Popular Post

Posted by : Unknown 12 February 2015

Fan Fiction Anime Naruto

Aku tetap yakin, karena aku mengenal Sasuke lebih lama dari siapapun di sekolah kami.

Part 2
Matahari tampak sangat bersahabat pagi ini. Tidak terlalu menyengat, tapi tetap membuatku bersemangat. Sinarnya menerobos celah-celah kecil di antara dedaunan pohon besar yang menaungiku pagi ini. Di sepanjang jalan, deretan pohon besar yang teduh membuat para pejalan kaki merasa sangat nyaman berjalan di trotoar, walaupun petugas kebersihan harus kerja ekstra membersihkan rontokan daun yang seakan tak ada habisnya itu setiap pagi-pagi sekali.
Saat aku mau menyeberang jalan raya, tiba-tiba sudut mataku menangkap kehadiran seseorang tepat di sebelahku. Tanpa menoleh pun aku sudah sangat yakin siapa gerangan yang menjajari langkahku. Diam-diam aku menghela napas lega karena tanpa kehadirannya aku pasti saat ini sedang kalang kabut panik untuk menyeberang –yah, walaupun hanya menunggu lampu hijau lalu berjalan biasa saja di atas zebra cross yang membentang seperti red carpet di hadapanku ini, tapi tetap saja tanganku gemetar bila melakukannya sendiri, membayangkan diriku yang berpostur cukup mungil berjalan di tengah jalan raya besar, ditatap mobil-mobil yang menunggu gilirannya lewat.
“Kenapa tidak menungguku?” tanyanya dengan nada tidak senang.
“Kupikir kau sudah berangkat duluan.” Jawabku jujur. Aku memang berangkat agak telat kali ini.
“Kau tahu aku tak akan pernah meninggalkanmu. Bukankah sudah sering kubilang kau harus berangkat bersamaku?” ungkapnya ketus.
“Maaf.” Hanya itu yang dapat aku katakan setelah beberapa saat terdiam.
Saat lampu hijau menyala bagi para penyeberang jalan, ia menggandeng tanganku tanpa ragu, seperti yang ia lakukan selama kurang lebih 12 tahun ini.
zzz
Ia berdiri setengah langkah di depanku, tepat di sampingku. Tangannya menggenggam tanganku erat.
Aku selalu menatapnya setiap kali ia membantuku menyeberang, karena aku tidak perlu melihat jalan saat dituntun olehnya. Aku memandangi wajahnya yang hanya terlihat sedikit, dan rambut raven yang sangat ‘khas’ dia, yang terlihat sangat serasi dengan kedua mata tajamnya yang seperti mata elang itu.
Ia selalu seperti ini. Melindungiku, tapi cenderung berlebihan. Mungkin aku dianggapnya sesuatu yang sangat rapuh dan mudah hancur berkeping-keping, atau mudah luruh oleh sapuan angin.
Dan aku sangat tidak suka itu.
Aku melepas genggamannya dengan agak kasar setelah kami sampai di seberang jalan. Kupikir ia akan marah padaku yang tidak tahu terima kasih telah dibantu menyeberang lalu meninggalkanku begitu saja. Ternyata aku salah, ia malah menarik sudut bibirnya sedikit sambil menoleh ke arahku. Lebih parahnya lagi, ia malah merangkul pundakku.
Rasanya seperti ada sesuatu yang merambat dari tangan yang disandarkannya di bahuku, lalu menjalar ke sekujur tubuhku. Hangat. Aku merasa sangat nyaman dirangkulnya seperti ini. Semua kekesalanku atas perlakuan overprotektifnya menguap.
Andai saja sikapnya akan selalu hangat seperti ini. Tapi aku yakin, itu hanya pengharapanku saja. Ia akan berubah menjadi Uchiha Sasuke, siswa teladan di sekolah dengan otak jenius dan segudang penghargaannya, yang sangat terobsesi untuk melakukan semua hal dengan sempurna, sangat serius, tidak menyenangkan seperti sekarang. Ia juga akan menjelma menjadi sosok dingin seperti makhluk yang tak dapat disentuh.
Dan benar saja, ia mulai menunjukkan sikap seperti orang mau berubah wujud, selayaknya Superman atau superhero lainnya. Tangannya perlahan turun dari pundakku, jaraknya pun menjauh dariku. Sikapnya sudah mulai formal.
‘Saatnya untuk berubah, Uchiha?’ sindirku dalam hati. Aku tidak pernah berani mengatakannya. Entah kenapa saat sikapnya sudah menjadi formal seperti itu aku merasa ia sangat asing bagiku, bukan Sasuke-ku.
“Kau hati-hati, ya.” Pesannya dengan suara sangat pelan, tapi masih sanggup diterima telingaku dengan baik.
Ya, seperti biasa, ia akan berpesan seperti itu sebelum mempercepat langkahnya mendahuluiku beberapa meter.
Semakin dekat gedung sekolah, semakin jauh jarak kami.

