini cerdik sekali ya,
Hinata. Menunda-nunda kepergianku dengan membuat bajuku basah kuyup
seperti ini. Aku jadi harus ganti pakaian dulu. Hahaha.” Ia malah
tertawa. Padahal aku kan baru saja berhenti menangis.
zzz
“Sepertinya kau sangat bahagia ya
saat bersama Naruto tadi. Kau bisa tertawa sangat lepas, aku bahkan
belum pernah melihatmu tertawa seperti itu.” Kata Sasuke malam hari di
teras rumahku setelah sorenya kami kerja kelompok di rumah Naruto.
“Ah, oh, eh, itu… ya, kau tahu kan aku sangat suka naik ayunan.” Jawabku agak gugup, terkejut mendengar pernyataannya.
“Aku senang melihatmu sebahagia itu. Lain kali tertawalah seperti tadi.”
“Oh, euh, itu tadi kan hanya untuk menghabiskan waktu menunggumu dan teman-teman yang lain.”
“Bagaimana kalau kapan-kapan kau pergi
bersamanya? Kupikir kau butuh senang-senang. Naruto pasti akan menjagamu
dengan baik, walau mungkin tak sebaik aku.” Usulnya.
‘Kenapa tidak kau saja yang mengajakku pergi? Aku juga pasti akan sangat bahagia bersamamu. Sangat bahagia.’
“Hah, begini saja aku sudah bahagia kok.” Ujarku sambil melempar senyum.
“Yah, terserahlah. Yang jelas, yang kuinginkan adalah kau bahagia.” Ujarnya pelan, kepalanya menengadah memandang langit malam yang saat itu cukup terang.
Mataku mengikuti arah matanya, menatap
permadani hitam di atas sana yang bertaburkan jutaan bintang kecil
berkelap-kelip. Langit malam adalah kesukaanku dan Sasuke. Kami betah
duduk diam berjam-jam memandangi langit malam tanpa berkata sepatah pun.
Sasuke lah yang membuatku jatuh cinta
pada langit malam. Pertama kalinya aku merasa sangat nyaman duduk di
bawah naungan warna kelam adalah saat aku masih di bangku Taman
Kanak-Kanak, kurang lebih 12 tahun yang lalu.
Aku
mengenal Sasuke, anak lelaki yang tinggal di rumah yang berseberangan
dengan rumahku. Tapi kami benar-benar seperti tidak saling kenal
walaupun sekelas. Ia anak yang sangat pendiam, sementara aku yang pada
dasarnya sangat pemalu tidak bisa memulai percakapan apapun dengannya.
Biasanya teman-temanku lah yang mengajakku bermain. Dan Sasuke bukan
orang-orang yang seperti itu. Jadi kami benar-benar tidak pernah
berbicara satu sama lain.
Tapi
segalanya berubah mulai siang hari itu. Aku yang baru saja pulang dari
TK ku yang tidak jauh dari rumah bingung melihat rumahku dipadati
orang-orang. Sebagian besar tetanggaku, dan mereka semua tampak muram.
Ibu Sasuke yang melihatku langsung memelukku erat. Aku dapat merasakan
bahunya berguncang dan napasnya tertahan, seperti sedang menahan tangis.
“Ada apa, Tante?” tanyaku polos. Aku sama sekali tidak dapat menduga apa yang sebenarnya sedang terjadi saat itu.
“Hinata,
tante membuat makan siang yang sangat enak. Sekarang Hinata makan siang
di rumah tante, ya?” ajaknya, sama sekali bukan jawaban pertanyaanku
tadi.
Aku yang
benar-benar bingung hanya mengangguk polos. Kemudian Tante Mikoto
melepas pelukannya lalu meraih tanganku, membimbingku ke rumahnya.
Sasuke
sudah ada di meja makan saat itu. Cepat sekali ia berjalan tadi, bahkan
ia sudah mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian rumah. Ia duduk di
salah satu kursi yang mengelilingi meja makan dan memandangku dengan
tatapan yang tak kumengerti, terdiam dengan peralatan makan yang masih
kosong.
“Sekarang
duduklah di sini. Tante akan mengambil makanannya dahulu.” Ujar Tante
Mikoto setelah membimbingku duduk di kursi yang berhadapan dengan
putranya. Lalu ia menghilang di balik tirai biru ke ruangan lain yang
sepertinya dapur.
Sasuke
masih saja memandangiku tanpa rasa tidak enak. Justru aku yang merasa
tidak enak dipandangi seperti itu. Aku mengaitkan jemari kedua tanganku
di bawah meja, saling menggenggam dengan erat.
