- Back to Home »
- fiction »
- Reborn [Part 5]
Posted by : Unknown
22 February 2015
Fan fiction Anime Naruto |
"Eh, untuk masalah itu… aku pikir…”
Chapter 5
“Waah, kalian sedang membicarakan apa?
Tampaknya seru sekali! Pasti membicarakanku, ya?” tebak Sakura dengan
cengiran lebar. Ia baru saja turun dari punggung Black Hole, kuda
kesayangannya.
“Ah, rupanya putri papa sudah selesai
berlatih. Bagaimana latihannya kali ini?” tanya Raja Kakashi balik,
tidak menjawab pertanyaan putrinya.
“Lho, kenapa Papa yang bertanya?
Seharusnya kan aku yang bertanya, bagaimana latihanku tadi menurut Papa
dan semuanya? Ada kemajuan kah? Huh, aku masih agak kesal dikalahkan
Sasuke tadi.”
“Kau selalu membuat kemajuan, Sayang.
Semangatmu untuk maju semakin besar.” Jawab ayahnya diplomatis.
Sebenarnya dari tadi Raja Kakashi tidak terlalu serius menyimak latihan
putrinya.
“Dari segi waktu ada sedikit kemajuan,
untuk masalah teknik, sebenarnya kau sudah bisa dikatakan mahir, hanya
saja kau juga harus memperhatikan keadaan Black Hole, bagaimanapun, ia
juga butuh istirahat, jangan terlalu diforsir untuk latihan. Tadi
kulihat Black Hole sudah kelelahan sehingga kau agak sulit
mengendalikannya, makanya di tikungan terakhir tadi kalian hampir
terpeleset.” Komentar kakak. Aku tidak menyadari kalau kakak ternyata
memperhatikan Sakura saat latihan tadi.
“Ya, benar sekali katamu. Di awal putaran
aku masih belum menyadari kalau Black Hole kelelahan. Habisnya, aku
masih tidak terima kalau kau masih sangat jauh di atasku. Hehehe.”
Ujarnya sambil terkekeh.
“Besok kan masih bisa latihan lagi.
Lagipula, kapan kamu mau berlatih memasak, berkebun, menyulam, dan yang
lainnya kalau kamu terus berlatih kuda?” tegur ibundanya, Ratu Aya.
“Tenang saja, Ma. Nanti sore kan aku
sudah punya jadwal dengan petugas dapur istana untuk berlatih memasak.
Oh ya, nanti kau ikut latihan masak denganku, ya!” ajak Sakura padaku.
“Baiklah.” Jawabku kalem.
“Hinata, kau harus hati-hati. Biasanya
Sakura hanya akan mencicipi makanan, jadi jangan sampai kau sudah
capek-capek memasak, dia tinggal menikmatinya saja.” Pesan Ratu Aya
mengingatkanku.
“Hahahahahahahaha.” Kami semua menertawai Sakura yang hanya merengut, sebelum akhirnya ikut tertawa bersama kami.
Mereka semua sangat baik, menganggapku dan kakak seperti keluarga. Rasanya memang kami cocok sekali menjadi satu keluarga.
Tapi, haruskah dengan pernikahan kakak dan Sakura?
Aku, aku… entah mengapa, rasanya tak mau kalau kakakku diambil orang lain. Bahkan oleh Sakura, satu-satunya sahabatku.
Sebenarnya, ada apa denganku? Ada apa dengan perasaanku? Ada apa dengan semua ini?
zzz
“Banyak sekali, Bi!” protes Sakura melihat begitu banyak bahan yang akan kami gunakan untuk memasak sore ini.
“Memang sebanyak ini, Nona. Karena kali
ini kita akan memasak menu yang spesial, dan kebetulan bumbu yang
dipakai banyak.” Jelas bibi Miru, kepala juru masak istana.
“Kenapa tidak membuat menu yang mudah saja? Aku kan baru belajar. Kita buat yang simple saja, Bi.” Rajuk Sakura.
“Maaf, Nona. Tapi ini perintah Ratu Aya.”
“Aah, mama ini. Huuh, baiklah.” Kata Sakura pasrah.
Aku dan bibi Miru mulai mengupas
bumbu-bumbu dapur dengan santai tapi cepat. Sementara Sakura mengupas
bawang merah saja lama sekali, sudah begitu ia mengupasnya terlalu
banyak, jadi ada bagian bawang yang memang strukturnya berlapis-lapis
itu yang terbuang.
