- Back to Home »
- fiction »
- Reborn [Part 4]
Posted by : Unknown
22 February 2015
Tiga ketukan pelan terdengar di pintu
pondok. Aku yang sedang bermain-main dengan si rubah mungil kesayanganku
langsung membeku. Kupertajam kedua telingaku, dan kudengar bunyi yang
sama. Dengan was-was aku berjalan menuju pintu, mengintip di sebuah
lubang kecilnya.
Dalam sekejap
ketakutanku sirna. Tanpa pikir panjang aku segera membuka pintu dan
menghambur ke arah pengetuk itu. Ia membentangkan tangannya, bersiap
menerima serbuanku ke dalam pelukannya.
Kakak. Entah sudah berapa lama kami tak bertemu. Yang jelas sekarang ini kakak tampak jauh berbeda, dan jauh lebih baik.
“Hai, Tarzan! Apa kabar?” sapanya sambil mengelus rambut panjangku.
“Enak saja! Aku bukan tarzan!” jawabku sambil membenamkan wajahku di dadanya.
“Hahaha, baiklah, apa kabar, Adikku sayang?” tanyanya ulang.
“Tadinya tidak terlalu baik, tapi sekarang baik sekali!” jawabku sungguh-sungguh sambil mengangkat wajahku dan menatap mata onyxnya yang tajam.
“Aku senang mendengarnya.” Sahutnya seraya mencubit hidungku gemas.
Aku menyeringai lebar. Masih tidak mau melepaskan pelukanku.
“Kau tidak mau mengajak kakakmu masuk?” tanyanya.
“Oh iya, aku hampir lupa. Hehehe.” Jawabku tidak enak sambil melepaskan tanganku yang melingkarinya. Rasanya berat sekali.
Kakak memasuki pondok kami, lalu duduk di salah satu kursi kayu. Ia melepas topinya dan menggunakannya sebagai kipas.
Barulah pada saat itu aku menyadari. Ya, kakakku kini berbeda sekali. Pakaiannya sangat bagus.
“Kemana saja selama ini?” tanyaku.
“Nanti ku ceritakan. Sekarang aku
mengantuk sekali. Hoaaahm…” katanya sambil menguap lebar. Lalu ia
membaringkan tubuhnya di kursi sebesar ranjang itu.
Tak lama kemudian ia terlelap. Aku
memandanginya saat tertidur. Rasa rindu yang membuncah di diriku
membuatku ingin menyentuhnya. Tapi akhirnya kuurungkan, karena tidak
tega melihatnya kelelahan seperti ini. Akhirnya aku memutuskan untuk
membuatkan makanan untuknya saat terbangun nanti.
zzz
“Jadi, kakak sudah bertemu dengan paman itu?” tanyaku.
“Begitulah.” Jawab kakak yang kemudian menyesap minuman hangat yang kusediakan. Bukan kopi atau teh, tapi air jahe.
“Setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan dan berbulan-bulan tersesat?” tanyaku lagi.
Ia mengangguk tipis, masih menikmati air jahenya.
“Bagaimana perjalanannya? Menakutkan?” tanyaku.
Ia meletakkan gelasnya di meja sebelum
menjawab dengan panjang, “Awalnya sangat sulit. Aku harus terus
bersembunyi dan melakukan perjalanan di malam hari. Tapi semakin jauh
aku melangkah, semakin sedikit orang yang mengetahui siapa aku, sampai
akhirnya tidak ada sama sekali yang mengenaliku. Barulah aku bisa
berjalan dengan wajar, bergaul dengan baik, dan mendapat informasi lebih
mudah. Sampai akhirnya aku berhasil mengetahui letak kerajaan paman
Kakashi. Aku segera menuju ke sana tapi sempat tersesat beberapa kali,
setelah sampai pun tidak mudah untuk langsung menemui beliau.
Orang-orang tak percaya bahwa aku mengenal raja mereka. Setelah
kukatakan bahwa aku adalah anak Iruka, pengawalnya memberi tahu paman
Kakashi. Lalu paman Kakashi segera memerintahkan mereka untuk membawaku
menemuinya.”
