Popular Post

Archive for February 2015

Reborn [Part 6]

By : Unknown
Fan fiction Anime Naruto

Ha! Sakura memang buta sekali soal musik. Bisa dibilang di situlah ia tidak bisa tampak mengagumkan. Entah mengapa hal itu membuatku senang dan aku menyeringai dalam hati.

Part 6

“Confessions”

“Baik, anak-anak. Setelah bab lalu kita mempelajari tentang seni peran, sekarang kita memasuki cabang seni yang lain, yaitu seni musik. Dan setelah melihat bakat-bakat besar pada diri kalian, saya menjadi optimis untuk mengadakan audisi untuk kalian. Sebenarnya ini merupakan tes biasa, untuk mengambil nilai kalian. Tapi, tes ini bisa juga disebut tidak biasa, karena kali ini saya sekaligus mencari siapa di antara kalian yang akan tampil pada perayaan ulang tahun sekolah ini yang akan diadakan 3 minggu lagi. Minggu depan tes dan audisi dari saya, dua minggu kemudian orang-orang yang lolos audisi akan tampil pada perayaan bergengsi di sekolah itu. Jadi, kalian harus berusaha semaksimal mungkin untuk penilaian pekan depan.” Ujar Ms. Kurenai Yuhi, guru kesenian kami.
Semua murid di kelasku melongo mendengarnya. Tidak biasanya penilaian praktek menjadi seserius ini. Memang, biasanya yang tampil di acara ulang tahun sekolah adalah anak-anak yang nilai-nilai keseniannya bagus-bagus. Tapi tidak hanya dari seni musik, karena biasanya ada juga pertunjukan drama, pembacaan puisi, dan sebagainya.
“Kalian mungkin heran mengapa saya lebih menekankan pada seni musik. Well, itu karena… pada malam perayaan ulang tahun sekolah tahun ini, kita kedatangan seorang tamu istimewa. Beliau adalah Mr. Zetsu, salah satu pencari bakat musik ternama dari Konoha Music School. Jadi, saya ingin beliau menemukan bakat di antara kalian. Dan orang yang beruntung itu akan masuk Konoha Music School tanpa tes dan mendapatkan beasiswa penuh!” lanjut Ms. Kurenai semangat.
Dalam sekejap ruangan menjadi riuh oleh siswa-siwi yang terperanjat dan berbisik-bisik satu sama lain. Setiap tahun, sekolahku memang selalu merayakan ulang tahunnya. Dan siapa pun yang bisa tampil malam hari itu adalah orang yang beruntung, karena popularitasnya akan menanjak drastis. Event ini bahkan jauh lebih ‘wah’ daripada pertunjukan drama yang diadakan beberapa waktu lalu, karena pertunjukan itu hanya bagian dari pelajaran kesenian, tidak semua warga sekolah menontonnya, bahkan kepala sekolah tidak hadir. Tetapi beda dengan acara ulang tahun sekolah. Mulai dari kepala sekolah, dewan guru, seluruh siswa, bahkan para orang tua murid hadir pada acara itu.
Tapi kami benar-benar tidak menyangka tahun ini ada yang berbeda. Selain popularitas, hal yang juga diincar oleh siswa-siswi tentunya kesempatan masuk Konoha Music School tanpa tes, dengan beasiswa penuh pula! Jadi, bisa kukatakan, tidak hanya murid yang gila popularitas yang menginginkannya, tetapi juga mereka yang terobsesi masuk Konoha Music School, mereka yang ingin beasiswa, mereka yang ingin memiliki masa depan cerah melalui sekolah musik ternama itu. Intinya, semua murid berlomba-lomba untuk memenangkan audisi!
zzz
“Hinata, kau tampak bersemangat sekali. Ada apa?” Tanya Sakura saat kami pulang sekolah bersama. Hari ini Sakura tidak ada jadwal les atau latihan taekwondo.
“Ah, tidak juga. Aku hanya ingat perkataan Ms. Kurenai tadi.”
“Oh, audisi itu. Ya, semua orang tampaknya benar-benar mempersiapkan diri sebaik mungkin. Kau juga harus begitu, Hinata. Suaramu kan sangat bagus.” Kata Sakura.
“Kau tampaknya tidak terlalu tertarik dengan audisi ini.” Ujar Sasuke pada Sakura dengan heran.
“Tertarik? Well, siapa yang tidak ingin? Tapi, aku tahu diri. Kemampuan bermusikku nol besar. Jadi persiapanku hanya sebatas untuk penilaian, agar nilaiku tidak sangat hancur. Sama sekali tidak berpikiran untuk lolos audisi.” Sahut Sakura muram. Baru kali ini aku melihatnya begitu pesimis.
“Kau jangan pesimis begitu, apa kau percaya keajaiban?” tanyaku pada Sakura.
Sakura mengangguk, “Aku percaya kehendak Tuhan, tapi aku tidak bisa terlalu mengharapkan sesuatu yang memang di luar kemampuanku. Karena mungkin memang bukan di situ jalanku. Aku tidak mau bergantung pada keajaiban.”
Aku terdiam. Aku memang ingin ‘mengalahkan’ Sakura, dan akan lebih mudah bila Sakura memang tidak berniat untuk menampilkan semaksimal mungkin, tapi aku ingin ‘mengalahkannya’ dengan lebih terhormat. Aku ingin Sakura lebih bersemangat untuk tampil maksimal dan aku bisa jauh lebih bagus daripada dirinya. Itu persaingan yang kuinginkan. Bukan menang dari orang yang memang tidak ingin memenangkannya.
“Seperti apapun penampilanmu minggu depan, lakukan yang terbaik. Usahakan yang terbaik. Kita tidak tahu apa yang direncanakan Tuhan untukmu, yang bisa kau lakukan hanyalah berusaha semaksimal mungkin. Masih ada waktu untuk berlatih. Ingat! Semua murid berambisi untuk lolos audisi, jadi bisa kau bayangkan seperti apa usaha mereka. Bila kau hanya menargetkan nilai yang tidak hancur –bahkan kau tidak mengharapkan nilai bagus-, usahamu pasti jauh di bawah mereka semua. Apalagi kau bilang kau sama sekali nol dalam bermusik. Yang ada pasti hasilnya penampilanmu sangat amat buruk, karena penampilan yang mungkin di saat tidak ada event khusus seperti ini merupakan penampilan standar, akan menjadi sangat buruk di antara penampilan-penampilan lain yang istimewa. Bisa diibaratkan bebek standar di antara bebek-bebek akan tampak seperti itik buruk rupa di antara angsa-angsa rupawan.” Wejang Sasuke panjang lebar. Aku belum pernah mendengarnya bicara sepanjang ini.
“Sasuke benar sekali, Sakura. Bersemangatlah seperti biasanya. Kita bisa berlatih bersama-sama.” Dukungku tulus. Well, seperti yang kukatakan tadi, aku ingin Sakura bersungguh-sungguh agar aku bersemangat menjalani ‘kompetisi’ ini.
zzz
Setelah seminggu penuh aku, Sakura, dan Sasuke berlatih bersama (aku bernyanyi, Sakura bermain keyboard, dan Sasuke bermain gitar), kami siap untuk penilaian sekaligus audisi itu. Walaupun berlatih bersama, tetapi kami tampil sendiri-sendiri, karena Ms Kurenai ingin melihat kemampuan individu kami.
Sakura tampak memejamkan mata sambil menghela napas dalam-dalam sebelum mulai menekan tuts-tuts keyboard. Aku jadi teringat tips yang diberikan Sakura itu beberapa waktu lalu. Memang sangat membantu. Aku ikut berdoa dalam hati. Aku ingin Sakura tampil dengan baik.
Dan benar saja, penampilan Sakura bisa dibilang cukup baik. Bahkan sangat baik untuk orang yang tidak memiliki kemampuan dasar sepertinya. Gemblenganku dan Sasuke rupanya membuahkan hasil. Aku tersenyum puas.
Setelah Haruno Sakura, selanjutnya adalah aku, Hyuuga Hinata. Dengan sedikit gugup aku maju menghadap Ms Kurenai. Aku melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Sakura tadi untuk menenangkan diri.
There’s a song that’s inside of my soul