Saat mengiris bawang, aku dan bibi Miru
yang sudah mahir tidak mengalami kendala apapun. Sedangkan Sakura
menghabiskan banyak tisu untuk menyeka air matanya. Aku dan bibi Miru
tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Aauw!” jeritku tanpa sadar setelah tanpa sengaja telunjuk kiriku tergores pisau. Ternyata aku lengah saat menatap Sakura tadi.
Sakura langsung meninggalkan pekerjaannya dan secepat kilat menghampiriku dengan ekspresi panik.
“Ya ampun, Hinata! Jarimu berdarah!” katanya panik tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan ini. Jangan panik.” Kataku yang justru menenangkannya.
Aku langsung beranjak keluar dari dapur dan mengobati lukaku. Sakura membuntutiku dengan khawatir.
“Hei, hei, hei. Ada apa ini? Apa sudah
matang masakannya?” tegur Ratu Aya melihat kami keluar dapur. Kali ini
ratu sangat bersikeras ingin Sakura belajar memasak.
“Hinata mengalami kecelakaan. Jadi latihan memasak kali ini disudahkan saja.” Jawab Sakura.
“Aku tidak apa-apa, hanya terluka sedikit. Setelah kuobati kita lanjutkan kembali latihannya.” Sanggahku.
“Tapi –“
“Sudahlah, aku baik-baik saja. Hanya sedikit luka kecil saja kok.”
“Baiklah…” ujar Sakura sambil mengerucutkan bibirnya.
Sekembalinya kami ke dapur setelah jariku
diobati dan dibalut rapi, Sakura benar-benar serius memasak. Ia bahkan
bersikeras melarangku memotong karena takut aku terluka lagi. Hampir
semua ia kerjakan, hanya agar aku tidak mengalami kecelakaan lagi.
Hah, dasar anak yang tak pernah ke dapur!
Melihat luka kecilku saja ia sampai bersikap berlebihan seperti itu.
Aku menggeleng-gelengkan kepala melihatnya begitu bersemangat
mengerjakan ini-itu. Setiap kali aku mau membantu, ia hanya mengizinkan
yang resikonya kecil. Alhasil aku hanya bisa mengaduk masakan saja.
“Sebenarnya kau tidak perlu bersikap berlebihan seperti ini. Sudah kubilang ini hal yang biasa terjadi.” Kataku.
“Tetap saja, bagiku, akulah yang membuatmu terluka seperti itu, karena aku yang mengajakmu.” Ucapnya merasa bersalah.
“Aku tidak apa-apa, sungguh!” kataku meyakinkannya.
“Maaf, dan… terima kasih.” Ujarnya sambil memelukku.
Aku terdiam sejenak sebelum membalas pelukannya.
Ya, Sakura. Aku tahu kau menyayangiku. Sangat. Aku pun juga ingin menyayangimu.
Sungguh, aku benar-benar ingin menyayangimu. Seperti apa yang seharusnya kurasakan pada calon kakak ipar. Bukan hanya seperti teman.
—zzz—
Untuk merayakan kesuksesan kami, Naruto
mengajak kami makan es krim di kedai pamannya, paman Jiraiya. Ia bilang
pamannya akan memberi diskon besar-besaran untuk kami. Tentu saja kami
bersorak gembira mendengarnya.
“Pamaan! Kami datang!” teriak Naruto di pintu masuk. Paman Jiraiya melambaikan tangan pada kami semua.
“Silakan masuk! Selamat datang di kedai
jelekku ini!” sambut Paman Jiraiya merendah. Kedainya bahkan sudah
memiliki beberapa cabang.
“Paman, aku menagih janjimu! Beri kami diskon besar-besaran!” pinta Naruto.
“Jadi drama kalian sukses?” tanya paman Jiraiya berbinar-binar.
“Sangat! Seandainya kau menonton, kau pasti akan sampai menangis-nangis!” sesumbar Naruto.
“Bagus, bagus. Kalau begitu aku tidak jadi memberikan kalian diskon.” Ujar paman Jiraiya kalem.
“Lho? Kenapa?! Kau kan sudah berjanji padaku kemarin?!!” protes Naruto.