“Paman Kakashi langsung percaya kalau kakak adalah anak ayah? Bukankah kalian belum pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku lagi.
“Memang belum, aku juga belum pernah ke
pondok ini sebelumnya tapi akhirnya berhasil menemukannya, bukan?
Setelah melihatku, paman Kakashi memandangku dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Awalnya dia agak ragu, tapi setelah aku menunjukkan kalung
ayah, paman langsung percaya.”
“Kalung? Kalung apa? Kakak tidak pernah memberitahuku tentang kalung sebelumnya.” Desakku.
“Ayah pernah berkata pada kakak, bila
keadaan genting, pergilah ke pondok ini dan carilah sebuah kalung yang
tersimpan di pondok tersebut. Lalu pergilah menemui paman Kakashi,
sahabat ayah. Pondok ini pun dibangun untuk mereka berdua. Jadi kakak
menuruti saja perkataan ayah.”
“Walaupun kakak sendiri tidak pernah tahu
sebelumnya? Tidak tahu dimana letak pondok ini secara pasti, tidak tahu
dimana kerajaan paman Kakashi, bahkan tidak tahu orangnya seperti apa?”
tanyaku heran pada kenekatan kakak.
“Itulah gunanya kepercayaan. Kalau kau
percaya dan yakin betul, kau akan berhasil. Walaupun kau buta sama
sekali sebelumnya.” Jawabnya mantap.
Aku terdiam. Mencerna kata-katanya dan
mencari apa lagi yang ingin kutanyakan. Sebetulnya banyak sekali yang
ingin kutanyakan, tapi mendadak hilang semua.
“Kau tidak bertanya apa yang terjadi kemudian?” pancing kakak.
Oh, ya. Tentu saja. Apa yang terjadi pada kakak selanjutnya?
“Ceritakan semuanya padaku.” Pintaku.
“Hmm, kurasa aku jadi haus lagi karena
terlalu banyak bercerita.” Sindirnya halus. Dengan sigap aku langsung
mengambilkan minuman untuknya lagi.
Setelah meneguk beberapa kali, kakak kembali melanjutkan ceritanya.
“Setelah paman yakin bahwa aku adalah
anak Iruka, paman langsung memelukku erat sekali. Ia bertanya-tanya apa
yang terjadi dengan ayah. Tapi sebelum aku bercerita, ia menyuruh
pengawalnya untuk mengurusku. Yeah, badanku bau sekali saat itu. Setelah
aku sudah bersih, rapi, dan wangi, ia memintaku menceritakan
selengkap-lengkapnya. Bahkan matanya merah dan sesekali air matanya
menetes. Istrinya, ratu Aya Haruka, menghabiskan banyak sekali sapu
tangan untuk menghapus air matanya. Ratu memang sangat lembut dan
berperasaan.” Ceritanya.
“Bagaimana dengan anaknya? Apa mereka memiliki pangeran atau putri?” tanyaku.
“Nah, di sinilah klimaksnya, Adikku yang
cantik. Paman Kakashi menanyakan padaku apakah aku mau menjadi
menantunya, karena beliau tidak memiliki putra. Mereka hanya mempunyai
seorang putri, yang sampai sekarang aku belum melihatnya karena selama
aku di sana ia sedang berkelana.”
“Berkelana?” tanyaku heran.
“Ya, mereka bilang putri mereka memang
agak unik. Oleh karena itulah paman terlihat agak ragu memintaku menjadi
menantunya. Tapi ia sangat berharap agar mau menyetujuinya.” Jawab
kakak sambil menarik sudut kiri bibirnya. Sepertinya ia tertarik pada
putri itu.
“Kakak –jangan bilang kakak mulai tertarik dengannya?!” tebakku.
Ia malah semakin menarik sudut bibirnya, “Apa menurutmu begitu?”