It’s the one that I’ve tried to write over and over again
I’m awake in the infinite cold
But You sing to me over and over and over again…
Aku menyanyikan lagu Mandy Moore yang berjudul Only Hope, sebuah lagu dari salah satu film kesukaanku, A Walk to Remember. Membayangkan menjadi Jamie Sullivan dalam film itu, aku menjadi sangat menghayatinya. Seolah-olah aku memang benar-benar Jamie yang sedang tampil dalam drama musikal musim semi, Tommy “The Guns”, menjadi Alicia, penyanyi klub yang misterius.
So I lay my head back down
And I lift my hands and pray
To be only Yours
I pray to be only Yours
I pray to be only Yours
I know now You’re my only hope.
Tepuk tangan dari teman-teman mengembalikanku pada kenyataan, menjadi Hyuuga Hinata yang sedang tampil untuk penilaian dan audisi menghebohkan itu.
Saat berjalan kembali ke tempatku semula, aku melihat tatapan mata Ms Kurenai berbinar-binar, seperti orang yang menemukan apa yang dicari-carinya sekian lama. Aku tersenyum dalam hati. Semoga saja aku tidak terburu berbangga diri.
Setelah aku duduk di tempatku semula, puluhan pasang mata teman-temanku masih saja mengikutiku walaupun sudah ada temanku yang maju. Mereka tak henti-hentinya menatapku kagum, sampai aku jadi risih dibuatnya.
“Super!” kata Naruto yang langsung menghampiriku untuk memberiku selamat.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Untuk penampilanmu yang luar biasa itu. Aku yakin kau akan tampil 2 minggu lagi di aula dengan ratusan pasang mata menatap kagum padamu.”
“Jangan berlebihan. Kau bahkan belum melihat semuanya, mungkin saja ada yang lebih bagus dariku.” Ujarku merendah, walau dalam hati aku sama optimisnya dengan dia. Hanya saja aku tak mau terburu merasa senang sebelum benar-benar memastikannya.
Setelah Naruto kembali ke tempat duduknya, Sakura dan teman-temanku yang lain langsung berbisik-bisik memanggilku untuk memberi ucapan selamat dan menyatakan keyakinan mereka kalau aku pasti lolos, atau sekadar mengacungkan kedua ibu jari tangannya.
Aku hanya tersenyum dan berterima kasih.
Tapi, mengapa Sasuke tidak termasuk di antara mereka?
Aku menoleh ke arahnya. Ku lihat ia sedang memperhatikan temanku yang sedang tampil. Semua teman yang tampil diperhatikan olehnya. Sama sekali tidak mengalihkan secuil pun perhatiannya untuk sekadar menoleh dan tersenyum padaku sebagai ucapan selamat.
Tenang, Hinata, mungkin ia hanya tidak mau gegabah seperti yang lain.’ Hiburku pada diriku sendiri.
zzz
“Hinata, Sasuke, kalian benar-benar luar biasa, kalian terpilih untuk tampil pada perayaan ulang tahun sekolah. Bayangkan, dalam waktu seminggu di saat yang lain sibuk berlatih masing-masing, kalian justru sibuk mengajari aku. Tapi kalian bisa tampil luar biasa sehingga mengalahkan mereka. Aku yakin, kalau kalian memaksimalkan waktu 2 minggu ini untuk berlatih intensif, kalian akan mendapatkan tiket emas itu. Aku doakan kalian dan aku dukung kalian sepenuhnya!” ujar Sakura padaku dan Sasuke sepulang sekolah.
Ya, yang terpilih adalah aku dan Sasuke. Sasuke tadi menampilkan permainan gitar yang sangat luar biasa. Jemari tangannya dengan lincah memainkan senar-senar gitar sehingga menghasilkan nada-nada rumit yang indah. Sasuke juga mendapat perlakuan sepertiku dari teman-teman. Dan aku tidak mengucapkan selamat padanya seperti halnya ia tidak mengucapkan selamat padaku.
Ms. Kurenai tadi berpesan pada kami untuk menyiapkan masing-masing dua buah penampilan, satu solo dan satu lagi kami tampil bersama. Jadi itu artinya selama 2 minggu ini aku akan banyak menghabiskan waktu dengan Sasuke.
Aku menghela napas lega. Akhirnya aku mendapatkan Sasuke-ku kembali. Dan Sakura sementara ini akan menyingkir dari kami untuk membiarkan kami berkonsentrasi latihan. Hanya pulang-pergi bersama kami. Tidak ada berlatih bertiga seperti seminggu yang lalu. Fiuuh, ternyata keputusanku untuk mengorbankan seminggu ‘membagi Sasuke’ dengannya berbuah manis untukku.
zzz
Kupikir, aku akan benar-benar bisa ‘mendapatkan kembali’ Sasuke-ku. Tapi ternyata aku salah.
Sudah seminggu lebih berlalu dari waktu dua minggu intensifku dan Sasuke. Tapi Sasuke masih tidak seperti Sasuke-ku yang dulu. Bahkan seminggu ini tidak bisa disebut intensif karena intensitas pertemuan kami lebih jarang daripada saat kami latihan bertiga bersama Sakura. Ia selalu beralasan kalau kami sebaiknya fokus dulu pada penampilan solo kami, setelah itu kami baru akan berlatih bersama secara intensif pada minggu kedua. Tapi kenyataannya, sudah 2 hari dari minggu kedua tidak ada perubahan apapun dalam intensitas pertemuan kami.
“Sasuke, ini sudah minggu kedua. Mengapa latihan bersama kita tetap 2 jam per hari? Saat kita berlatih bersama Sakura saja kita menghabiskan waktu 4 jam setiap harinya.” Protesku halus.
“Hinata, dengarkan aku. Kau, aku, dan Sakura itu berbeda. Sakura tentu membutuhkan waktu yang banyak untuk meningkatkan kemampuannya yang sangat payah itu. Kalau aku, lebih bisa berkonsentrasi latihan seorang diri. Sedangkan kau, bakatmu sudah sangat gemilang, tanpa latihan intensif pun, hanya berlatih biasa, kau bisa menampilkannya dengan maksimal. Jadi, latihan yang efektif untuk kita adalah, aku berlatih sendiri dulu sampai kemampuanku memadai, begitu pula denganmu, walaupun kau tidak perlu berusaha sekeras aku dengan kemampuan istimewamu itu. Lalu, bila kemampuanku sudah memadai untuk bisa tampil denganmu, kita tinggal latihan bersama sekaligus gladi bersih. Jadi setiap hari selama 2 jam itu aku hanya menyesuaikan denganmu agar penampilan kita tetap kompak dan harmonis. Selebihnya kita berlatih sendiri-sendiri agar aku bisa lebih konsentrasi sampai gladi bersih.”
“Hah, aku tahu kau hanya mengada-ada alasannya, Sasuke. Bagaimana mungkin kita bisa tampil kompak dan harmonis dengan latihan 2 jam per hari?” ujarku kesal.
“Mengapa tidak? Tidakkah kau lihat latihan kita selama ini baik-baik saja?”
“Kenapa kau begitu egois??! Kau bisa berkonsentrasi latihan seorang diri, jadi memutuskan kita lebih banyak berlatih sendiri. Mengapa tidak mempedulikan aku? Kau tidak tahu kan kalau aku hampir tidak pernah berlatih sendiri selama ini?? Aku hanya berlatih saat bersamamu. Selebihnya, aku tidak bisa berlatih!! Lupakah kau pada pentingnya chemistry pada penampilan kita?? Memangnya apa yang membuat penampilanku begitu istimewa sampai terpilih kalau bukan karena penjiwaanku yang mengalahkan teman-teman bersuara merdu lainnya? Kau pikir penjiwaanku bisa lahir begitu saja, chemistry kita bisa terjalin bergitu saja, tanpa adanya sesuatu yang memperkuatnya seperti intensitas pertemuan yang tinggi???” teriakku dengan penuh emosi. Dapat kurasakan darahku menjalar ke kepala sampai membuat wajahku panas, dan pastinya wajahku sudah benar-benar merah karena amarah.