zzz
“Kau hati-hati, ya.” Pesan kakakku sambil mengacak-acak rambutku. Walaupun sakit, ia tetap memaksakan seulas senyum tipis terukir di bibirnya. Dalam matanya yang gelap itu kulihat kecemasan, kesedihan, kehancuran, tapi juga harapan dan semangat yang meluap. Kakak akan meninggalkanku di pondok terpencil ini. Sendirian.
Aku hanya menggigit bibirku kuat-kuat, sampai nyaris berdarah, hanya agar air mataku tidak tumpah. Bibirku bergetar, disusul dengan guncangan bahuku dan gejolak air bening di pelupuk mataku.
Aku yakin kakak tak sanggup menatapku seperti itu. Ia langsung menarikku ke dalam dekapannya, membenamkan wajahku di dadanya, dan membelai rambutku penuh kasih sayang.
“Aku menyayangimu, Hinata. Aku akan lakukan apapun demi kebahagiaan dan keselamatanmu. Karena kau adalah milikku satu-satunya, maka aku akan menjagamu sekuat yang aku mampu. Ingatlah selalu, Hinata, kau adalah adikku yang paling aku sayangi. Selamanya.” Ucapnya. Sangat panjang untuk ukuran kakakku yang selama ini pelit kata-kata.
Mendengarnya, tangisku pecah. Aku menangis sesenggukan di dadanya. Bajunya pasti akan sangat basah. Tapi sepertinya ia tak akan ambil pusing.
“Aku yakin kau akan sanggup bertahan. Begitu juga aku. Kita akan sanggup melewati ini semua.” Ujarnya lagi, mencoba meredakan tangisku.
Entah berapa lama aku menangis seperti itu. Yang jelas, saat aku menarik kepalaku, aku melihat baju kakak sangat sangat basah.
“Hahaha, kau ini cerdik sekali ya, Hinata. Menunda-nunda kepergianku dengan membuat bajuku basah kuyup seperti ini. Aku jadi harus ganti pakaian dulu. Hahaha.” Ia malah tertawa. Padahal aku kan baru saja berhenti menangis.