“Kak! Bagaimana kalau ternyata gadis itu
tidak seperti yang kakak bayangkan? Bahkan tadi kakak sendiri yang
bilang kalau paman Kakashi sebenarnya agak ragu meminta kakak menjadi
menantunya! Bagaimana kalau ternyata sang putri memiliki kelainan?
Bagaimana kalau ia cacat? Bagaimana –“
“Ssshht…” potongnya sambil mengacungkan telunjuknya di bibirnya, menyuruhku diam.
“Jangan terlalu berlebihan. Kita bahkan belum tahu siapa dia.”
“Justru karena kita belum tahu dia, makanya kakak jangan keburu jatuh cinta padanya!” bantahku.
“Siapa yang bilang kalau aku jatuh cinta padanya?” Tanya kakak.
“Yeah, hampir. Tapi jangan sampai.” Ucapku semakin pelan.
“Dengar, Hinata. Pikirkan bagaimana
kelangsungan kerajaan kita kelak. Kita masih bisa mempertahankannya
dengan cara ini. Kita masih bisa melanjutkan perjuangan ayah, kakek, dan
terus sampai raja pertama. Pikirkan bagaimana rakyat kita sekarang…
tunggu, bagaimana keadaan mereka selama kepergianku?” Tanya kakak.
“Masih aman. Walau hidup mereka tidak
sedamai dan sesejahtera dulu, tapi setidaknya kerusuhan itu sudah mereda
sejak kakak mulai pergi. Sebagian besar dari mereka memang sudah
menjadi rakyat mereka, tapi masih ada pengikut setia kita yang
mengungsi ke tempat lain dan bersembunyi. Mereka masih tetap menanti
kemunculan kita kembali.” Jelasku.
Aku memang tinggal sendiri di hutan, tapi
seperti yang ku bilang, pondok ini masih tidak terlalu jauh di dalam
hutan. Sesekali aku keluar hutan untuk memantau perkembangan, tentu
dengan menyamar. Aku benar-benar merahasiakan identitasku dari siapapun,
karena kawan bisa menjadi lawan setelah adanya perusuh seperti mereka, yang suka mengadu domba dan menipu rakyatku untuk kepentingan mereka sendiri.
Ya, mereka yang kumaksud adalah mereka yang telah menghancurkan kerajaanku dan…
MEMBUNUH-HAMPIR-SELURUH-KELUARGA-BESARKU.
“Karena itulah, Hinata. Aku harus menyelamatkan mereka.” Ucap kakakku.
“Dengan mengorbankan dirimu sendiri? Maksudku, kalau kau tidak mencintainya, kau tetap akan menikahinya demi rakyat kita?”
“Tenang saja, aku akan mencintainya. Aku akan mencintai istriku sepenuh hati.” Jawab kakakku mantap.
Mendengar keteguhan dalam nada bicaranya, hatiku tersentuh. ‘Betapa beruntungnya kau, Putri.’ Batinku.
zzz
Esok paginya, kami berangkat menuju kerajaan Kakashi. Kedatangan kakak adalah untuk menjemputku.
Aku memandangi pondok itu lama sekali.
Mengamati setiap detilnya, dan menyimpannya dalam ingatanku. Ketika
mataku menatap rubah itu, aku tak tahan untuk tidak mengajaknya.
Akhirnya kakakku mengizinkan karena toh rubah itu telah berjasa selama
ini menemaniku.
Kami berangkat pagi-pagi sekali. Sebelum
matahari terbit kami sudah mencapai batas aman dimana sudah bukan lagi
daerah rawan bertemu orang-orang dari kerajaan lama kami.
“Seberapa jauh jaraknya?” tanyaku.
“Hmm, berhubung aku sudah tahu jalannya, kurang lebih 3 bulan kita sudah sampai.”
“Apa?! Itu jauh sekali!”
“Tenang saja, Hinata. Bukankah kau sudah terbiasa memakan apapun yang kau temukan di jalan? Itulah yang akan kita lakukan.”
“Mengapa paman Kakashi tidak menyuruhmu membawa kuda atau apalah sebagai alat transportasi?” tanyaku.