Sasuke mematung sesaat. Terkejut atas ledakan emosiku barusan. Setelah beberapa detik kami sama-sama diam, akhirnya ia berkata,”Bukankah selama belasan tahun ini kita banyak menghabiskan waktu bersama? Lagipula, kulihat selama kita berlatih ini, kau sudah mendapatkan feelnya. Aku bisa merasakannya setiap kau menyanyikannya.” ujarnya hati-hati, mungkin takut aku kembali meledak-ledak.
Aku tertawa miris. Cukup lama sampai tawa palsu itu berubah menjadi lelehan air mata. Sasuke menatapku bingung. Mungkin yang membuatnya bingung adalah tadi aku meledak-ledak dan sekarang menangis. Haah, mana mungkin aku sanggup marah setelah energiku terkuras habis tadi? Amarahku hanya bisa tertuang lewat air mata sekarang.
“Sasuke… Sasuke…. Begitu bebalkah perasaanmu akibat kejeniusan pikiranmu? Begitu kebaskah hatimu sampai tidak merasakannya? Atau, apa kau memang tidak pernah mempedulikan aku –maksudku, perasaanku?”
Sasuke diam, menungguku melanjutkan perkataanku untuk membuatnya mengerti apa maksud ucapanku ini.
“Aku menyukaimu.” Lanjutku. Singkat dan sangat jelas. Menjelaskan semuanya.
Samar kulihat tubuhnya mengejang.
“Aku menyukaimu. Aku mencintaimu. Aku menginginkanmu. Hanya untukku. Aku tidak suka perhatianmu selama ini padaku terbagi pada Sakura, juga pada siapapun. Aku ingin menghabiskan banyak waktu denganmu, seperti selama belasan tahun ini, yang mulai berkurang semenjak kita masuk SMA, dan jauh lebih berkurang semenjak hadirnya Sakura di antara kita. Aku ingin kita bisa tampil dengan sangat memukau dengan chemistry yang sama-sama kuat, bukan hanya penghayatanku yang benar-benar menjiwai penampilan kita, tetapi juga penghayatanmu yang nyata kepadaku. Aku ingin kita bisa bersama-sama –“
“Cukup, Hinata.” Potong Sasuke. Ia langsung membalikkan badannya memunggungiku.
Air mataku terjun semakin deras, tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya pergi dariku setelah pengakuanku ini.
Tapi ia tidak pergi. Ia masih terdiam di tempatnya.
“Itulah, Hinata. Kau ingin kita semakin sering bertemu karena perasaanmu padaku. Aku pun ingin mengurangi waktu pertemuan kita karena alasan yang sama. Kau salah bila mengira aku tidak peduli dengan perasaanmu. Justru karena aku tahu, aku memahami perasaanmu, aku berbuat demikian. Aku tidak ingin melukaimu karena aku tidak bisa membalas perasaanmu. Aku –“
“Cukup. Oke. Intinya, kau tidak mencintaiku. Sudah jelas, aku sudah mengerti. Tidak usah diteruskan. Kau pasti lebih menyukai gadis yang pandai memasak, menjahit, tapi juga pandai bela diri.” Kali ini aku yang menghentikan ucapannya. Aku tidak sanggup mendengar kelanjutan kata-katanya. Jadi lebih baik aku yang mengucapkannya.
“Bukan begitu, Hinata. Sama sekali bukan karena Sakura.” Bantah Sasuke seraya membalikkan badannya lagi, menghadap ke arahku.
“Lalu karena apa?”
“Tidakkah kau melihat jurang besar di antara kita? Kita memiliki perbedaan yang terlalu besar, sehingga kita tidak dapat bersatu.”
“Apa maksudmu? Bukankah perbedaan itu ada agar kita saling melengkapi?”
“Dalam beberapa hal, ya. Tapi dalam hal ini, sama sekali tidak. Karena ini menyangkut hidup mati kita. Menyangkut jalan hidup dan tujuan akhir kita, juga apa yang menjadi pegangan dalam hidup kita. Kita berbeda keyakinan.”
Aku merasa tertampar saat itu juga. Ya, mengapa aku tidak menyadarinya selama ini?
Keyakinan. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dicampuradukkan. Yang tidak bisa untuk saling melengkapi. Adanya perbedaan itu, berarti kita tidak berada pada garis yang sama. Kalaupun kita berjalan bersisian, garis itu memiliki ujung yang berbeda. Selamanya kita tidak akan pernah berada pada titik yang sama.
Lututku lemas. Dalam hitungan sepersekian detik tubuhku ambruk. Aku terduduk dengan berurai air mata yang seakan tak ada habisnya.
Sasuke menghampiriku dan ikut duduk di depanku.
“Itulah mengapa sejak awal SMA aku mencoba sedikit menjauh darimu. Aku berusaha terlihat sangat fokus pada sekolah sehingga terkesan mengabaikan keberadaanmu. Itu semua ku lakukan untuk mencegah timbulnya perasaan ini. Untuk mencegah air matamu tumpah ruah begini. Itu juga yang membuatku ingin mendekatkanmu pada lelaki lain, lelaki yang bisa bersamamu, yang mencintaimu dan akan selalu bersamamu, Namikaze Naruto itu. Dan itu juga yang membuatku merasa senang atas kehadiran Sakura di antara kita, yang menjadi teman dekat lain untukmu selain aku. Semua itu karena aku sangat ingin menjaga perasaanmu.” Urai Sasuke.
Aku masih saja menangis sambil mendengarkan ucapannya.
“Kalau aku tidak mempedulikanmu, aku akan langsung meninggalkanmu begitu saja agar tidak punya masalah perasaan apapun denganmu. Tapi aku tidak begitu, kan? Setidaknya, aku berusaha melepasmu secara perlahan. Karena aku telah berjanji pada ibuku untuk menjagamu.”
Mataku membesar. ‘Untuk apa Sasuke berjanji pada ibunya untuk menjagaku?’ batinku.
Seakan bisa membaca pikiranku, Sasuke melanjutkan, “Bagaimanapun, kau itu tetanggaku. Orang yang dekat denganku. Terlebih kau sudah tidak mempunyai siapapun selain nenekmu. Jadi sebagai teman, aku harus menjaga dan melindungimu. Itu permintaan ibuku saat orang tuamu meninggal. Sejak kecil ibuku juga yatim piatu, dan beliau sangat mengerti perasaanmu. Maka aku berjanji padanya untuk selalu menjaga dan melindungimu. Sebagai teman, seperti seorang kakak.”
Aku masih sesenggukan walaupun air mataku tidak sederas tadi. Sasuke terus menemaniku sampai aku benar-benar berhenti menangis.
“Jadi?” tanyaku setelah air mataku berhenti menetes.
“Sibukkan pikiranmu dengan persiapan perayaan ulang tahun sekolah, maka lama-lama perasaanmu padaku akan netral kembali. Asalkan kau tidak membiarkan perasaan itu semakin menjadi-jadi. Karena itulah, lebih baik kita berlatih seperti ini. Tidak terlalu lama bersama, tapi kualitas penampilan kita tetap terjaga.”
Aku mengangguk. Sekarang bahkan aku rasanya ingin latihan kami setengah jam saja setiap harinya.
Sasuke menepuk-nepuk puncak kepalaku lembut. Lalu berdiri dan beranjak pergi.
“Tunggu, lalu bagaimana dengan Sakura? Seperti apa perasaanmu padanya?” tanyaku tiba-tiba.
“Apa itu penting bagimu? Yang penting adalah, ada atau tidak ada Sakura tidak akan mengubah status kita.”
“Well, aku hanya ingin tahu,” Ucapku sambil menghapus sisa-sisa air mata di pipiku. Lalu berdiri dan menghampirinya.
“Sebagai teman, kita kan bisa sharing. Kau sudah tahu aku menyukai siapa, jadi aku juga ingin tahu kau menyukai siapa. Katakan saja kau menyukainya atau tidak. Aku akan mendukungmu sebagai sahabat.” Ujarku. Walaupun sakit, tapi kenyataan bahwa aku tidak bisa menjadi lebih dari sahabatnya harus ku hadapi.
Sasuke menatap mataku lekat-lekat. Ia tidak mengatakan apapun, tapi aku bisa membaca jawabannya dari tatapan itu.
Ya, mana mungkin Sasuke dengan kejamnya mengiyakan pertanyaanku kalau aku sudah tahu jawabannya?
Zzz – zzZ