zzz
“Sepertinya kau sangat bahagia ya saat bersama Naruto tadi. Kau bisa tertawa sangat lepas, aku bahkan belum pernah melihatmu tertawa seperti itu.” Kata Sasuke malam hari di teras rumahku setelah sorenya kami kerja kelompok di rumah Naruto.
“Ah, oh, eh, itu… ya, kau tahu kan aku sangat suka naik ayunan.” Jawabku agak gugup, terkejut mendengar pernyataannya.
“Aku senang melihatmu sebahagia itu. Lain kali tertawalah seperti tadi.”
“Oh, euh, itu tadi kan hanya untuk menghabiskan waktu menunggumu dan teman-teman yang lain.”
“Bagaimana kalau kapan-kapan kau pergi bersamanya? Kupikir kau butuh senang-senang. Naruto pasti akan menjagamu dengan baik, walau mungkin tak sebaik aku.” Usulnya.
‘Kenapa tidak kau saja yang mengajakku pergi? Aku juga pasti akan sangat bahagia bersamamu. Sangat bahagia.’
“Hah, begini saja aku sudah bahagia kok.” Ujarku sambil melempar senyum.
“Yah, terserahlah. Yang jelas, yang kuinginkan adalah kau bahagia.” Ujarnya pelan, kepalanya menengadah memandang langit malam yang saat itu cukup terang.
Mataku mengikuti arah matanya, menatap permadani hitam di atas sana yang bertaburkan jutaan bintang kecil berkelap-kelip. Langit malam adalah kesukaanku dan Sasuke. Kami betah duduk diam berjam-jam memandangi langit malam tanpa berkata sepatah pun.
Sasuke lah yang membuatku jatuh cinta pada langit malam. Pertama kalinya aku merasa sangat nyaman duduk di bawah naungan warna kelam adalah saat aku masih di bangku Taman Kanak-Kanak, kurang lebih 12 tahun yang lalu.
Aku mengenal Sasuke, anak lelaki yang tinggal di rumah yang berseberangan dengan rumahku. Tapi kami benar-benar seperti tidak saling kenal walaupun sekelas. Ia anak yang sangat pendiam, sementara aku yang pada dasarnya sangat pemalu tidak bisa memulai percakapan apapun dengannya. Biasanya teman-temanku lah yang mengajakku bermain. Dan Sasuke bukan orang-orang yang seperti itu. Jadi kami benar-benar tidak pernah berbicara satu sama lain.
Tapi segalanya berubah mulai siang hari itu. Aku yang baru saja pulang dari TK ku yang tidak jauh dari rumah bingung melihat rumahku dipadati orang-orang. Sebagian besar tetanggaku, dan mereka semua tampak muram. Ibu Sasuke yang melihatku langsung memelukku erat. Aku dapat merasakan bahunya berguncang dan napasnya tertahan, seperti sedang menahan tangis.
“Ada apa, Tante?” tanyaku polos. Aku sama sekali tidak dapat menduga apa yang sebenarnya sedang terjadi saat itu.
“Hinata, tante membuat makan siang yang sangat enak. Sekarang Hinata makan siang di rumah tante, ya?” ajaknya, sama sekali bukan jawaban pertanyaanku tadi.
Aku yang benar-benar bingung hanya mengangguk polos. Kemudian Tante Mikoto melepas pelukannya lalu meraih tanganku, membimbingku ke rumahnya.
Sasuke sudah ada di meja makan saat itu. Cepat sekali ia berjalan tadi, bahkan ia sudah mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian rumah. Ia duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan dan memandangku dengan tatapan yang tak kumengerti, terdiam dengan peralatan makan yang masih kosong.