“Paman sudah menawarkannya padaku. Bahkan
beliau juga memintaku untuk bersedia diiringi pengawalnya dengan kereta
kuda. Tapi aku menolak.” Jawabnya.
“Kenapa? Kau ini bodoh atau sombong sih?” tanyaku jengkel.
Kakak hanya tertawa mendengar omelanku. “Karena aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan adikku.” Jawabnya kemudian.
Tiba-tiba saja aku merasa pipiku terbakar. Kakak ternyata memang sangat, sangat baik dan menyayangiku.
zzz
Sepanjang sisa perjalanan, kami
benar-benar memanfaatkan waktu untuk melepas kerinduan kami. Aku yang
sudah terbiasa mandiri menjadi sangat dimanja oleh kakakku. Tapi aku
senang dengan perlakuannya.
Aku sangat suka memandangi kakak yang
sedang tertidur. Begitu polos dan tentu saja tampan. Dalam hati aku
membayangkan bagaimana putri yang kelak akan menjadi ratu dari kakakku
yang luar biasa ini.
Pertama-tama aku membayangkan seorang
putri yang hobi jalan-jalan dan menghamburkan banyak uang, mengingat
kata kakak ia sedang berkelana. Uugh, belum-belum aku sudah mual
membayangkannya.
Lalu aku membayangkan seorang putri yang
memiliki kelainan, mengingat kata kakak orang tuanya bilang ia unik.
Semacam autis atau semacamnya mungkin. Membayangkannya membuatku miris.
Atau, bagaimana kalau ia cacat? Atau
penyakitan? Sehingga ia harus dibawa pergi kemana-mana untuk mencari
pengobatan terbaik. Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Aku kembali melihat wajah kakakku yang
rupawan itu. Tiba-tiba aku berpikir, bagaimana kalau putri itu buruk
rupa? Sehingga bukan lagi beauty and the beast, tapi handsome and the
beast? Aku bergidik membayangkannya. Bukan, bukan karena aku tidak suka
orang yang tidak cantik. Aku sendiri tidak sangat cantik. Hanya saja,
membayangkan kakakku yang rupawan ini bersanding dengan putri yang buruk
rupa… apa malah tidak membuatnya ingin bunuh diri?
zzz
Tiga bulan yang rasanya bagaikan tiga
menit bila dibandingkan dengan rasa kangen kami setelah berpisah entah
berapa puluh bulan. Kami akhirnya tiba di kawasan Kerajaan Azalea.
Bunga-bunga Azalea bemekaran di awal musim panas ini. Kakak bilang
beberapa hari lagi akan diadakan festival. Dan di saat itulah putri
rencananya akan tiba.
“Selamat pagi, Tuan dan Nona! Selamat
datang di kerajaan Azalea!” sapa seorang gadis ramah di gerbang kerajaan
Azalea yang dikelilingi pagar beton.
“Selamat pagi!” jawabku. Kakak hanya menunduk sedikit.
“Apa memang setiap orang asing yang datang selalu disambut seperti ini?” bisikku pada kakak.
Kakak mengangkat bahunya. “Waktu aku datang ke sini tidak.”
“Mungkin Anda heran dengan penyambutan
saya. Perkenalkan, saya Sakura, dan saya memang ditugaskan untuk
menyambut kedatangan Anda. Silakan masuk, Tuan dan Nona. Anda berdua
sudah ditunggu raja dan ratu di dalam istana.” Ujarnya dengan senyum
yang terus terkembang.
Aku mengikutinya di belakang bersama
kakak. Ia berjalan di depan kami dengan langkah tegap. Sedikit terlalu
gagah untuk ukuran seorang wanita. Rambut merah mudanya dipotong sangat
pendek hingga menampakkan leher belakangnya. Ia tidak mengenakan baju
terusan seperti wanita pada umumnya, melainkan mengenakan sebuah kemeja
merah muda dengan dasi merah tua, disertai celana panjang merah tua. Aku
baru kali ini melihat wanita berpenampilan ‘berbeda’ seperti dia.
“Bagaimana perjalanan kalian?” Tanya Sakura.