To Be Continue ...
Tag : ,

Reborn [Part 5]

By : Unknown
Fan fiction Anime Naruto

"Eh, untuk masalah itu… aku pikir…”

Chapter 5
“Waah, kalian sedang membicarakan apa? Tampaknya seru sekali! Pasti membicarakanku, ya?” tebak Sakura dengan cengiran lebar. Ia baru saja turun dari punggung Black Hole, kuda kesayangannya.
“Ah, rupanya putri papa sudah selesai berlatih. Bagaimana latihannya kali ini?” tanya Raja Kakashi balik, tidak menjawab pertanyaan putrinya.
“Lho, kenapa Papa yang bertanya? Seharusnya kan aku yang bertanya, bagaimana latihanku tadi menurut Papa dan semuanya? Ada kemajuan kah? Huh, aku masih agak kesal dikalahkan Sasuke tadi.”
“Kau selalu membuat kemajuan, Sayang. Semangatmu untuk maju semakin besar.” Jawab ayahnya diplomatis. Sebenarnya dari tadi Raja Kakashi tidak terlalu serius menyimak latihan putrinya.
“Dari segi waktu ada sedikit kemajuan, untuk masalah teknik, sebenarnya kau sudah bisa dikatakan mahir, hanya saja kau juga harus memperhatikan keadaan Black Hole, bagaimanapun, ia juga butuh istirahat, jangan terlalu diforsir untuk latihan. Tadi kulihat Black Hole sudah kelelahan sehingga kau agak sulit mengendalikannya, makanya di tikungan terakhir tadi kalian hampir terpeleset.” Komentar kakak. Aku tidak menyadari kalau kakak ternyata memperhatikan Sakura saat latihan tadi.
“Ya, benar sekali katamu. Di awal putaran aku masih belum menyadari kalau Black Hole kelelahan. Habisnya, aku masih tidak terima kalau kau masih sangat jauh di atasku. Hehehe.” Ujarnya sambil terkekeh.
“Besok kan masih bisa latihan lagi. Lagipula, kapan kamu mau berlatih memasak, berkebun, menyulam, dan yang lainnya kalau kamu terus berlatih kuda?” tegur ibundanya, Ratu Aya.
“Tenang saja, Ma. Nanti sore kan aku sudah punya jadwal dengan petugas dapur istana untuk berlatih memasak. Oh ya, nanti kau ikut latihan masak denganku, ya!” ajak Sakura padaku.
“Baiklah.” Jawabku kalem.
“Hinata, kau harus hati-hati. Biasanya Sakura hanya akan mencicipi makanan, jadi jangan sampai kau sudah capek-capek memasak, dia tinggal menikmatinya saja.” Pesan Ratu Aya mengingatkanku.
“Hahahahahahahaha.” Kami semua menertawai Sakura yang hanya merengut, sebelum akhirnya ikut tertawa bersama kami.
Mereka semua sangat baik, menganggapku dan kakak seperti keluarga. Rasanya memang kami cocok sekali menjadi satu keluarga.
Tapi, haruskah dengan pernikahan kakak dan Sakura?
Aku, aku… entah mengapa, rasanya tak mau kalau kakakku diambil orang lain. Bahkan oleh Sakura, satu-satunya sahabatku.
Sebenarnya, ada apa denganku? Ada apa dengan perasaanku? Ada apa dengan semua ini?
zzz
“Banyak sekali, Bi!” protes Sakura melihat begitu banyak bahan yang akan kami gunakan untuk memasak sore ini.
“Memang sebanyak ini, Nona. Karena kali ini kita akan memasak menu yang spesial, dan kebetulan bumbu yang dipakai banyak.” Jelas bibi Miru, kepala juru masak istana.
“Kenapa tidak membuat menu yang mudah saja? Aku kan baru belajar. Kita buat yang simple saja, Bi.” Rajuk Sakura.
“Maaf, Nona. Tapi ini perintah Ratu Aya.”
“Aah, mama ini. Huuh, baiklah.” Kata Sakura pasrah.
Aku dan bibi Miru mulai mengupas bumbu-bumbu dapur dengan santai tapi cepat. Sementara Sakura mengupas bawang merah saja lama sekali, sudah begitu ia mengupasnya terlalu banyak, jadi ada bagian bawang yang memang strukturnya berlapis-lapis itu yang terbuang.
Saat mengiris bawang, aku dan bibi Miru yang sudah mahir tidak mengalami kendala apapun. Sedangkan Sakura menghabiskan banyak tisu untuk menyeka air matanya. Aku dan bibi Miru tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Aauw!” jeritku tanpa sadar setelah tanpa sengaja telunjuk kiriku tergores pisau. Ternyata aku lengah saat menatap Sakura tadi.
Sakura langsung meninggalkan pekerjaannya dan secepat kilat menghampiriku dengan ekspresi panik.
“Ya ampun, Hinata! Jarimu berdarah!” katanya panik tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan ini. Jangan panik.” Kataku yang justru menenangkannya.
Aku langsung beranjak keluar dari dapur dan mengobati lukaku. Sakura membuntutiku dengan khawatir.
“Hei, hei, hei. Ada apa ini? Apa sudah matang masakannya?” tegur Ratu Aya melihat kami keluar dapur. Kali ini ratu sangat bersikeras ingin Sakura belajar memasak.
“Hinata mengalami kecelakaan. Jadi latihan memasak kali ini disudahkan saja.” Jawab Sakura.
“Aku tidak apa-apa, hanya terluka sedikit. Setelah kuobati kita lanjutkan kembali latihannya.” Sanggahku.
“Tapi –“
“Sudahlah, aku baik-baik saja. Hanya sedikit luka kecil saja kok.”
“Baiklah…” ujar Sakura sambil mengerucutkan bibirnya.
Sekembalinya kami ke dapur setelah jariku diobati dan dibalut rapi, Sakura benar-benar serius memasak. Ia bahkan bersikeras melarangku memotong karena takut aku terluka lagi. Hampir semua ia kerjakan, hanya agar aku tidak mengalami kecelakaan lagi.
Hah, dasar anak yang tak pernah ke dapur! Melihat luka kecilku saja ia sampai bersikap berlebihan seperti itu. Aku menggeleng-gelengkan kepala melihatnya begitu bersemangat mengerjakan ini-itu. Setiap kali aku mau membantu, ia hanya mengizinkan yang resikonya kecil. Alhasil aku hanya bisa mengaduk masakan saja.
“Sebenarnya kau tidak perlu bersikap berlebihan seperti ini. Sudah kubilang ini hal yang biasa terjadi.” Kataku.
“Tetap saja, bagiku, akulah yang membuatmu terluka seperti itu, karena aku yang mengajakmu.” Ucapnya merasa bersalah.
“Aku tidak apa-apa, sungguh!” kataku meyakinkannya.
“Maaf, dan… terima kasih.” Ujarnya sambil memelukku.
Aku terdiam sejenak sebelum membalas pelukannya.
Ya, Sakura. Aku tahu kau menyayangiku. Sangat. Aku pun juga ingin menyayangimu.
Sungguh, aku benar-benar ingin menyayangimu. Seperti apa yang seharusnya kurasakan pada calon kakak ipar. Bukan hanya seperti teman.
—zzz—
Untuk merayakan kesuksesan kami, Naruto mengajak kami makan es krim di kedai pamannya, paman Jiraiya. Ia bilang pamannya akan memberi diskon besar-besaran untuk kami. Tentu saja kami bersorak gembira mendengarnya.
“Pamaan! Kami datang!” teriak Naruto di pintu masuk. Paman Jiraiya melambaikan tangan pada kami semua.
“Silakan masuk! Selamat datang di kedai jelekku ini!” sambut Paman Jiraiya merendah. Kedainya bahkan sudah memiliki beberapa cabang.
“Paman, aku menagih janjimu! Beri kami diskon besar-besaran!” pinta Naruto.
“Jadi drama kalian sukses?” tanya paman Jiraiya berbinar-binar.
“Sangat! Seandainya kau menonton, kau pasti akan sampai menangis-nangis!” sesumbar Naruto.
“Bagus, bagus. Kalau begitu aku tidak jadi memberikan kalian diskon.” Ujar paman Jiraiya kalem.
“Lho? Kenapa?! Kau kan sudah berjanji padaku kemarin?!!” protes Naruto.