“Sekarang duduklah di sini. Tante akan mengambil makanannya dahulu.” Ujar Tante Mikoto setelah membimbingku duduk di kursi yang berhadapan dengan putranya. Lalu ia menghilang di balik tirai biru ke ruangan lain yang sepertinya dapur.
Sasuke masih saja memandangiku tanpa rasa tidak enak. Justru aku yang merasa tidak enak dipandangi seperti itu. Aku mengaitkan jemari kedua tanganku di bawah meja, saling menggenggam dengan erat.
Untunglah tante Mikoto tidak lama meninggalkan kami. Ia kembali membawa nampan besar berisi makanan-makanan yang dari baunya saja sudah sangat lezat.
Aku dan Sasuke sudah siap makan dengan makanan di hadapan kami. Tapi tante Mikoto belum juga mengambil makanan untuknya.
“Tante tidak makan?” tanyaku heran.
“Oh, iya, iya.” Jawabnya gugup. Ia langsung mengambil makanan untuknya.
Kebingunganku semakin menggunung saja saat itu. Ingin rasanya aku bertanya saat itu juga. Tapi mama dan papaku mengajarkanku untuk tidak berbicara saat makan. Jadi aku harus sabar menunggu sampai kami selesai makan. Lagi pula, aku yakin tante Mikoto akan menjelaskannya padaku.
Setelah makan, Tante Mikoto mengajakku ke taman belakang rumahnya. Lagi-lagi aku hanya bisa menurut.
“Hinata, bagaimana pelajaran di sekolah hari ini? Menyenangkan?” tanyanya setelah kami duduk di sebuah kursi panjang dari kayu di bawah pohon apel, menghadap ke sebuah kolam ikan kecil dengan gemericik air yang sangat menentramkan.
“Iya.” Jawabku singkat. Aku bingung mau menjawab atau berkata apalagi.
Untuk beberapa saat kami terdiam, sampai akhirnya aku mendengar senggukan kecil tante Mikoto yang coba disembunyikannya.
“Sebenarnya ada apa, Tante?” tanyaku. Aku yakin betul ada yang tidak biasa hari ini. Dan perasaanku berkata itu sesuatu yang buruk.
Bahkan sangat amat buruk.
“Hinata…” jawab Tante Mikoto menggantung. Ia melingkarkan tangannya di bahuku, pipinya di sandarkan di puncak kepalaku. “adalah anak yang baik, bukan?” lanjutnya.
Aku hanya mengangguk kecil, masih belum mengerti.
“Anak yang baik pasti ingin agar orang tuanya bahagia, bukan?”
Aku mengangguk lagi.
“Hinata…” ujarnya lagi, kali ini ia melepas rangkulannya dan mengangkat daguku, menatap mataku lurus-lurus. Tatapannya… tatapannya…
Sedih, iba, sayang, harapan, dan.. entahlah. Rasanya banyak emosi tertuang dalam mata hitamnya yang begitu dalam.
“Orang tuamu sedang berbahagia sekarang. Mereka sudah berada di suatu tempat yang sangat indah.” Lanjut tante Mikoto.
Aku masih juga belum paham.
“Kemana? Mengapa Hinata tidak diajak?” tanyaku.
“Tempatnya sangat jauh dan tak terjangkau, Hinata. Sekarang belum saatnya kau kesana.”
“Tapi Hinata mau ikuut…! Hinata mau sekarang…! Hinata mau bersama mama dan papa…!” ujarku mulai merengek. Tiba-tiba saja air mataku menyeruak dan membentuk garis-garis sungai kecil di pipiku.
Bukan, bukan karena aku merasa mama dan papa begitu jahatnya sampai tidak mengajakku. Aku tahu pasti mereka tidak akan senang-senang sendiri tanpaku. Aku menangis karena aku mulai mengerti.
Aku benar-benar sendiri sekarang.