“Baik-baik saja,” jawab kakak.
“Dan agak melelahkan.” Tambahku. Sakura tersenyum.
“Bagaimana kabar raja dan ratu?” Tanya kakak.
“Kabar mereka baik dan sehat.” Jawabnya.
“Syukurlah. Lalu keadaan Kerajaan Azalea?” Tanya kakakku lagi.
“Aman terkendali.” Jawabnya mantap.
Kakakku mengangguk-angguk lega. Sepertinya sebagian jiwa kakak sudah menjadi bagian dari Kerajaan Azalea.
“Bagaimana dengan sang putri?” tanyaku.
“Putri juga baik-baik saja.”
“Apakah dia sudah pulang dari
perjalanannya?” tanyaku lagi. Aku tahu sebenarnya kakak juga ingin tahu
tapi tidak tahu harus bertanya bagaimana. Maka untuk urusan ini biar aku
yang ambil alih.
“Yang jelas, putri berjanji bahwa pada saat festival ia akan datang.” Ujarnya.
Ternyata, Sakura adalah gadis yang baik.
Walaupun penampilannya agak ‘berbeda’, tapi ia orang yang menyenangkan.
Dalam waktu singkat aku bisa mengaguminya. Bahkan ia bisa mencuri
perhatian kakakku, walau kakak menutupinya.
zzz
H-1 festival. Semua lapisan masyarakat
kerajaan Azalea sibuk mempersiapkan acara tahunan paling meriah negeri
itu. Di setiap rumah terdapat semacam koinobori tetapi bukan
berbentuk ikan, melainkan bunga Azalea. Alun-alun di pusat kota
didekorasi sedemikian rupa dengan beragam peralatan perlombaan, karena
keesokan harinya ada banyak perlombaan yang diadakan di lapangan itu.
Akan ada lomba balap kuda, memanah, memasak, dan sebagainya.
“Wah, ramai sekali. Sepertinya festival besok akan sangat meriah,” ucapku.
“Begitulah, setiap tahun selalu seperti
ini. Dan aku selalu sangat menyukai momen ini.” Kata Sakura yang
membawaku berkeliling sore itu.
“Puncak acaranya kapan? Nanti malam?” Tanya kakak.
“Tidak. Puncak acaranya besok siang.
Festival ini memang diadakan siang hari. Tetapi mulai nanti malam ada
pasar malam yang akan berlangsung tiga malam berturut-turut.” Jelasnya.
“Puncak acaranya seperti apa?” tanyaku.
“Hmm, penanaman tanaman Azalea oleh raja,
lalu seluruh anggota kerajaan, kemudian oleh beberapa orang perwakilan
rakyat negeri ini.” Jawab Sakura sambil tersenyum bangga.
“Hah? Seperti itu? Unik sekali,” ucapku kaget, tetapi ada kekaguman di dalamnya.
“Apa dari dulu seperti itu?” Tanya kakak.
“Mmm, tidak juga, acara seperti itu baru dimulai beberapa tahun belakangan.”
“Apa itu ide sang putri?” Tanya kakak lagi.
Sakura tersenyum sebelum mengangguk.
Tiba-tiba saja kakak menarik sudut kiri
bibirnya. Dapat kulihat di matanya kalau ia sangat penasaran dengan
putri ini dan bahkan sudah tertarik padanya.
Oh, tidak. Jangan mulai lagi.
zzz
“Sakura, apa putri sudah dekat? Kira-kira
sudah sampai di mana ya?” tanyaku saat aku, Sakura, dan kakakku sedang
makan mie di sebuah kedai di pasar malam.
“Hmm, yang pasti sang putri sudah dekat. Sudahlah, besok siang ia akan datang.” Jawabnya, kemudian melanjutkan makannya.
zzz
Akhirnya, saat yang paling
kutunggu-tunggu tiba. Hari festival, dimana saat itu putri akan datang.
Hmm, seperti apa ya, dia? Membuatku penasaran saja.