Untunglah
tante Mikoto tidak lama meninggalkan kami. Ia kembali membawa nampan
besar berisi makanan-makanan yang dari baunya saja sudah sangat lezat.
Aku dan Sasuke sudah siap makan dengan makanan di hadapan kami. Tapi tante Mikoto belum juga mengambil makanan untuknya.
“Tante tidak makan?” tanyaku heran.
“Oh, iya, iya.” Jawabnya gugup. Ia langsung mengambil makanan untuknya.
Kebingunganku
semakin menggunung saja saat itu. Ingin rasanya aku bertanya saat itu
juga. Tapi mama dan papaku mengajarkanku untuk tidak berbicara saat
makan. Jadi aku harus sabar menunggu sampai kami selesai makan. Lagi
pula, aku yakin tante Mikoto akan menjelaskannya padaku.
Setelah makan, Tante Mikoto mengajakku ke taman belakang rumahnya. Lagi-lagi aku hanya bisa menurut.
“Hinata,
bagaimana pelajaran di sekolah hari ini? Menyenangkan?” tanyanya
setelah kami duduk di sebuah kursi panjang dari kayu di bawah pohon
apel, menghadap ke sebuah kolam ikan kecil dengan gemericik air yang
sangat menentramkan.
“Iya.” Jawabku singkat. Aku bingung mau menjawab atau berkata apalagi.
Untuk beberapa saat kami terdiam, sampai akhirnya aku mendengar senggukan kecil tante Mikoto yang coba disembunyikannya.
“Sebenarnya
ada apa, Tante?” tanyaku. Aku yakin betul ada yang tidak biasa hari
ini. Dan perasaanku berkata itu sesuatu yang buruk.
Bahkan sangat amat buruk.
“Hinata…”
jawab Tante Mikoto menggantung. Ia melingkarkan tangannya di bahuku,
pipinya di sandarkan di puncak kepalaku. “adalah anak yang baik, bukan?”
lanjutnya.
Aku hanya mengangguk kecil, masih belum mengerti.
“Anak yang baik pasti ingin agar orang tuanya bahagia, bukan?”
Aku mengangguk lagi.
“Hinata…”
ujarnya lagi, kali ini ia melepas rangkulannya dan mengangkat daguku,
menatap mataku lurus-lurus. Tatapannya… tatapannya…
Sedih, iba, sayang, harapan, dan.. entahlah. Rasanya banyak emosi tertuang dalam mata hitamnya yang begitu dalam.
“Orang tuamu sedang berbahagia sekarang. Mereka sudah berada di suatu tempat yang sangat indah.” Lanjut tante Mikoto.
Aku masih juga belum paham.
“Kemana? Mengapa Hinata tidak diajak?” tanyaku.
“Tempatnya sangat jauh dan tak terjangkau, Hinata. Sekarang belum saatnya kau kesana.”
“Tapi
Hinata mau ikuut…! Hinata mau sekarang…! Hinata mau bersama mama dan
papa…!” ujarku mulai merengek. Tiba-tiba saja air mataku menyeruak dan
membentuk garis-garis sungai kecil di pipiku.
Bukan,
bukan karena aku merasa mama dan papa begitu jahatnya sampai tidak
mengajakku. Aku tahu pasti mereka tidak akan senang-senang sendiri
tanpaku. Aku menangis karena aku mulai mengerti.
Aku benar-benar sendiri sekarang.
Tempat yang sangat jauh dan tak terjangkau, dimana belum saatnya aku berada di sana…
Aku mulai menangis kencang. Tante Mikoto memelukku erat, sangat erat seakan aku akan ambruk bila dilepasnya.
Tapi mungkin ia benar. Aku belum bisa berdiri sendiri.
“Bagaimana? Bagaimana itu bisa terjadi? Kapan?” tanyaku dengan napas tersengal-sengal menahan tangis sejenak untuk bicara.
“Beberapa
jam yang lalu. Orang tuamu sedang pergi untuk menyiapkan kejutan
untukmu. Tapi tiba-tiba saja mereka kecelakaan. Sekarang mereka sedang
dibawa ke sini. Nenekmu juga sebentar lagi akan datang. Jangan bersedih,
Hinata. Kami semua ada untukmu.” Jawab Tante Mikoto sambil membelai
rambut pendekku dengan sangat lembut, selembut suaranya.
Kejutan? Yah, kejutan untuk hari ulang tahunku. Aku genap 5 tahun hari ini, hari dimana orang tuaku pergi.
Malam
hari setelah upacara pemakaman orang tuaku usai, aku diajak Tante Mikoto
ke rumahnya lagi. Aku dan nenekku -yang mulai malam itu akan tinggal
bersamaku- makan malam di rumah keluarga Uchiha.
Setelah
makan malam, nenek berbincang-bincang dengan Paman Fugaku dan Tante
Mikoto. Aku hanya diam saja mendengarkan mereka berbincang-bincang.
“Sasuke, kemarilah. Ajak Hinata main,” panggil Tante Mikoto.
“Main? Malam-malam begini?” Tanya Sasuke dari ruang tv.
“Ajak Hinata nonton tv denganmu,” ralat Tante Mikoto.
Beberapa saat kemudian Sasuke datang.
“Hinata, ikutlah dengan Sasuke nonton tv,” ajak Tante Mikoto.
Aku hanya mengangguk, lalu mengikuti langkah Sasuke yang kembali ke ruang tv.
Selama
beberapa menit kami terdiam memandangi layar televisi berukuran besar
yang sedang menayangkan berita itu. Sasuke tampaknya lebih suka menonton
acara berita di channel khusus berita itu daripada acara-acara lain yang lebih menghibur.
Tiba-tiba
saja mataku terpaku pada layar kaca itu. Berita kecelakaan. Walaupun
bukan tentang kecelakaan orang tuaku, tetap saja membuatku membeku di
tempat. Tanpa sadar aku mencengkeram lengan sofa kuat-kuat.
BLEP! Layar itu tiba-tiba gelap. Tangan Sasuke masih memegang remote saat aku menoleh padanya.
“Maaf,” ujarnya. Itu kali pertama ia berbicara denganku. Ia berdiri dan mengulurkan tangannya, “Ayo ikut denganku,” ajaknya.
Aku
hanya terbengong melihatnya. Karena tidak sabar, Sasuke meraih tanganku
dari lengan sofa. Ia membuka genggamanku yang sangat erat itu dengan
cukup mudah, lalu menggantinya dengan tangannya. Kini aku menggenggam
tangannya dengan erat.
Ia mengajakku ke lantai dua rumahnya, lalu terus berjalan ke arah balkon. Di balkon itu ada sebuah teropong bintang.
Ia
sibuk mengamati langit yang malam itu cukup cerah dengan teropong
bintangnya. Setelah beberapa detik berkutat dengan teropong itu, ia
menoleh padaku. Tanpa berbicara ia menyuruhku melakukan hal yang sama
dengannya barusan.
Aku
melihat langit melalui lensa teropong bintang yang sudah diarahkan oleh
Sasuke. Melalui lensa itu, sebuah bintang yang sangat cantik terlihat
lebih jelas.
Hatiku benar-benar tenang melihatnya. Kesedihan dan kepedihan hatiku sedikit terobati.
Mulai malam itu, aku menyukai langit malam.
zzz
Aku masih menangis memeluk lutut di
atas sebuah papan kayu yang menjadi alas tidurku malam ini. Suasana
sangat senyap, hanya suara tangisku yang memecah keheningan malam dengan
iringan jangkrik di luar sana. Aku dan kakak melarikan diri dari pusat
kota. Tempat kerusuhan yang begitu dahsyat. Kami melarikan diri sangat
jauh, jauh sekali. Entah sudah berapa minggu aku dan kakak menjauhi
pusat kota, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sampai akhirnya
kakak memutuskan untuk tinggal di sini.
Di tengah hutan.
Aku tidak tahu ada pondok kecil di tengah
hutan ini. Tapi kakak yakin mengajakku ke pondok itu. Ternyata benar,
sore tadi kami sampai di pondok yang akan kami tinggali ini setelah
berhari-hari tersesat.
Pondok kecil ini dibuat untuk tempat
beristirahat saat ayah berburu dulu. Kakak juga baru pertama kali ke
tempat ini dengan mengandalkan secuil kisah dari bibir ayah beberapa
tahun yang lalu.
Pondok ini sangat tidak terawat, dan
begitu menyeramkan. Benar-benar di tengah hutan belantara yang aku tak
tahu berapa luasnya. Belum lagi binatang buasnya.
“Jangan khawatir. Kita aman di sini,” ujar kakak menenangkanku.
“Aman dari musuh, tapi tidak aman dari binatang buas,” sergahku kesal.
“Bersabarlah, Hinata. Nanti kau juga akan
nyaman tinggal di sini. Setidaknya, aku sudah terlatih untuk menghadapi
binatang buas, tapi aku belum cukup mampu melawan kerajaan musuh!”
bentak kakakku.
Aku menangis lagi.
“Maaf,” ujarnya melembut. Ia menyodorkan tangannya padaku, mengajakku pergi.
“Kemana? Ini sudah malam,”
“Justru itulah, karena ini sudah malam,” jawabnya sambil menarik tanganku.