Tempat yang sangat jauh dan tak terjangkau, dimana belum saatnya aku berada di sana…
Aku mulai menangis kencang. Tante Mikoto memelukku erat, sangat erat seakan aku akan ambruk bila dilepasnya.
Tapi mungkin ia benar. Aku belum bisa berdiri sendiri.
“Bagaimana? Bagaimana itu bisa terjadi? Kapan?” tanyaku dengan napas tersengal-sengal menahan tangis sejenak untuk bicara.
“Beberapa jam yang lalu. Orang tuamu sedang pergi untuk menyiapkan kejutan untukmu. Tapi tiba-tiba saja mereka kecelakaan. Sekarang mereka sedang dibawa ke sini. Nenekmu juga sebentar lagi akan datang. Jangan bersedih, Hinata. Kami semua ada untukmu.” Jawab Tante Mikoto sambil membelai rambut pendekku dengan sangat lembut, selembut suaranya.
Kejutan? Yah, kejutan untuk hari ulang tahunku. Aku genap 5 tahun hari ini, hari dimana orang tuaku pergi.
Malam hari setelah upacara pemakaman orang tuaku usai, aku diajak Tante Mikoto ke rumahnya lagi. Aku dan nenekku -yang mulai malam itu akan tinggal bersamaku- makan malam di rumah keluarga Uchiha.
Setelah makan malam, nenek berbincang-bincang dengan Paman Fugaku dan Tante Mikoto. Aku hanya diam saja mendengarkan mereka berbincang-bincang.
“Sasuke, kemarilah. Ajak Hinata main,” panggil Tante Mikoto.
“Main? Malam-malam begini?” Tanya Sasuke dari ruang tv.
“Ajak Hinata nonton tv denganmu,” ralat Tante Mikoto.
Beberapa saat kemudian Sasuke datang.
“Hinata, ikutlah dengan Sasuke nonton tv,” ajak Tante Mikoto.
Aku hanya mengangguk, lalu mengikuti langkah Sasuke yang kembali ke ruang tv.
Selama beberapa menit kami terdiam memandangi layar televisi berukuran besar yang sedang menayangkan berita itu. Sasuke tampaknya lebih suka menonton acara berita di channel khusus berita itu daripada acara-acara lain yang lebih menghibur.
Tiba-tiba saja mataku terpaku pada layar kaca itu. Berita kecelakaan. Walaupun bukan tentang kecelakaan orang tuaku, tetap saja membuatku membeku di tempat. Tanpa sadar aku mencengkeram lengan sofa kuat-kuat.
BLEP! Layar itu tiba-tiba gelap. Tangan Sasuke masih memegang remote saat aku menoleh padanya.
“Maaf,” ujarnya. Itu kali pertama ia berbicara denganku. Ia berdiri dan mengulurkan tangannya, “Ayo ikut denganku,” ajaknya.
Aku hanya terbengong melihatnya. Karena tidak sabar, Sasuke meraih tanganku dari lengan sofa. Ia membuka genggamanku yang sangat erat itu dengan cukup mudah, lalu menggantinya dengan tangannya. Kini aku menggenggam tangannya dengan erat.
Ia mengajakku ke lantai dua rumahnya, lalu terus berjalan ke arah balkon. Di balkon itu ada sebuah teropong bintang.
Ia sibuk mengamati langit yang malam itu cukup cerah dengan teropong bintangnya. Setelah beberapa detik berkutat dengan teropong itu, ia menoleh padaku. Tanpa berbicara ia menyuruhku melakukan hal yang sama dengannya barusan.
Aku melihat langit melalui lensa teropong bintang yang sudah diarahkan oleh Sasuke. Melalui lensa itu, sebuah bintang yang sangat cantik terlihat lebih jelas.
Hatiku benar-benar tenang melihatnya. Kesedihan dan kepedihan hatiku sedikit terobati.
Mulai malam itu, aku menyukai langit malam.