Dengan gaun panjang warna violet dengan
aksen bunga Azalea warna biru aku siap datang ke alun-alun untuk
merayakan festival sekaligus menyambut kedatangan sang putri. Rambut
panjangku dibiarkan terurai dengan Gainsborough Hat menutupi puncak kepalaku dan melindungi wajahku dari teriknya matahari.
Tiga ketukan pelan terdengar di pintu kamarku.
“Hinata, apa kau sudah siap?” Tanya kakak.
“Ya, aku sudah siap.” Jawabku lalu segera keluar menghampirinya.
“Mana Sakura?” tanyaku.
“Tadi pagi salah satu petugas istana
memberitahuku kalau Sakura tidak bisa berangkat bersama kita.” Jawab
kakak, tiba-tiba saja aku bisa mendengar ada nada muram dalam suaranya.
“Ooh,” sahutku, entah kenapa aku juga merasa sedikit kecewa. Ia seperti temanku di sini.
“Ayo kita ke ruang makan, paman dan bibi sudah menunggu.” Kata kakak.
Aku berjalan menuju ruang makan dengan
pikiran tertuju pada Sakura. Membayangkan berjalan tanpa Sakura, aku
jadi merasa tidak nyaman. Sakura selalu bercerita ini-itu, membuat
suasana cair. Kalau hanya bersama kakak, pasti akan membosankan sekali.
“Omong-omong, adikku cantik sekali,” ucap kakak tiba-tiba, mengagetkanku saja.
“Eh? Terima kasih, Kak.” Jawabku sambil tersipu. Kemudian ku amati kakakku dan menilai penampilannya.
Yeah, kakakku juga keren sekali. Dengan pakaian ala pangeran berwarna biru tua kakak terlihat sangat gagah.
“Kakak juga keren dan tampan sekali,” pujiku.
“Terima kasih,” jawabnya singkat.
Kami melanjutkan langkah kami ke ruang makan dengan diam. Sesampainya di ruang makan langsung terdengar teriakan Ratu Aya.
“Hinata sayang, kau cantik sekali!!” puji Ratu Aya dengan mata berbinar-binar.
“Terima kasih, Anda juga sangat cantik, Yang Mulia.” Jawabku kalem.
“Sasuke, kau benar-benar gagah seperti
ayahmu, tapi jauh lebih tampan dibandingkan beliau,” puji Raja Kakashi
pada kakak setelah kami duduk. Raja Kakashi menepuk-nepuk bahu kakakku.
“Terima kasih, Anda pun sangat tampan dan gagah.”
“Oh ya, Ratu, apa sang putri sudah datang? Atau masih dalam perjalanan?” tanyaku.
“Eh? Oh, itu…” kata Ratu yang tiba-tiba saja tampak gugup.
“Ia sudah dekat. Nanti saat di alun-alun kalian akan bertemu dengannya.” Jawab Raja menggantikan Ratu.
Walaupun agak bingung dengan sikap Ratu, aku mengangguk-angguk saja.
Ketika kulirik kakak, aku bisa melihat raut campur aduk dalam wajahnya, juga ekspresi yang sama tercermin dalam matanya.
Penasaran, cemas, dan… entahlah.
zzz
“Selamat siang Raja Kakashi, selamat
siang Ratu Aya, selamat siang Pangeran Sasuke, selamat siang Putri
Hinata, dan selamat siang seluruh hadirin! Pada final pertandingan balap
kuda yang sudah dimulai beberapa minggu belakangan ini, marilah kita
sambut para finalis termasuk sang putri yang juga menjadi salah satu
peserta pertandingan ini!” ucap salah satu pembawa acara dengan pengeras
suara. Semua hadirin bertepuk tangan dengan sangat meriah.
“Apa? Putri ikut lomba balap kuda? Bukankah peserta pada umumnya laki-laki?” tanyaku heran.
“Begitulah, di negeri ini, perempuan pun
boleh ikut. Bahkan di final ini ada dua orang perempuan dari 10 finalis.
Salah satunya sang putri.” Jawab Ratu Aya bangga.