“Aku memang tidak akan memberi kalian
diskon, tapi akan memberikan pesanan kalian secara cuma-cuma! Kalian
tidak perlu membayarnya! Itu hadiah untuk kalian! Selamat!” lanjut paman
Jiraiya sambil tersenyum lebar yang tampak seperti seringaian.
“Benarkah? Terima kasih, Paman!” teriak kami gembira.
Kami segera menempati kursi-kursi yang
ada. Beberapa meja disatukan sehingga kami bersepuluh bisa makan
bersama. Bahkan paman Jiraiya menarik satu kursi dan duduk di
tengah-tengah kami.
“Ceritakan padaku, bagaimana reaksi orang-orang setelah menonton penampilan kalian.” Pinta paman Jiraiya.
“Wuah, meriah sekali, Paman! Bahkan
sebelum kami berbaris untuk penutupan, tepuk tangan sudah membahana di
aula.” Jawab Yuuri dengan mata berbinar.
“Ya, lalu setelah kami menunduk, tepuk tangan itu semakin meriah.” Tambah Naomi.
“Sampai berisik sekali, bahkan.” Ujar Maruko.
“Banyak yang memberikan standing applause!” Hanawa tak mau kalah bercerita.
“Banyak yang bersorak-sorak memanggil nama kami!” kata Aya.
“Hey, tapi lebih banyak yang meneriaki nama Sasuke!” ralat Chouji.
“Dan Sakura! Sasuke dan Sakura benar-benar menjadi bintang!” sambung Aya.
“Sakura, hati-hati. Sepertinya
penggemarmu semakin membludak saja. Kau juga, Sasuke. Diam-diam kau
ternyata benar-benar menghanyutkan!” goda Chouji.
Pipi Sakura memerah, sementara Sasuke hanya menarik sudut kiri bibirnya sedikit.
“Memangnya Sakura dan Sasuke kenapa?” tanya paman Jiraiya.
“Sasuke adalah penulis naskah berbakat, dan Sakura adalah aktris yang jempolan!” jawab Aya.
“Wah, hebat, hebat. Sepertinya kalian cocok juga. Hehehe.” Goda paman Jiraiya.
Teman-temanku langsung bersorak menggoda-goda mereka. Sakura mendelik sebal, sedangkan Sasuke hanya terkekeh.
Tiba-tiba aku merasa tanganku mengepal kuat-kuat di kolong meja, sampai perih rasanya.
zzz
Baru kali ini aku merasakan es krim yang
pahit. Tapi aku yakin bukan karena kesalahan pembuat es krimnya. Mungkin
ini semua karena diriku sendiri. Aku benar-benar sedang bad mood
sampai-sampai es krim vanilla kesukaanku menjadi sangat tidak enak.
Teman-temanku sibuk menikmati es krim mereka, sesekali menjilat bibir
yang berlumuran es krim dan memuji paman Jiraiya yang menatap kami
dengan gembira. Mereka semua asyik berbincang-bincang dengan suara
keras, membuat hampir seluruh pengunjung menoleh. Hanya aku, Sasuke, dan
Sakura yang tidak ikut bersuara.
Sasuke tampak tengah menikmati es krim
dark chocolate-nya dalam diam. Tapi bisa kupastikan, rasa es krim yang
biasanya agak pahit itu menjadi sangat manis di mulutnya sekarang, dan
ia—yang biasanya tidak suka rasa manis– pasti jadi menyukai sensasi
manis itu. Sesekali aku melihat sudut kiri bibirnya tertarik kecil,
sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya senang.
Sakura pun tampak sangat menikmati es
krim strawberry-nya. Sesekali matanya menyipit menahan rasa asam yang
menyegarkan dari potongan-potongan strawberry di mangkuk es krimnya.
Pipinya masih merona. Melihatnya yang serba pink dengan es krim yang
warnanya serasi itu membuatnya semakin mempesona. Gerakannya sangat
anggun, sehingga bila mengingat tendangan mautnya seakan tak percaya
gadis seanggun itu mampu melakukannya.
Aku kembali melanjutkan gerakan tanganku menyendokkan es krim yang rasanya semakin tidak keruan itu.
“Kau kenapa, Hinata?” tanya Naruto – yang
walaupun dengan volume kecil– mengejutkanku. Aku tidak sadar ia sudah
keluar dari pembicaraan seru itu.
“Oh, tidak. Aku tidak kenapa-kenapa.” Dustaku.
“Sedang tidak enak badan? Kau tampaknya tidak nafsu makan begitu.”
“Aku baik-baik saja.” Tegasku halus.
“Atau, rasa es krimnya kurang enak?” desaknya lagi.
“Sudah kubilang aku baik-baik saja. Tidak
ada yang salah denganku, es krimnya, atau apapun. Semuanya baik-baik
saja.” Tegasku lagi dengan nada sedikit meninggi tapi dengan volume yang
masih tetap pelan.
Naruto sempat sedikit terkejut, sehingga
membuatku merasa bersalah dan ingin minta maaf kalau saja Sasuke tidak
tiba-tiba menoleh padaku dan Naruto yang berbicara dengan volume kecil
itu. Matanya menyiratkan rasa penasaran. Naruto –yang mudah-mudahan saja
tidak terluka karena ucapanku tadi– memutuskan kembali terjun pada
percakapan teman-teman yang lain.
“Sasuke, kau menyukai es krim yang agak pahit seperti itu ya?” tanya Sakura mengalihkan perhatian Sasuke dariku.
Sial! Tiba-tiba saja aku merasa darahku bergolak. Mengapa gadis itu merebut perhatian Sasuke?
“Ya. Aku kurang suka rasa manis. Rasa inilah satu-satunya rasa es krim yang kusuka.” Jawabnya.
“Apa kau sudah pernah merasakan es krim yang lain?” tanya Sakura lagi.
“Err, belum. Sejak awal aku memang memesan yang paling pahit. Yeah, walaupun tetap saja ada sedikit rasa manis di dalamnya.”
“Lalu bagaimana kau bisa memutuskan bahwa itulah rasa es krim yang paling kau suka?”
“Selama tidak manis, aku suka. Jadi menurutku pilihanku ini yang terbaik.”
“Tidak manis belum tentu pahit, bukan? Jadi, mengapa kau tidak mencoba rasa lain?”
“Maksudmu rasa asam?”
“Yeah, bisa saja. Untuk es krim mungkin hanya rasa asam yang tersisa, karena setahuku tidak ada rasa asin atau pedas. Hehehe.”
“Hmm, yeah, ku rasa kau benar juga. Mungkin lain kali aku akan mencobanya.”
“Mau mencoba sekarang?” tawar Sakura. Ia menunjuk mangkuk es krimnya.
Sasuke terdiam sesaat, sebelum menerima uluran mangkuk cantik itu dengan agak ragu.
“Cobalah!” kata Sakura melihat Sasuke yang hanya mengamati es krim itu.
Dengan sangat perlahan, Sasuke
menyendokkan sendok es krimnya yang masih sedikit berlumuran es krim
dark chocolate-nya ke dalam es krim strawberry Sakura.
Hap! Sasuke memejamkan matanya, menahan rasa asam yang menggigit tiba-tiba. Tapi sesaat kemudian ia tersenyum.
“Bagaimana?” tanya Sakura penasaran.
Sasuke masih merasa-rasakan sesendok es krim strawberry dalam mulutnya sekarang.
“Enak tidak?” desak Sakura.
“Hmm, tidak terlalu buruk.” Jawab Sasuke tersenyum, kemudian ia membuka kedua matanya dan menatap Sakura yang berbinar riang.
“Benar, kan? Rasa itu tidak hanya manis dan pahit. Masih ada rasa lain yang bisa jadi alternatif.”
“Yeah, kalau itu aku setuju. Tapi kalau memesan es krim strawberry… err, apa cocok aku memesan es krim pink begitu?” tanya Sasuke setengah tertawa.
“Mengapa tidak? Atau, kalau kau malu, kau
boleh meminta punyaku lagi. Aku kan baik hati, ramah tamah, lemah
lembut, rajin menabung dan tidak sombong. Hehehehe.”
“Dan jangan lupa: narsis!” ucap Sasuke yang ikut tertawa bersama Sakura.
Entahlah, aku merasa ada yang menyesakkan di dadaku. Dan aku tidak tahu kenapa mood ku bisa sehancur saat ini.
“Dan, satu hal lagi, Sasuke.” Kata Sakura di sela-sela tawanya.
“Apa?”
“Hmm,” Sakura menggantung kalimatnya.
Menahan napas sejenak sebelum melanjutkan dengan ekspresi serius, “Aku
memang tidak tahu apa alasanmu, tapi kupikir, kalau kau memang tidak
ingin ada teman sekolah kita yang mengetahui hubungan kalian, kau tidak
perlu bersikap dingin dan menjauhinya seolah-olah ia bahkan bukan
temanmu. Tidak harus bersikap yang bertolak belakang, bukan? Bersikap
sewajarnya saja seperti teman biasa, sebagai jalan alternatifnya.”
“Apa maksudmu?” tanya Sasuke tak paham.
“Well, hubunganmu dengan Hinata. Aku tahu
karena aku sering melihat kalian pulang-pergi bersama. Err… kalau kau
tidak ingin ada teman sekolah yang tahu hubungan kalian, tidak perlu
bersikap seolah tidak mengenalnya. Bersikap biasa saja. Oh ya,
sebelumnya aku minta maaf kalau menyinggung perasaanmu, tapi sebagai
teman, aku hanya ingin mengingatkanmu karena mungkin kau tidak
menyadarinya. Bagaimanapun, aku tahu, walaupun Hinata adalah gadis yang
sangat sabar, pasti menyakitkan sekali bila seperti… mmm, kekasih yang
tak dianggap.”
Aku terkejut bukan main. Ternyata Sakura salah paham mengenai hubunganku dengan Sasuke.
Sasuke terdiam dan menunduk sesaat,
sebelum kembali tertawa. Tapi aku merasa ada yang berbeda dengan tawanya
sekarang dengan yang tadi. Tawa ini hambar kebahagiaan, bahkan
cenderung ada kemirisan.
“Hahaha, jika saja kau tidak salah paham,
nasihatmu bijak sekali. Tapi, sepertinya psikolog pun tidak pernah
men-judge seseorang dan memberinya petuah begitu saja tanpa tahu yang
sebenarnya. Hahahahaha, kau ini lucu sekali.” ujar Sasuke di sela
tawanya.
“Maksudmu aku salah paham bagaimana?” tanya Sakura bingung.
“Aku dan Hinata bukan sepasang kekasih
seperti yang kau duga. Kami berteman baik sejak kecil, dan selalu
pulang-pergi bersama karena kami memang selalu sesekolah. Mengenai
sikapku di sekolah, well, mungkin karena aku tipe orang yang fokus pada
tujuanku, jadi aku benar-benar serius belajar di sekolah karena memang
itulah tujuanku.” Jelas Sasuke.
Sakura menggigit bibirnya, merasa tidak
enak sudah men-judge Sasuke seenaknya. “Hmm, tapi kan kau bisa besikap
sedikit lebih hangat padanya. Fokus sih bagus, tapi kalau sampai
mengabaikan sekitarmu kan jadinya tidak bagus juga. Aku saja yang hanya
melihat kalian merasa kurang senang dengan sikapmu, apalagi Hinata yang
merasakannya sendiri?” tambah Sakura.
“Ehm, aku baik-baik saja. Aku mengerti mengapa Sasuke bersikap seperti itu.” Elakku.
Sasuke menatapku, lalu kembali menatap Sakura dengan tatapan ‘Lihat, dia saja tidak mempermasalahkannya.’
“Well, aku minta maaf kalau begitu.
Habisnya, awalnya kukira kalian ini pacaran. Hehehehe.” Ujar Sakura
sambil terkekeh minta maaf.
Sasuke menyuapkan es krim dark chocolate ke mulutnya kembali. Juga memasang wajah-dengan-ekspresi-tak-tertebak lagi.
Aku hanya menghela napas. Entahlah,
sebenarnya Sakura benar. Memang itulah yang aku pertanyakan selama ini,
hanya saja tak pernah terlontarkan karena ketidakmampuanku. Tapi,
entahlah (lagi), aku merasa tidak senang dibantu olehnya. Karena,
entahlah. Mengapa ia harus berbuat baik padaku tapi aku tak pernah
menyukainya?
zzz
Setelah kenyang makan es krim dan kenyang
berbincang-bincang, kami semua pulang. Aku, Sasuke, dan Sakura ke arah
timur, sedangkan yang lain ke arah berlawanan.
Kami bertiga berjalan santai dalam diam. Sasuke berjalan di depan, sedangkan aku dan Sakura berjalan bersisian di belakangnya.
“Jadi, kalian itu bersahabat sejak kecil karena kalian bertetangga?” tanya Sakura merusak keheningan.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Wah, asyik ya punya tetangga yang
bersekolah di sekolah yang sama. Jadi bisa berangkat dan pulang bersama,
juga belajar bersama.” Katanya polos.
‘Oh, tidak! Jangan sampai…’ jerit batinku.
“Kau bisa bersama dengan kami. Rumah kita kan searah.” Ajak Sasuke. Kecemasanku nyata sudah.
“Kau juga bisa belajar bersama dengan
kami. Rumah kami tidak terlalu jauh kok dari rumahmu.” Tambahku.
Terlanjur basah, ya sudah mandi sekalian.
“Oh, tidak, tidak apa-apa. Itu tadi aku
hanya… err, bukan apa-apa. Aku sudah terbiasa sendiri kok. Sudah,
lupakan saja ya!” ucap Sakura tiba-tiba. Sepertinya ia merasa tidak enak
hati. Dan itu membuatku jadi ikut tidak enak. Apa tadi aku mengucapkan
dengan nada yang salah? Sampai-sampai Sakura tahu aku sebal
mengatakannya?
“Kau ini bicara apa? Rumah kita kan memang dekat. Tidak usah merasa tidak enak begitu!” kata Sasuke yang tiba-tiba ketus.
“Baiklah, kapan-kapan kita belajar
bersama, ya! Hehehe.” Sahut Sakura sambil menyeringai kecil, tapi
rautnya tetap menunjukkan perasaan bersalah. Entahlah, padahal kan dia
sudah tahu aku dan Sasuke hanya bersahabat.
Kami berpisah setelah menyeberang jalan
di lampu merah tempatku ditolong Sakura beberapa waktu lalu. Tapi kali
ini bukan Sasuke yang menggandeng tanganku, melainkan Sakura. Belum
apa-apa saja aku sudah kesal setengah mati.
“Daaah…” ucapnya sambil melambaikan
tangan padaku dan Sasuke. Aku membalas lambaian tangannya, sementara
Sasuke hanya mengangguk kecil.
Sakura berjalan ke sebuah tikungan,
memasuki perumahan. Aku melirik ke arah Sasuke dan mendapati matanya
menatap punggung gadis itu sampai ia menghilang. Tiba-tiba saja aku
merasa dadaku sakit.
zzz
Pagi hari. Aku dan Sasuke bertemu dengan
Sakura di lampu merah itu. Aku jadi heran, sebelumnya kami tidak pernah
bertemu, lalu sekarang setelah diajak Sasuke bersama jadi bertemu
begitu? Huh! Apa-apaan itu? Aku mendengus sebal dalam hati.
“Hai!” sapanya riang.
“Hai! Kebetulan sekali kita bertemu lagi. Ayo kita berangkat bersama!” ajakku seramah mungkin.
“Err… sebetulnya bukan kebetulan juga. Tadi Sasuke menelponku dan memintaku menunggu kalian di sini.” Ucapnya polos.
Deg! Dadaku rasanya dihantam petinju professional. Tapi aku segera menguasai diri.
“Ooh, bagus sekali. Jadi setiap hari kita bisa pulang-pergi bersama!” kataku, berusaha terdengar wajar.
“Hmm, mungkin kalau pulang sekolah tidak
bisa setiap hari. Karena kadang-kadang aku harus latihan taekwondo atau
langsung berangkat les.” Ucapnya.
“Memangnya kau ikut les apa?” tanya Sasuke yang sejak tadi terdiam.
“Memasak dan menjahit. Hehehe. Tidak keren sekali ya?” tanyanya sambil terkekeh.
“Menurutku itu sangat menarik. Jarang-jarang ada gadis yang mau ikut les seperti itu. Ku kira kau les musik atau semacamnya.”
“Tidak, aku memang buta sekali soal
musik, tapi aku sekarang ini sedang tertarik pada dunia ibu-ibu seperti
itu. Menyenangkan sekali lho, berada di antara ibu-ibu. Kau akan merasa
sangat muda. Hehehe.” Ujarnya bergurau.
Ha! Sakura memang buta sekali soal musik.
Bisa dibilang di situlah ia tidak bisa tampak mengagumkan. Entah
mengapa hal itu membuatku senang dan aku menyeringai dalam hati.
Tunggu, tunggu. Sebenarnya, ada apa dengan diriku? Mengapa aku bersikap seolah-olah ia adalah rivalku?