zzz
 
Aku masih menangis memeluk lutut di atas sebuah papan kayu yang menjadi alas tidurku malam ini. Suasana sangat senyap, hanya suara tangisku yang memecah keheningan malam dengan iringan jangkrik di luar sana. Aku dan kakak melarikan diri dari pusat kota. Tempat kerusuhan yang begitu dahsyat. Kami melarikan diri sangat jauh, jauh sekali. Entah sudah berapa minggu aku dan kakak menjauhi pusat kota, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sampai akhirnya kakak memutuskan untuk tinggal di sini.
Di tengah hutan.
Aku tidak tahu ada pondok kecil di tengah hutan ini. Tapi kakak yakin mengajakku ke pondok itu. Ternyata benar, sore tadi kami sampai di pondok yang akan kami tinggali ini setelah berhari-hari tersesat.
Pondok kecil ini dibuat untuk tempat beristirahat saat ayah berburu dulu. Kakak juga baru pertama kali ke tempat ini dengan mengandalkan secuil kisah dari bibir ayah beberapa tahun yang lalu.
Pondok ini sangat tidak terawat, dan begitu menyeramkan. Benar-benar di tengah hutan belantara yang aku tak tahu berapa luasnya. Belum lagi binatang buasnya.
“Jangan khawatir. Kita aman di sini,” ujar kakak menenangkanku.
“Aman dari musuh, tapi tidak aman dari binatang buas,” sergahku kesal.
“Bersabarlah, Hinata. Nanti kau juga akan nyaman tinggal di sini. Setidaknya, aku sudah terlatih untuk menghadapi binatang buas, tapi aku belum cukup mampu melawan kerajaan musuh!” bentak kakakku.
Aku menangis lagi.
“Maaf,” ujarnya melembut. Ia menyodorkan tangannya padaku, mengajakku pergi.
“Kemana? Ini sudah malam,”
“Justru itulah, karena ini sudah malam,” jawabnya sambil menarik tanganku.
Di tengah padang kecil di belakang pondok itu, kakak menengadahkan kepalanya. Aku mengikuti gerakannya.
Begitu mempesona. Langit di sini terlihat lebih jelas. Ribuan bintang berwarna-warni sangat kontras di langit yang gelap. Daun-daun dari pohon besar di sekeliling kami seperti pigura yang membingkai keindahan itu.
“Terima kasih, Kak. Ini…. Sangat…. Luar biasa!” ucapku terbata.
Kakak merangkul pundakku dan menyandarkan kepalaku di bahunya.
Krusakk… krusukk… tiba-tiba aku mendengar suara rumput yang terinjak di belakangku. Tubuhku menegang.
“Kyaaa…!!” aku memeluk kakakku sesaat setelah aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh kakiku.
Kakakku tertawa, tubuhnya berguncang-guncang.
“Mengapa tertawa? Ada sesuatu yang menyentuh kakiku!” omelku.
“Itu hanya rubah kecil, Hinata,” jawab kakakku.
Aku melepas tanganku yang melingkari leher kakakku, lalu pelan-pelan berbalik ke sumber keributan itu.
Sepasang mata jernih menatapku. Lalu ia berkedip manja.
Melihat mata itu, ketakutanku luruh, berganti perasaan sayang. Rubah ini begitu menggemaskan. Warnanya oranye dengan bulu kuning di puncak kepalanya. Tatapannya begitu polos. Kalau aku tidak penakut, pasti aku sudah membawanya dalam pelukanku. Tapi, aku takut. Bukan karena binatang itu, tapi memang biasanya aku agak takut dengan binatang.
Kakak segera mengangkat binatang itu dan menggendongnya.
“Lucu, bukan?” tanyanya.
Aku mengangguk, tapi masih belum berani menyentuhnya.
Kakak menurunkan rubah itu lagi, lalu mengajakku masuk karena udara sudah mulai menggigit.
“Tunggu, lalu bagaimana dengan rubah itu?” tanyaku.
“Dia akan baik-baik saja. Rumahnya memang di hutan,” jawab kakakku.
“Oh… tapi apa boleh ia diajak main ke pondok kita? Kurasa kita masih punya sedikit makan untuk dibagi pada hewan mungil yang sepertinya kelaparan ini,” bujukku.
Kakakku memutar bola matanya tapi akhirnya berkata,”Baiklah.”
Setelah itu, aku mulai merasa nyaman. Hidup di pondok itu tidak selamanya buruk.
Esoknya, aku ikut kakak berburu di hutan. Ternyata pondok kami tidak benar-benar di tengah hutan, jadi sangat jarang bertemu binatang buas. Kami berburu agak dalam ke hutan, lalu kembali membawa buah-buahan dan seekor kelinci hutan.
Kami berburu bersama rubah itu. Rubah itu sepertinya sendirian, jadi ia mengikuti kami. Aku senang melihatnya mengejar tikus-tikus hutan, lalu kembali dengan mimik puas.
Dalam waktu cukup singkat aku sudah benar-benar merasa nyaman dengannya. Aku tertawa-tawa bermain bersama rubah itu.
“Kau cocok juga jadi Tarzan,” komentar kakakku sambil menarik sudut kiri bibirnya.
“Habisnya dia lucu sekali,” ujarku sambil menimangnya manja.
“Aku senang melihatmu sebahagia itu. Lain kali tertawalah seperti tadi.”
“Kalau begitu, bisakah kita memeliharanya?” tanyaku.
“Well, aku tidak tahu juga. Mudah-mudahan tidak ada ibu rubah yang mencari anaknya yang hilang,” godanya.
“Uugh, nanti kalau dia datang nikahi saja, biar rubah ini jadi anak tirimu,” balasku.
“Hahaha, bagaimana kalau yang datang ayahnya yang duda? Apa kau  siap menjadi ibu tirinya?” balas kakakku lagi.
“Aaargh! Ya sudah, nanti kita kembalikan kalau memang ia masih punya orang tua!” ujarku menyerah.
“Hahaha. Baiklah, yang kuinginkan adalah kau bahagia.” Ucapnya. Tiba-tiba mimiknya menjadi serius. “Apa kau bahagia di sini?” tanyanya.
Aku terdiam beberapa saat, tahu kalau pertanyaan kali ini serius. “Hmm, aku selalu bahagia bersama kakak,” jawabku dengan sungguh-sungguh.
Tapi sepertinya kakak tidak menangkap kesungguhanku. Ia berpikir aku hanya menenangkannya saja.
“Bersabarlah, Hinata. Kita akan kembali lagi,” ucapnya pelan lalu segera berlalu tanpa bisa aku cegah.


Continue...

Next : Reborn [Part 3]

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Star Imagination - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -