- Back to Home »
- fiction »
- Reborn [Part 1]
Posted by : Unknown
12 February 2015
Fan Ficiction Anime Naruto |
Cast : Uchiha Sasuke, Hinata, Naruto
Genre: Romance, Fantasy, Family
Summary:
Kau tahu, mengapa aku tertegun melihat
benda itu? Benda yang terpajang di ruang tamu rumah megah itu. Benda
yang tampak sangat sakral (bagi sebagian orang), dan tentunya…
mahal. Benda yang… mirip sekali, miriiip sekali dengan… Benda yang telah
membunuh hampir seluruh keluarga
besarku. MEMBUNUH-HAMPIR-SELURUH-KELUARGA-BESARKU
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kau tahu, mengapa aku tertegun melihat benda itu?
Benda yang terpajang di ruang tamu rumah megah itu.
Benda yang tampak sangat sakral (bagi sebagian orang), dan tentunya… mahal.
Benda yang… mirip sekali, miriiip sekali dengan…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
Benda yang telah membunuh hampir seluruh keluarga besarku.
MEMBUNUH-HAMPIR-SELURUH-KELUARGA-BESARKU.
Hingga hanya aku dan kakakku yang selamat.
Hingga kami hanya hidup berdua.
Hingga kakakku berjuang mati-matian untuk hidup kami.
Hingga… kakakku pergi. Untuk mencari pekerjaan. Untuk mencari uang, agar kami bisa tetap hidup.
Di tengah keadaan genting pasca runtuhnya
kerajaan kami, di tengah keributan yang terjadi di tubuh kerajaan kami,
di tengah kerusuhan, kejahatan, tawa bengis dan air mata rakyat kami,
kakakku pergi. Dan menyuruhku tetap tinggal di sebuah pondok kecil di
tengah hutan.
Sendiri.
Bukan dalam kurun waktu harian, mingguan, atau bulanan. Tapi tahunan. Aku hidup sendiri di tengah hutan selama bertahun-tahun.
Sampai akhirnya kakakku muncul dengan pakaian kebesarannya, dan membawaku ke istananya yang baru.
Di kerajaan yang baru. Yang jauh dari
kerajaanku sebelumnya yang telah diduduki oleh orang-orang yang telah
MEMBUNUH-HAMPIR-SELURUH-KELUARGA-BESARKU.
DENGAN BENDA ITU. Salah, mungkin, benda yang MIRIP dengan benda itu.
zzz
“Hey, kau sedang lihat apa? Sampai
melamun seperti itu.” Tiba-tiba sebuah suara dan tepukan halus di bahu
kananku menarikku kembali ke alam nyata. Masa sekarang.
“Oh, eh, itu… aku… aku hanya kagum sekali
dengan benda ini. Antik sekali kelihatannya.” Jawabku dengan agak gugup
karena masih terkejut.
“Oh, benda ini. Ya, benda ini memang
tampak antik. Tapi ini palsu kok, cuma replikanya aja. Benda yang
aslinya usianya sudah beberapa abad. Tapi replikanya sendiri juga sudah
tua, lebih tua dari kakekku setidaknya. Ayahku sangat suka mengoleksi
benda-benda antik. Coba kau lihat ke sana.” Ujarnya sambil menunjuk ke
sebuah arah. Mataku mengikuti arah yang ditunjuknya.
Benar saja, di sebuah ruangan yang berada
di sebelah ruang tamu dan hanya disekat oleh lemari pajangan besar yang
memiliki dua sisi, kulihat banyak sekali benda-benda kuno (ada replika
benda benda bersejarah, ada juga benda-benda kuno asli) yang mengisi
sebagian besar ruangan itu. Tak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari
luar negeri, seperti benda yang kupandangi tadi. Usianya pun beragam.
Mulai dari puluhan tahun sampai ratusan tahun. Tapi semakin tua benda
itu, semakin sedikit jumlahnya.
Aku mendekati benda-benda itu dan
menyentuhnya dengan sangat hati-hati. Mataku tak lepas dari mengamati
detil-detil setiap benda yang kusentuh. Tepatnya benda-benda yang
berasal dari zaman kerajaan. Masaku hidup dulu.
Tunggu, masaku hidup dulu?
“Hinata, kau juga tertarik dengan
benda-benda antik begituan?” Tanya Naruto, yang sejak tadi menungguku
yang sedang larut dalam perasaan aneh yang ditimbulkan benda-benda kuno
ini.
“Eh, maaf. Ya, aku menyukainya. Maaf,
sekarang kita kemana?” tanyaku malu. Tujuanku datang ke rumah Naruto
sebenarnya untuk kerja kelompok.
“Ayo kita ke taman belakang. Di sana
suasananya lebih enak daripada di sini, entahlah, aku merasa agak-agak
gimana gitu kalo melihat benda-benda yang usianya bahkan lebih tua dari
usia kakekku. Auranya menakutkan.” Katanya dengan mimik tak suka pada
benda-benda di ruangan ini.
“Hahaha.” Aku tertawa melihat ekspresi takut+sebal yang tergambar jelas dari wajah dan matanya.
“Ayolah Hinata, kita mulai saja kerja kelompoknya.” Katanya sambil menarik tanganku dan membawaku ke taman belakang rumahnya.
“Rumahmu sepi sekali, Naruto.”
Komentarku. Tak kulihat keluarganya, hanya beberapa pembantunya yang
berseliweran mengerjakan tugas masing-masing.
“Memang, tapi karena ada Hinata, jadinya menyenangkan.” Jawabnya santai.
Pelan-pelan aku melepas pegangan
tangannya, mulai risih dipegang seperti itu. Lagipula, kecil kemungkinan
aku terjatuh, karena tidak ada batu yang biasanya menyandung kakiku.
Taman belakang rumah Naruto sangat indah.
Kolam ikan yang berisi banyak ikan berwarna-warni, air terjun buatan di
salah satu sisi kolam yang menimbulkan gemericik air yang sangat
menentramkan, tanaman-tanaman hias yang cantik dan tersebar di seluruh
taman, juga ada ayunan yang menggantung di sebuah pohon besar. Ayunan
yang tempat duduknya dari kayu dan talinya dari tali tambang besar yang
menggantung kuat di sebuah dahan pohon yang menjulang kokoh segera
menarik perhatianku.
Melihatku memandangi ayunan itu, Naruto menawariku. “Kau mau naik ayunan sambil menunggu yang lain datang?”
“Eh, apa boleh?” tanyaku tak enak.
“Tentu saja. Silakan naik. Aku yang mendorong ayunannya.” Kata Naruto.
Tanpa menunggu lama-lama, aku langsung naik ayunan itu. Naruto berjalan ke belakangku dan mendorong ayunan itu.
Naruto menarik ayunan itu jauh ke
belakang, lalu mendorong dengan cukup kuat. Akhirnya aku terayun dengan
sangat kencang. Dadaku berdesir, tapi aku tertawa senang. Rambutku yang
hanya kujepit dengan jepitan kecil mulai berantakan dimainkan angin.
Naruto tertawa senang melihatku. Semakin kencang saja dia mendorong
ayunan yang kunaiki ini.
Kami tertawa keras bersama-sama, walaupun
tawa kerasku hanya berupa cengiran lebar tanpa suara, dan
pekikan-pekikan kebahagiaanku tak sekencang teriakannya yang
bersorak-sorak gembira.
Lalu muncul seseorang dari balik pintu yang kami lalui saat menuju taman belakang ini.
Seorang lelaki seusia kami, yang
mengenakan kaus berkerah dan berlengan pendek warna hitam dan celana
jeans gelap sedang berdiri diam dengan santai. Kedua tangannya
dimasukkan ke saku celananya. Rambutnya yang berantakan teronggok di
atas kepalanya, di atas wajah luar biasa tampan miliknya. Mata elangnya
menatap kami, lalu membuang ke arah kolam ikan indah itu.
“Berhenti, Naruto. Sasuke sudah datang.” Ucapku. Tapi suaraku yang kalah dengan suara tawanya tak terdengar.
“Naruto! Sudah!” teriakku dengan suara
sekeras mungkin. Akhirnya Naruto mendengar, lalu berhenti mendorong
ayunan. Ia segera menghampiri Sasuke.
“Hey!” sapa Naruto sambil mengangkat tangannya mengajak high five, tapi seperti biasa Sasuke mengacuhkannya lalu berjalan menuju gazebo.