“Aku memang tidak akan memberi kalian diskon, tapi akan memberikan pesanan kalian secara cuma-cuma! Kalian tidak perlu membayarnya! Itu hadiah untuk kalian! Selamat!” lanjut paman Jiraiya sambil tersenyum lebar yang tampak seperti seringaian.
“Benarkah? Terima kasih, Paman!” teriak kami gembira.
Kami segera menempati kursi-kursi yang ada. Beberapa meja disatukan sehingga kami bersepuluh bisa makan bersama. Bahkan paman Jiraiya menarik satu kursi dan duduk di tengah-tengah kami.
“Ceritakan padaku, bagaimana reaksi orang-orang setelah menonton penampilan kalian.” Pinta paman Jiraiya.
“Wuah, meriah sekali, Paman! Bahkan sebelum kami berbaris untuk penutupan, tepuk tangan sudah membahana di aula.” Jawab Yuuri dengan mata berbinar.
“Ya, lalu setelah kami menunduk, tepuk tangan itu semakin meriah.” Tambah Naomi.
“Sampai berisik sekali, bahkan.”  Ujar Maruko.
“Banyak yang memberikan standing applause!” Hanawa tak mau kalah bercerita.
“Banyak yang bersorak-sorak memanggil nama kami!” kata Aya.
“Hey, tapi lebih banyak yang meneriaki nama Sasuke!” ralat Chouji.
“Dan Sakura! Sasuke dan Sakura benar-benar menjadi bintang!” sambung Aya.
“Sakura, hati-hati. Sepertinya penggemarmu semakin membludak saja. Kau juga, Sasuke. Diam-diam kau ternyata benar-benar menghanyutkan!” goda Chouji.
Pipi Sakura memerah, sementara Sasuke hanya menarik sudut kiri bibirnya sedikit.
“Memangnya Sakura dan Sasuke kenapa?” tanya paman Jiraiya.
“Sasuke adalah penulis naskah berbakat, dan Sakura adalah aktris yang jempolan!” jawab Aya.
“Wah, hebat, hebat. Sepertinya kalian cocok juga. Hehehe.” Goda paman Jiraiya.
Teman-temanku langsung bersorak menggoda-goda mereka. Sakura mendelik sebal, sedangkan Sasuke hanya terkekeh.
Tiba-tiba aku merasa tanganku mengepal kuat-kuat di kolong meja, sampai perih rasanya.
zzz
Baru kali ini aku merasakan es krim yang pahit. Tapi aku yakin bukan karena kesalahan pembuat es krimnya. Mungkin ini semua karena diriku sendiri. Aku benar-benar sedang bad mood sampai-sampai es krim vanilla kesukaanku menjadi sangat tidak enak. Teman-temanku sibuk menikmati es krim mereka, sesekali menjilat bibir yang berlumuran es krim dan memuji paman Jiraiya yang menatap kami dengan gembira. Mereka semua asyik berbincang-bincang dengan suara keras, membuat hampir seluruh pengunjung menoleh. Hanya aku, Sasuke, dan Sakura yang tidak ikut bersuara.
Sasuke tampak tengah menikmati es krim dark chocolate-nya dalam diam. Tapi bisa kupastikan, rasa es krim yang biasanya agak pahit itu menjadi sangat manis di mulutnya sekarang, dan ia—yang biasanya tidak suka rasa manis– pasti jadi menyukai sensasi manis itu. Sesekali aku melihat sudut kiri bibirnya tertarik kecil, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya senang.
Sakura pun tampak sangat menikmati es krim strawberry-nya. Sesekali matanya menyipit menahan rasa asam yang menyegarkan dari potongan-potongan strawberry di mangkuk es krimnya. Pipinya masih merona. Melihatnya yang serba pink dengan es krim yang warnanya serasi itu membuatnya semakin mempesona. Gerakannya sangat anggun, sehingga bila mengingat tendangan mautnya seakan tak percaya gadis seanggun itu mampu melakukannya.
Aku kembali melanjutkan gerakan tanganku menyendokkan es krim yang rasanya semakin tidak keruan itu.
“Kau kenapa, Hinata?” tanya Naruto – yang walaupun dengan volume kecil– mengejutkanku. Aku tidak sadar ia sudah keluar dari pembicaraan seru itu.
“Oh, tidak. Aku tidak kenapa-kenapa.” Dustaku.
“Sedang tidak enak badan? Kau tampaknya tidak nafsu makan begitu.”
“Aku baik-baik saja.” Tegasku halus.
“Atau, rasa es krimnya kurang enak?” desaknya lagi.
“Sudah kubilang aku baik-baik saja. Tidak ada yang salah denganku, es krimnya, atau apapun. Semuanya baik-baik saja.” Tegasku lagi dengan nada sedikit meninggi tapi dengan volume yang masih tetap pelan.
Naruto sempat sedikit terkejut, sehingga membuatku merasa bersalah dan ingin minta maaf kalau saja Sasuke tidak tiba-tiba menoleh padaku dan Naruto yang berbicara dengan volume kecil itu. Matanya menyiratkan rasa penasaran. Naruto –yang mudah-mudahan saja tidak terluka karena ucapanku tadi– memutuskan kembali terjun pada percakapan teman-teman yang lain.
“Sasuke, kau menyukai es krim yang agak pahit seperti itu ya?” tanya Sakura mengalihkan perhatian Sasuke dariku.
Sial! Tiba-tiba saja aku merasa darahku bergolak. Mengapa gadis itu merebut perhatian Sasuke?
“Ya. Aku kurang suka rasa manis. Rasa inilah satu-satunya rasa es krim yang kusuka.” Jawabnya.
“Apa kau sudah pernah merasakan es krim yang lain?” tanya Sakura lagi.
“Err, belum. Sejak awal aku memang memesan yang paling pahit. Yeah, walaupun tetap saja ada sedikit rasa manis di dalamnya.”
“Lalu bagaimana kau bisa memutuskan bahwa itulah rasa es krim yang paling kau suka?”
“Selama tidak manis, aku suka. Jadi menurutku pilihanku ini yang terbaik.”
“Tidak manis belum tentu pahit, bukan? Jadi, mengapa kau tidak mencoba rasa lain?”
“Maksudmu rasa asam?”
“Yeah, bisa saja. Untuk es krim mungkin hanya rasa asam yang tersisa, karena setahuku tidak ada rasa asin atau pedas. Hehehe.”
“Hmm, yeah, ku rasa kau benar juga. Mungkin lain kali aku akan mencobanya.”
“Mau mencoba sekarang?” tawar Sakura. Ia menunjuk mangkuk es krimnya.
Sasuke terdiam sesaat, sebelum menerima uluran mangkuk cantik itu dengan agak ragu.
“Cobalah!” kata Sakura melihat Sasuke yang hanya mengamati es krim itu.
Dengan sangat perlahan, Sasuke menyendokkan sendok es krimnya yang masih sedikit berlumuran es krim dark chocolate-nya ke dalam es krim strawberry Sakura.
Hap! Sasuke memejamkan matanya, menahan rasa asam yang menggigit tiba-tiba. Tapi sesaat kemudian ia tersenyum.
“Bagaimana?” tanya Sakura penasaran.
Sasuke masih merasa-rasakan sesendok es krim strawberry dalam mulutnya sekarang.
“Enak tidak?” desak Sakura.
“Hmm, tidak terlalu buruk.” Jawab Sasuke tersenyum, kemudian ia membuka kedua matanya dan menatap Sakura yang berbinar riang.
“Benar, kan? Rasa itu tidak hanya manis dan pahit. Masih ada rasa lain yang bisa jadi alternatif.”
“Yeah, kalau itu aku setuju. Tapi kalau memesan es krim strawberry… err, apa cocok aku memesan es krim pink begitu?” tanya Sasuke setengah tertawa.
“Mengapa tidak? Atau, kalau kau malu, kau boleh meminta punyaku lagi. Aku kan baik hati, ramah tamah, lemah lembut, rajin menabung dan tidak sombong. Hehehehe.”
“Dan jangan lupa: narsis!” ucap Sasuke yang ikut tertawa bersama Sakura.
Entahlah, aku merasa ada yang menyesakkan di dadaku. Dan aku tidak tahu kenapa mood ku bisa sehancur saat ini.
“Dan, satu hal lagi, Sasuke.” Kata Sakura di sela-sela tawanya.
“Apa?”
“Hmm,” Sakura menggantung kalimatnya. Menahan napas sejenak sebelum melanjutkan dengan ekspresi serius, “Aku memang tidak tahu apa alasanmu, tapi kupikir, kalau kau memang tidak ingin ada teman sekolah kita yang mengetahui hubungan kalian, kau tidak perlu bersikap dingin dan menjauhinya seolah-olah ia bahkan bukan temanmu. Tidak harus bersikap yang bertolak belakang, bukan? Bersikap sewajarnya saja seperti teman biasa, sebagai jalan alternatifnya.”
“Apa maksudmu?” tanya Sasuke tak paham.
“Well, hubunganmu dengan Hinata. Aku tahu karena aku sering melihat kalian pulang-pergi bersama. Err… kalau kau tidak ingin ada teman sekolah yang tahu hubungan kalian, tidak perlu bersikap seolah tidak mengenalnya. Bersikap biasa saja. Oh ya, sebelumnya aku minta maaf kalau menyinggung perasaanmu, tapi sebagai teman, aku hanya ingin mengingatkanmu karena mungkin kau tidak menyadarinya. Bagaimanapun, aku tahu, walaupun Hinata adalah gadis yang sangat sabar, pasti menyakitkan sekali bila seperti… mmm, kekasih yang tak dianggap.”
Aku terkejut bukan main. Ternyata Sakura salah paham mengenai hubunganku dengan Sasuke.
Sasuke terdiam dan menunduk sesaat, sebelum kembali tertawa. Tapi aku merasa ada yang berbeda dengan tawanya sekarang dengan yang tadi. Tawa ini hambar kebahagiaan, bahkan cenderung ada kemirisan.
“Hahaha, jika saja kau tidak salah paham, nasihatmu bijak sekali. Tapi, sepertinya psikolog pun tidak pernah men-judge seseorang dan memberinya petuah begitu saja tanpa tahu yang sebenarnya. Hahahahaha, kau ini lucu sekali.” ujar Sasuke di sela tawanya.
“Maksudmu aku salah paham bagaimana?” tanya Sakura bingung.
“Aku dan Hinata bukan sepasang kekasih seperti yang kau duga. Kami berteman baik sejak kecil, dan selalu pulang-pergi bersama karena kami memang selalu sesekolah. Mengenai sikapku di sekolah, well, mungkin karena aku tipe orang yang fokus pada tujuanku, jadi aku benar-benar serius belajar di sekolah karena memang itulah tujuanku.” Jelas Sasuke.
Sakura menggigit bibirnya, merasa tidak enak sudah men-judge Sasuke seenaknya. “Hmm, tapi kan kau bisa besikap sedikit lebih hangat padanya. Fokus sih bagus, tapi kalau sampai mengabaikan sekitarmu kan jadinya tidak bagus juga. Aku saja yang hanya melihat kalian merasa kurang senang dengan sikapmu, apalagi Hinata yang merasakannya sendiri?” tambah Sakura.
“Ehm, aku baik-baik saja. Aku mengerti mengapa Sasuke bersikap seperti itu.” Elakku.
Sasuke menatapku, lalu kembali menatap Sakura dengan tatapan ‘Lihat, dia saja tidak mempermasalahkannya.’
“Well, aku minta maaf kalau begitu. Habisnya, awalnya kukira kalian ini pacaran. Hehehehe.” Ujar Sakura sambil terkekeh minta maaf.
Sasuke menyuapkan es krim dark chocolate ke mulutnya kembali. Juga memasang wajah-dengan-ekspresi-tak-tertebak lagi.
Aku hanya menghela napas. Entahlah, sebenarnya Sakura benar. Memang itulah yang aku pertanyakan selama ini, hanya saja tak pernah terlontarkan karena ketidakmampuanku. Tapi, entahlah (lagi), aku merasa tidak senang dibantu olehnya. Karena, entahlah. Mengapa ia harus berbuat baik padaku tapi aku tak pernah menyukainya?
zzz
Setelah kenyang makan es krim dan kenyang berbincang-bincang, kami semua pulang. Aku, Sasuke, dan Sakura ke arah timur, sedangkan yang lain ke arah berlawanan.
Kami bertiga berjalan santai dalam diam. Sasuke berjalan di depan, sedangkan aku dan Sakura berjalan bersisian di belakangnya.
“Jadi, kalian itu bersahabat sejak kecil karena kalian bertetangga?” tanya Sakura merusak keheningan.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Wah, asyik ya punya tetangga yang bersekolah di sekolah yang sama. Jadi bisa berangkat dan pulang bersama, juga belajar bersama.” Katanya polos.
‘Oh, tidak! Jangan sampai…’ jerit batinku.
“Kau bisa bersama dengan kami. Rumah kita kan searah.” Ajak Sasuke. Kecemasanku nyata sudah.
“Kau juga bisa belajar bersama dengan kami. Rumah kami tidak terlalu jauh kok dari rumahmu.” Tambahku. Terlanjur basah, ya sudah mandi sekalian.
“Oh, tidak, tidak apa-apa. Itu tadi aku hanya… err, bukan apa-apa. Aku sudah terbiasa sendiri kok. Sudah, lupakan saja ya!” ucap Sakura tiba-tiba. Sepertinya ia merasa tidak enak hati. Dan itu membuatku jadi ikut tidak enak. Apa tadi aku mengucapkan dengan nada yang salah? Sampai-sampai Sakura tahu aku sebal mengatakannya?
“Kau ini bicara apa? Rumah kita kan memang dekat. Tidak usah merasa tidak enak begitu!” kata Sasuke yang tiba-tiba ketus.
“Baiklah, kapan-kapan kita belajar bersama, ya! Hehehe.” Sahut Sakura sambil menyeringai kecil, tapi rautnya tetap menunjukkan perasaan bersalah. Entahlah, padahal kan dia sudah tahu aku dan Sasuke hanya bersahabat.
Kami berpisah setelah menyeberang jalan di lampu merah tempatku ditolong Sakura beberapa waktu lalu. Tapi kali ini bukan Sasuke yang menggandeng tanganku, melainkan Sakura. Belum apa-apa saja aku sudah kesal setengah mati.
“Daaah…” ucapnya sambil melambaikan tangan padaku dan Sasuke. Aku membalas lambaian tangannya, sementara Sasuke hanya mengangguk kecil.
Sakura berjalan ke sebuah tikungan, memasuki perumahan. Aku melirik ke arah Sasuke dan mendapati matanya menatap punggung gadis itu sampai ia menghilang. Tiba-tiba saja aku merasa dadaku sakit.
zzz
Pagi hari. Aku dan Sasuke bertemu dengan Sakura di lampu merah itu. Aku jadi heran, sebelumnya kami tidak pernah bertemu, lalu sekarang setelah diajak Sasuke bersama jadi bertemu begitu? Huh! Apa-apaan itu? Aku mendengus sebal dalam hati.
“Hai!” sapanya riang.
“Hai! Kebetulan sekali kita bertemu lagi. Ayo kita berangkat bersama!” ajakku seramah mungkin.
“Err… sebetulnya bukan kebetulan juga. Tadi Sasuke menelponku dan memintaku menunggu kalian di sini.” Ucapnya polos.
Deg! Dadaku rasanya dihantam petinju professional. Tapi aku segera menguasai diri.
“Ooh, bagus sekali. Jadi setiap hari kita bisa pulang-pergi bersama!” kataku, berusaha terdengar wajar.
“Hmm, mungkin kalau pulang sekolah tidak bisa setiap hari. Karena kadang-kadang aku harus latihan taekwondo atau langsung berangkat les.” Ucapnya.
“Memangnya kau ikut les apa?” tanya Sasuke yang sejak tadi terdiam.
“Memasak dan menjahit. Hehehe. Tidak keren sekali ya?” tanyanya sambil terkekeh.
“Menurutku itu sangat menarik. Jarang-jarang ada gadis yang mau ikut les seperti itu. Ku kira kau les musik atau semacamnya.”
“Tidak, aku memang buta sekali soal musik, tapi aku sekarang ini sedang tertarik pada dunia ibu-ibu seperti itu. Menyenangkan sekali lho, berada di antara ibu-ibu. Kau akan merasa sangat muda. Hehehe.” Ujarnya bergurau.
Ha! Sakura memang buta sekali soal musik. Bisa dibilang di situlah ia tidak bisa tampak mengagumkan. Entah mengapa hal itu membuatku senang dan aku menyeringai dalam hati.
Tunggu, tunggu. Sebenarnya, ada apa dengan diriku? Mengapa aku bersikap seolah-olah ia adalah rivalku?

Tag : ,

Reborn [Part 4]

By : Unknown

Tiga ketukan pelan terdengar di pintu pondok. Aku yang sedang bermain-main dengan si rubah mungil kesayanganku langsung membeku. Kupertajam kedua telingaku, dan kudengar bunyi yang sama. Dengan was-was aku berjalan menuju pintu, mengintip di sebuah lubang kecilnya.
Dalam sekejap ketakutanku sirna. Tanpa pikir panjang aku segera membuka pintu dan menghambur ke arah pengetuk itu. Ia membentangkan tangannya, bersiap menerima serbuanku ke dalam pelukannya.
Kakak. Entah sudah berapa lama kami tak bertemu. Yang jelas sekarang ini kakak tampak jauh berbeda, dan jauh lebih baik.
“Hai, Tarzan! Apa kabar?” sapanya sambil mengelus rambut panjangku.
“Enak saja! Aku bukan tarzan!” jawabku sambil membenamkan wajahku di dadanya.
“Hahaha, baiklah, apa kabar, Adikku sayang?” tanyanya ulang.
“Tadinya tidak terlalu baik, tapi sekarang baik sekali!” jawabku sungguh-sungguh sambil mengangkat wajahku dan menatap mata onyxnya yang tajam.
“Aku senang mendengarnya.” Sahutnya seraya mencubit hidungku gemas.
Aku menyeringai lebar. Masih tidak mau melepaskan pelukanku.
“Kau tidak mau mengajak kakakmu masuk?” tanyanya.
“Oh iya, aku hampir lupa. Hehehe.” Jawabku tidak enak sambil melepaskan tanganku yang melingkarinya. Rasanya berat sekali.
Kakak memasuki pondok kami, lalu duduk di salah satu kursi kayu. Ia melepas topinya dan menggunakannya sebagai kipas.
Barulah pada saat itu aku menyadari. Ya, kakakku kini berbeda sekali. Pakaiannya sangat bagus.
“Kemana saja selama ini?” tanyaku.
“Nanti ku ceritakan. Sekarang aku mengantuk sekali. Hoaaahm…” katanya sambil menguap lebar. Lalu ia membaringkan tubuhnya di kursi sebesar ranjang itu.
Tak lama kemudian ia terlelap. Aku memandanginya saat tertidur. Rasa rindu yang membuncah di diriku membuatku ingin menyentuhnya. Tapi akhirnya kuurungkan, karena tidak tega melihatnya kelelahan seperti ini. Akhirnya aku memutuskan untuk membuatkan makanan untuknya saat terbangun nanti.
zzz
“Jadi, kakak sudah bertemu dengan paman itu?” tanyaku.
“Begitulah.” Jawab kakak yang kemudian menyesap minuman hangat yang kusediakan. Bukan kopi atau teh, tapi air jahe.
“Setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan dan berbulan-bulan tersesat?” tanyaku lagi.
Ia mengangguk tipis, masih menikmati air jahenya.
“Bagaimana perjalanannya? Menakutkan?” tanyaku.
Ia meletakkan gelasnya di meja sebelum menjawab dengan panjang, “Awalnya sangat sulit. Aku harus terus bersembunyi dan melakukan perjalanan di malam hari. Tapi semakin jauh aku melangkah, semakin sedikit orang yang mengetahui siapa aku, sampai akhirnya tidak ada sama sekali yang mengenaliku. Barulah aku bisa berjalan dengan wajar, bergaul dengan baik, dan mendapat informasi lebih mudah. Sampai akhirnya aku berhasil mengetahui letak kerajaan paman Kakashi. Aku segera menuju ke sana tapi sempat tersesat beberapa kali, setelah sampai pun tidak mudah untuk langsung menemui beliau. Orang-orang tak percaya bahwa aku mengenal raja mereka. Setelah kukatakan bahwa aku adalah anak Iruka, pengawalnya memberi tahu paman Kakashi. Lalu paman Kakashi segera memerintahkan mereka untuk membawaku menemuinya.”
“Paman Kakashi langsung percaya kalau kakak adalah anak ayah? Bukankah kalian belum pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku lagi.
“Memang belum, aku juga belum pernah ke pondok ini sebelumnya tapi akhirnya berhasil menemukannya, bukan? Setelah melihatku, paman Kakashi memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Awalnya dia agak ragu, tapi setelah aku menunjukkan kalung ayah, paman langsung percaya.”
“Kalung? Kalung apa? Kakak tidak pernah memberitahuku tentang kalung sebelumnya.” Desakku.
“Ayah pernah berkata pada kakak, bila keadaan genting, pergilah ke pondok ini dan carilah sebuah kalung yang tersimpan di pondok tersebut. Lalu pergilah menemui paman Kakashi, sahabat ayah. Pondok ini pun dibangun untuk mereka berdua. Jadi kakak menuruti saja perkataan ayah.”
“Walaupun kakak sendiri tidak pernah tahu sebelumnya? Tidak tahu dimana letak pondok ini secara pasti, tidak tahu dimana kerajaan paman Kakashi, bahkan tidak tahu orangnya seperti apa?” tanyaku heran pada kenekatan kakak.
“Itulah gunanya kepercayaan. Kalau kau percaya dan yakin betul, kau akan berhasil. Walaupun kau buta sama sekali sebelumnya.” Jawabnya mantap.
Aku terdiam. Mencerna kata-katanya dan mencari apa lagi yang ingin kutanyakan. Sebetulnya banyak sekali yang ingin kutanyakan, tapi mendadak hilang semua.
“Kau tidak bertanya apa yang terjadi kemudian?” pancing kakak.
Oh, ya. Tentu saja. Apa yang terjadi pada kakak selanjutnya?
“Ceritakan semuanya padaku.” Pintaku.
“Hmm, kurasa aku jadi haus lagi karena terlalu banyak bercerita.” Sindirnya halus. Dengan sigap aku langsung mengambilkan minuman untuknya lagi.
Setelah meneguk beberapa kali, kakak kembali melanjutkan ceritanya.
“Setelah paman yakin bahwa aku adalah anak Iruka, paman langsung memelukku erat sekali. Ia bertanya-tanya apa yang terjadi dengan ayah. Tapi sebelum aku bercerita, ia menyuruh pengawalnya untuk mengurusku. Yeah, badanku bau sekali saat itu. Setelah aku sudah bersih, rapi, dan wangi, ia memintaku menceritakan selengkap-lengkapnya. Bahkan matanya merah dan sesekali air matanya menetes. Istrinya, ratu Aya Haruka, menghabiskan banyak sekali sapu tangan untuk menghapus air matanya. Ratu memang sangat lembut dan berperasaan.” Ceritanya.
“Bagaimana dengan anaknya? Apa mereka memiliki pangeran atau putri?” tanyaku.
“Nah, di sinilah klimaksnya, Adikku yang cantik. Paman Kakashi menanyakan padaku apakah aku mau menjadi menantunya, karena beliau tidak memiliki putra. Mereka hanya mempunyai seorang putri, yang sampai sekarang aku belum melihatnya karena selama aku di sana ia sedang berkelana.”
“Berkelana?” tanyaku heran.
“Ya, mereka bilang putri mereka memang agak unik. Oleh karena itulah paman terlihat agak ragu memintaku menjadi menantunya. Tapi ia sangat berharap agar mau menyetujuinya.” Jawab kakak sambil menarik sudut kiri bibirnya. Sepertinya ia tertarik pada putri itu.
“Kakak –jangan bilang kakak mulai tertarik dengannya?!” tebakku.
Ia malah semakin menarik sudut bibirnya, “Apa menurutmu begitu?”
“Kak! Bagaimana kalau ternyata gadis itu tidak seperti yang kakak bayangkan? Bahkan tadi kakak sendiri yang bilang kalau paman Kakashi sebenarnya agak ragu meminta kakak menjadi menantunya! Bagaimana kalau ternyata sang putri memiliki kelainan? Bagaimana kalau ia cacat? Bagaimana –“
“Ssshht…” potongnya sambil mengacungkan telunjuknya di bibirnya, menyuruhku diam.
“Jangan terlalu berlebihan. Kita bahkan belum tahu siapa dia.”
“Justru karena kita belum tahu dia, makanya kakak jangan keburu jatuh cinta padanya!” bantahku.
“Siapa yang bilang kalau aku jatuh cinta padanya?” Tanya kakak.
“Yeah, hampir. Tapi jangan sampai.” Ucapku semakin pelan.
“Dengar, Hinata. Pikirkan bagaimana kelangsungan kerajaan kita kelak. Kita masih bisa mempertahankannya dengan cara ini. Kita masih bisa melanjutkan perjuangan ayah, kakek, dan terus sampai raja pertama. Pikirkan bagaimana rakyat kita sekarang… tunggu, bagaimana keadaan mereka selama kepergianku?” Tanya kakak.
“Masih aman. Walau hidup mereka tidak sedamai dan sesejahtera dulu, tapi setidaknya kerusuhan itu sudah mereda sejak kakak mulai pergi. Sebagian besar dari mereka memang sudah menjadi rakyat mereka, tapi masih ada pengikut setia kita yang mengungsi ke tempat lain dan bersembunyi. Mereka masih tetap menanti kemunculan kita kembali.” Jelasku.