Aku mengamati para finalis yang sudah
siap di tempat start. Ya, dua di antaranya mengenakan gaun yang diangkat
dengan celana panjang di baliknya. Tapi yang mana putrinya, aku masih
belum tahu.
“Putri mengenakan gaun merah, yang itu.” tunjuk ratu seolah mengerti kalau aku tidak tahu yang mana sang putri.
Aku mengikuti arah yang ditunjuk ratu,
mengamati seorang gadis yang mengenakan gaun merah, sementara gadis yang
lain mengenakan gaun merah muda. Tapi aku tidak bisa melihat wajah
siapapun dari sepuluh finalis itu.
Tiba-tiba aku jadi teringat Sakura.
“Ratu, apakah salah satunya Sakura?” tanyaku.
“Eh, emm, ya, salah satu dari mereka
adalah Sakura. Wah, sepertinya sudah mau dimulai.” Jawab Ratu yang entah
kenapa tiba-tiba seperti berusaha mengalihkan pembicaraan.
Saat terdengar bunyi tembakan ke udara,
para finalis langsung melesat dengan kuda masing-masing. Ternyata putri
hebat juga. Beberapa kali ia memimpin, walau terkadang dikalahkan oleh
salah satu finalis pria yang juga hebat. Mereka berdua memimpin di depan
bergantian.
Mendekati garis finish, mereka masih saja
salip-salipan. Tidak ada yang bisa memprediksi siapa yang akan menang
karena posisi mereka terus menerus bergantian.
Dan…
Finish! Seekor kuda berwarna keabuan tercatat sebagai yang tercepat, disusul kuda hitam dalam sekejap.
Semua hadirin bertepuk tangan. Aku suka
sekali pada semua penonton, walaupun yang dijagokan sebagian besar dari
mereka tidak menjadi juara pertama, tetapi mereka tetap turut bergembira
untuk memberi selamat pada pemenang.
Kupikir setelah itu aku akan bisa bertemu
dengan sang putri, tapi ternyata putri masih mengikuti satu perlombaan
lagi, yaitu memanah.
Walau belum sempat istirahat, penampilan
putri sangat mengagumkan. Aku memandanginya dengan kagum, tapi masih
belum bisa melihat wajah dibalik jaring cocktail hat-nya.
Setelah harus puas dengan juara dua di
pertandingan balap kuda, kali ini putri benar-benar puas dengan predikat
juara pertama. Seluruh hadirin bersorak gembira.
“Hidup Putri Sakura!” ucap salah seorang dengan keras.
“Hidup!” jawab yang lain.
Eh? Apa aku tidak salah dengar tadi? Namanya siapa? Putri Sakura?
Dengan langkah sedikit gagah yang sangat tidak sesuai dengan gaun cantiknya, sang putri melangkah mendekat.
Dan terus mendekat.
Sampai akhirnya aku bisa melihat samar wajahnya.
Dan aku terkesiap.
Ya, dia Putri Sakura. Yang selama ini
menemaniku dari hari pertama aku menjejakkan kakiku di negeri ini. Yang
menyambut kedatangan aku dan kakak dari gerbang utama. Yang tidak bisa
berangkat bersama kami tadi pagi. Yang terlalu gagah untuk ukuran
wanita. Yang menjadi juara 2 lomba balap kuda bahkan juara pertama dalam
lomba memanah. Yang sedang berjalan ke arah kami.
“Sakura…” pekikku dengan suara tercekat setelah ia berdiri tepat di hadapanku sambil tersenyum.
“Ya, ini aku. Akulah yang selama ini kau tunggu.” Jawabnya.
“Tapi, kenapa? Kenapa kau berbohong?” tanyaku.
“Berbohong? Seperti apa kalimat persisnya
yang menunjukkan kalau aku berbohong? Apa kau pernah bertanya padaku
apakah aku putri atau tidak dan kujawab tidak?”
“Bukan, bukan begitu. Kau bilang putri akan datang saat festival.”
“Apa aku berbohong? Aku kan hanya bilang
putri akan datang saat festival, itu bisa berarti sebelumnya pun putri
sudah datang, dan saat festival putri juga datang.”