Di tengah padang kecil di belakang pondok itu, kakak menengadahkan kepalanya. Aku mengikuti gerakannya.
Begitu mempesona. Langit di sini terlihat
lebih jelas. Ribuan bintang berwarna-warni sangat kontras di langit
yang gelap. Daun-daun dari pohon besar di sekeliling kami seperti pigura
yang membingkai keindahan itu.
“Terima kasih, Kak. Ini…. Sangat…. Luar biasa!” ucapku terbata.
Kakak merangkul pundakku dan menyandarkan kepalaku di bahunya.
Krusakk… krusukk… tiba-tiba aku mendengar suara rumput yang terinjak di belakangku. Tubuhku menegang.
“Kyaaa…!!” aku memeluk kakakku sesaat setelah aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh kakiku.
Kakakku tertawa, tubuhnya berguncang-guncang.
“Mengapa tertawa? Ada sesuatu yang menyentuh kakiku!” omelku.
“Itu hanya rubah kecil, Hinata,” jawab kakakku.
Aku melepas tanganku yang melingkari leher kakakku, lalu pelan-pelan berbalik ke sumber keributan itu.
Sepasang mata jernih menatapku. Lalu ia berkedip manja.
Melihat mata itu, ketakutanku luruh,
berganti perasaan sayang. Rubah ini begitu menggemaskan. Warnanya oranye
dengan bulu kuning di puncak kepalanya. Tatapannya begitu polos. Kalau
aku tidak penakut, pasti aku sudah membawanya dalam pelukanku. Tapi, aku
takut. Bukan karena binatang itu, tapi memang biasanya aku agak takut
dengan binatang.
Kakak segera mengangkat binatang itu dan menggendongnya.
“Lucu, bukan?” tanyanya.
Aku mengangguk, tapi masih belum berani menyentuhnya.
Kakak menurunkan rubah itu lagi, lalu mengajakku masuk karena udara sudah mulai menggigit.
“Tunggu, lalu bagaimana dengan rubah itu?” tanyaku.
“Dia akan baik-baik saja. Rumahnya memang di hutan,” jawab kakakku.
“Oh… tapi apa boleh ia diajak main ke
pondok kita? Kurasa kita masih punya sedikit makan untuk dibagi pada
hewan mungil yang sepertinya kelaparan ini,” bujukku.
Kakakku memutar bola matanya tapi akhirnya berkata,”Baiklah.”
Setelah itu, aku mulai merasa nyaman. Hidup di pondok itu tidak selamanya buruk.
Esoknya, aku ikut kakak berburu di hutan.
Ternyata pondok kami tidak benar-benar di tengah hutan, jadi sangat
jarang bertemu binatang buas. Kami berburu agak dalam ke hutan, lalu
kembali membawa buah-buahan dan seekor kelinci hutan.
Kami berburu bersama rubah itu. Rubah itu
sepertinya sendirian, jadi ia mengikuti kami. Aku senang melihatnya
mengejar tikus-tikus hutan, lalu kembali dengan mimik puas.
Dalam waktu cukup singkat aku sudah benar-benar merasa nyaman dengannya. Aku tertawa-tawa bermain bersama rubah itu.
“Kau cocok juga jadi Tarzan,” komentar kakakku sambil menarik sudut kiri bibirnya.
“Habisnya dia lucu sekali,” ujarku sambil menimangnya manja.
“Aku senang melihatmu sebahagia itu. Lain kali tertawalah seperti tadi.”
“Kalau begitu, bisakah kita memeliharanya?” tanyaku.
“Well, aku tidak tahu juga. Mudah-mudahan tidak ada ibu rubah yang mencari anaknya yang hilang,” godanya.
“Uugh, nanti kalau dia datang nikahi saja, biar rubah ini jadi anak tirimu,” balasku.
“Hahaha, bagaimana kalau yang datang ayahnya yang duda? Apa kau siap menjadi ibu tirinya?” balas kakakku lagi.
“Aaargh! Ya sudah, nanti kita kembalikan kalau memang ia masih punya orang tua!” ujarku menyerah.
“Hahaha. Baiklah, yang kuinginkan adalah kau bahagia.” Ucapnya. Tiba-tiba mimiknya menjadi serius. “Apa kau bahagia di sini?” tanyanya.
Aku terdiam beberapa saat, tahu kalau
pertanyaan kali ini serius. “Hmm, aku selalu bahagia bersama kakak,”
jawabku dengan sungguh-sungguh.
Tapi sepertinya kakak tidak menangkap kesungguhanku. Ia berpikir aku hanya menenangkannya saja.
“Bersabarlah, Hinata. Kita akan kembali lagi,” ucapnya pelan lalu segera berlalu tanpa bisa aku cegah.