“Ayo kita mulai kerja kelompoknya!” ajak Sasuke, yang lebih terdengar seperti perintah.
“Tapi kan Sakura dan Choji belum datang. Mana bisa kita mulai?” tanya Naruto.
“Tentu saja bisa. Nanti mereka menyusul
saja.” Jawab Sasuke santai. Setibanya di gazebo, ia langsung duduk dan
mengeluarkan laptop dari tasnya. Naruto duduk di sebelahnya, sementara
aku menyusul beberapa saat kemudian karena tadi harus memberhentikan
ayunan dengan kakiku dulu.
“Aku sudah punya naskahnya. Aku juga
sudah menentukan siapa pemerannya. Kita tinggal latihan saja.” Kata
Sasuke yang kemudian mengeluarkan tiga bundel kertas. Sebuah
diberikannya pada Naruto, sebuah padaku, dan sisanya ia pegang sendiri.
“Seperti biasa, aku jadi sutradaranya. Tapi karena pemain terbatas, aku juga ikut main dalam drama ini.” ujarnya santai.
“Tapi Sasuke, apa tidak lebih baik kalau kita rundingkan dahulu ceritanya?” tanyaku pelan, takut sebenarnya.
“Tidak. Lebih baik begini. Apa kau masih meragukan kemampuanku membuat naskah?” tanyanya tak suka.
“Bu-bukan begitu. Maaf.” Jawabku takut. Wajahku tertunduk.
“Sudahlah, Hinata. Jangan merasa bersalah
begitu. Aku tahu kau hanya khawatir jika di antara kelompok kita
nantinya ada yang tak setuju, bukan? Begini saja, untuk urusan naskah,
kita percayakan pada ketua klub seni ini. Dia kan jawara menulis naskah
drama.” Ujar Naruto lembut menenangkanku.
“Lebih baik sekarang kalian baca dulu
naskahnya. Selami karakter yang kalian mainkan.” Kata Sasuke –yang
lagi-lagi terdengar seperti perintah– padaku dan Naruto. Sementara kami
membaca naskah itu, ia menyalakan laptopnya dan sibuk sendiri. Aku tak
tahu apa yang ia lakukan, karena ia duduk berhadapan denganku dan laptop
yang mengarah padanya membelakangiku.
Aku tak bisa konsentrasi membaca naskah
yang ada di tanganku. Diam-diam mataku melihat ke arah orang di
hadapanku ini. Sasuke sedang serius mengetik sesuatu. Mungkin
naskah-naskah yang lain, atau mungkin novelnya. Calon penulis berbakat
ini memang kudengar sedang menggarap novel perdananya. Selama ini ia
hanya menulis cerpen, puisi, dan naskah drama yang sudah banyak
memenangkan berbagai perlombaan menulis.
“Kau sudah selesai membaca, Hinata?
Kenali dan resapi karakter yang kau mainkan, jangan bengong saja.” Tegur
Sasuke tiba-tiba. Matanya yang tajam tak lepas dari layar laptop
berwarna hitam kesayangannya yang merupakan hadiah dari salah satu lomba
yang dimenanginya.
Aku buru-buru meneruskan kegiatanku membaca. Bahkan selesai membaca naskahnya pun belum, apalagi untuk mendalami peran.
“Haaaiiii….!!!” Suara seorang perempuan
yang sudah sangat aku hafal terdengar di belakangku. Disusul bunyi
‘krauk-krauk’nya Choji yang pasti sedang mengunyah cemilannya.
Sakura dan Choji langsung ikut bergabung
dengan kami. Kemudian Sasuke memberikan dua bundel kertas naskah untuk
mereka berdua. Samar, kulihat mata Sasuke sedikit bersinar. Entah
berkilat marah karena mereka datang terlambat atau berbinar karena
kedatangan Sakura. Ya, sudah sejak lama aku meyakini kalau cowok yang
aku taksir sejak kecil ini menyukai bunga sekolah kami. Walaupun tak ada
yang percaya karena Sasuke tampaknya tak peduli pada gadis manapun,
tapi aku tetap meyakininya.
Aku tetap yakin, karena aku mengenal Sasuke lebih lama dari siapapun di sekolah kami.
zzz
Continue…
Next Part : Reborn [Part 2]
Cr. https://fan3less.wordpress.com
Re-post. https://bubblepop632.blohspot.com