“Tapi –“ aku tak tahu harus bilang apa.
Ya, dia memang benar, tapi entah kenapa dadaku rasanya sesak. Aku tetap
merasa dibohongi.
Putri yang selama ini kubayangkan yang
buruk-buruk ternyata adalah putri yang luar biasa. Yang selama ini
membuatku khawatir ternyata adalah yang selalu menenangkanku di sini.
Yang selama ini membuatku kesal karena akan segera merebut kakakku
ternyata adalah teman yang kusayangi.
“Maafkan aku, Hinata.” Ucapnya sambil memelukku.
Aku hanya mematung. Tak membalas pelukannya. Aku sangat bingung.
“Hahaha.” Tiba-tiba kakakku tertawa.
“Ada apa? Oh ya, aku juga minta maaf padamu karena juga tak memberitahumu.” Ujar Sakura setelah melepas pelukannya padaku.
“Kau benar-benar…” ucap kakakku menggantung, sepertinya berusaha memikirkan kata yang tepat.
“Unik.” Lanjutnya. Setuju dengan ucapan orang tua Putri Sakura.
Sakura hanya tersenyum lebar.
Setelah menanam tanaman Azalea, kami
kembali ke istana. Putri Sakura berada di satu kereta kuda yang sama
denganku. Tangan kirinya tak lepas dari menggenggam tanganku. Sementara
tangan yang lain sibuk melambai-lambai pada para warga yang tak henti
memandang iring-iringan kereta kuda kerajaan.
Aku mengikutinya, melambaikan tanganku.
Tapi gerakan kami sangat berbeda. Aku dengan caraku seperti biasa,
melambai dengan anggun sambil tersenyum manis. Sedangkan Sakura melambai
ceria dengan cengiran lebar, sesekali berteriak memanggil nama orang
yang dikenalnya.
Apa seperti ini putri di kerajaan Azalea?
Sikapnya di dalam istana pun tidak
berubah seperti Sakura yang ku kenal sebelumnya. Lebih suka bepergian
dengan kemeja dan celana panjang kesukaannya, sementara untuk mengenakan
gaun harus dipaksa-paksa. Cara berjalannya masih sangat gagah, cara
bicaranya sangat blak-blakan, pokoknya sama sekali tidak anggun. Bahkan
kalau di negeriku dulu, wanita seperti itu pasti tidak layak menjadi
putri. Tapi sepertinya di negeri ini berbeda. Raja dan Ratu sangat
menyayanginya, walaupun sesekali memarahi tapi tidak pernah mempan.
Rakyat pun sangat mencintainya. Rasanya tidak ada jarak antara dirinya
dengan rakyat pada umumnya. Pantas saja aku bisa terkecoh saat itu.
“Jadi, bagaimana, Sasuke? Apa tanggapanmu
mengenai putriku?” Tanya paman pada suatu sore, saat kami sedang
menonton putri berlatih menunggang kuda agar semakin baik. Sebelumnya
kakak juga ikut menunggang kuda dan jauh lebih unggul daripada dirinya,
lalu kakak istirahat sebentar.
“Hmm, Putri Sakura sangat menarik.” Jawab kakakku sambil menarik sudut bibirnya.
“Benarkah? Jadi, mengenai tawaranku waktu itu, apa kau sudah mendapat jawabannya?” Tanya Raja Kakashi.
“Dari diriku sendiri sudah, tapi tentu
aku akan bertanya pada adikku dulu, Yang Mulia. Dialah satu-satunya
keluarga yang aku punya.” Jawab kakak sambil menoleh padaku. Aku
langsung salah tingkah.
“Hinata, kau sudah tahu tawaran yang paman ajukan pada kakakmu?” Tanya Raja Kakashi.
“Sudah.” Jawabku setelah sebelumnya susah payah menelan air liurku.
“Jadi, bagaimana jawabanmu?” Tanya Raja. Ratu juga memandangiku dengan penasaran.
“Eh, untuk masalah itu… aku pikir…”
zzz