Aku memang tinggal sendiri di hutan, tapi seperti yang ku bilang, pondok ini masih tidak terlalu jauh di dalam hutan. Sesekali aku keluar hutan untuk memantau perkembangan, tentu dengan menyamar. Aku benar-benar merahasiakan identitasku dari siapapun, karena kawan bisa menjadi lawan setelah adanya perusuh seperti mereka, yang suka mengadu domba dan menipu rakyatku untuk kepentingan mereka sendiri.
Ya, mereka yang kumaksud adalah mereka yang telah menghancurkan kerajaanku dan…
MEMBUNUH-HAMPIR-SELURUH-KELUARGA-BESARKU.
“Karena itulah, Hinata. Aku harus menyelamatkan mereka.” Ucap kakakku.
“Dengan mengorbankan dirimu sendiri? Maksudku, kalau kau tidak mencintainya, kau tetap akan menikahinya demi rakyat kita?”
“Tenang saja, aku akan mencintainya. Aku akan mencintai istriku sepenuh hati.” Jawab kakakku mantap.
Mendengar keteguhan dalam nada bicaranya, hatiku tersentuh. ‘Betapa beruntungnya kau, Putri.’ Batinku.
zzz
Esok paginya, kami berangkat menuju kerajaan Kakashi. Kedatangan kakak adalah untuk menjemputku.
Aku memandangi pondok itu lama sekali. Mengamati setiap detilnya, dan menyimpannya dalam ingatanku. Ketika mataku menatap rubah itu, aku tak tahan untuk tidak mengajaknya. Akhirnya kakakku mengizinkan karena toh rubah itu telah berjasa selama ini menemaniku.
Kami berangkat pagi-pagi sekali. Sebelum matahari terbit kami sudah mencapai batas aman dimana sudah bukan lagi daerah rawan bertemu orang-orang dari kerajaan lama kami.
“Seberapa jauh jaraknya?” tanyaku.
“Hmm, berhubung aku sudah tahu jalannya, kurang lebih 3 bulan kita sudah sampai.”
“Apa?! Itu jauh sekali!”
“Tenang saja, Hinata. Bukankah kau sudah terbiasa memakan apapun yang kau temukan di jalan? Itulah yang akan kita lakukan.”
“Mengapa paman Kakashi tidak menyuruhmu membawa kuda atau apalah sebagai alat transportasi?” tanyaku.
“Paman sudah menawarkannya padaku. Bahkan beliau juga memintaku untuk bersedia diiringi pengawalnya dengan kereta kuda. Tapi aku menolak.” Jawabnya.
“Kenapa? Kau ini bodoh atau sombong sih?” tanyaku jengkel.
Kakak hanya tertawa mendengar omelanku. “Karena aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan adikku.” Jawabnya kemudian.
Tiba-tiba saja aku merasa pipiku terbakar. Kakak ternyata memang sangat, sangat baik dan menyayangiku.
zzz
Sepanjang sisa perjalanan, kami benar-benar memanfaatkan waktu untuk melepas kerinduan kami. Aku yang sudah terbiasa mandiri menjadi sangat dimanja oleh kakakku. Tapi aku senang dengan perlakuannya.
Aku sangat suka memandangi kakak yang sedang tertidur. Begitu polos dan tentu saja tampan. Dalam hati aku membayangkan bagaimana putri yang kelak akan menjadi ratu dari kakakku yang luar biasa ini.
Pertama-tama aku membayangkan seorang putri yang hobi jalan-jalan dan menghamburkan banyak uang, mengingat kata kakak ia sedang berkelana. Uugh, belum-belum aku sudah mual membayangkannya.
Lalu aku membayangkan seorang putri yang memiliki kelainan, mengingat kata kakak orang tuanya bilang ia unik. Semacam autis atau semacamnya mungkin. Membayangkannya membuatku miris.
Atau, bagaimana kalau ia cacat? Atau penyakitan? Sehingga ia harus dibawa pergi kemana-mana untuk mencari pengobatan terbaik. Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Aku kembali melihat wajah kakakku yang rupawan itu. Tiba-tiba aku berpikir, bagaimana kalau putri itu buruk rupa? Sehingga bukan lagi beauty and the beast, tapi handsome and the beast? Aku bergidik membayangkannya. Bukan, bukan karena aku tidak suka orang yang tidak cantik. Aku sendiri tidak sangat cantik. Hanya saja, membayangkan kakakku yang rupawan ini bersanding dengan putri yang buruk rupa… apa malah tidak membuatnya ingin bunuh diri?
zzz
Tiga bulan yang rasanya bagaikan tiga menit bila dibandingkan dengan rasa kangen kami setelah berpisah entah berapa puluh bulan. Kami akhirnya tiba di kawasan Kerajaan Azalea. Bunga-bunga Azalea bemekaran di awal musim panas ini. Kakak bilang beberapa hari lagi akan diadakan festival. Dan di saat itulah putri rencananya akan tiba.
“Selamat pagi, Tuan dan Nona! Selamat datang di kerajaan Azalea!” sapa seorang gadis ramah di gerbang kerajaan Azalea yang dikelilingi pagar beton.
“Selamat pagi!” jawabku. Kakak hanya menunduk sedikit.
“Apa memang setiap orang asing yang datang selalu disambut seperti ini?” bisikku pada kakak.
Kakak mengangkat bahunya. “Waktu aku datang ke sini tidak.”
“Mungkin Anda heran dengan penyambutan saya. Perkenalkan, saya Sakura, dan saya memang ditugaskan untuk menyambut kedatangan Anda. Silakan masuk, Tuan dan Nona. Anda berdua sudah ditunggu raja dan ratu di dalam istana.” Ujarnya dengan senyum yang terus terkembang.
Aku mengikutinya di belakang bersama kakak. Ia berjalan di depan kami dengan langkah tegap. Sedikit terlalu gagah untuk ukuran seorang wanita. Rambut merah mudanya dipotong sangat pendek hingga menampakkan leher belakangnya. Ia tidak mengenakan baju terusan seperti wanita pada umumnya, melainkan mengenakan sebuah kemeja merah muda dengan dasi merah tua, disertai celana panjang merah tua. Aku baru kali ini melihat wanita berpenampilan ‘berbeda’ seperti dia.
“Bagaimana perjalanan kalian?” Tanya Sakura.
“Baik-baik saja,” jawab kakak.
“Dan agak melelahkan.” Tambahku. Sakura tersenyum.
“Bagaimana kabar raja dan ratu?” Tanya kakak.
“Kabar mereka baik dan sehat.” Jawabnya.
“Syukurlah. Lalu keadaan Kerajaan Azalea?” Tanya kakakku lagi.
“Aman terkendali.” Jawabnya mantap.
Kakakku mengangguk-angguk lega. Sepertinya sebagian jiwa kakak sudah menjadi bagian dari Kerajaan Azalea.
“Bagaimana dengan sang putri?” tanyaku.
“Putri juga baik-baik saja.”
“Apakah dia sudah pulang dari perjalanannya?” tanyaku lagi. Aku tahu sebenarnya kakak juga ingin tahu tapi tidak tahu harus bertanya bagaimana. Maka untuk urusan ini biar aku yang ambil alih.
“Yang jelas, putri berjanji bahwa pada saat festival ia akan datang.” Ujarnya.
Ternyata, Sakura adalah gadis yang baik. Walaupun penampilannya agak ‘berbeda’, tapi ia orang yang menyenangkan. Dalam waktu singkat aku bisa mengaguminya. Bahkan ia bisa mencuri perhatian kakakku, walau kakak menutupinya.
zzz
H-1 festival. Semua lapisan masyarakat kerajaan Azalea sibuk mempersiapkan acara tahunan paling meriah negeri itu. Di setiap rumah terdapat semacam koinobori tetapi bukan berbentuk ikan, melainkan bunga Azalea. Alun-alun di pusat kota didekorasi sedemikian rupa dengan beragam peralatan perlombaan, karena keesokan harinya ada banyak perlombaan yang diadakan di lapangan itu. Akan ada lomba balap kuda, memanah, memasak, dan sebagainya.
“Wah, ramai sekali. Sepertinya festival besok akan sangat meriah,” ucapku.
“Begitulah, setiap tahun selalu seperti ini. Dan aku selalu sangat menyukai momen ini.” Kata Sakura yang membawaku berkeliling sore itu.
“Puncak acaranya kapan? Nanti malam?” Tanya kakak.
“Tidak. Puncak acaranya besok siang. Festival ini memang diadakan siang hari. Tetapi mulai nanti malam ada pasar malam yang akan berlangsung tiga malam berturut-turut.” Jelasnya.
“Puncak acaranya seperti apa?” tanyaku.
“Hmm, penanaman tanaman Azalea oleh raja, lalu seluruh anggota kerajaan, kemudian oleh beberapa orang perwakilan rakyat negeri ini.” Jawab Sakura sambil tersenyum bangga.
“Hah? Seperti itu? Unik sekali,” ucapku kaget, tetapi ada kekaguman di dalamnya.
“Apa dari dulu seperti itu?” Tanya kakak.
“Mmm, tidak juga, acara seperti itu baru dimulai beberapa tahun belakangan.”
“Apa itu ide sang putri?” Tanya kakak lagi.
Sakura tersenyum sebelum mengangguk.
Tiba-tiba saja kakak menarik sudut kiri bibirnya. Dapat kulihat di matanya kalau ia sangat penasaran dengan putri ini dan bahkan sudah tertarik padanya.
Oh, tidak. Jangan mulai lagi.
zzz
“Sakura, apa putri sudah dekat? Kira-kira sudah sampai di mana ya?” tanyaku saat aku, Sakura, dan kakakku sedang makan mie di sebuah kedai di pasar malam.
“Hmm, yang pasti sang putri sudah dekat. Sudahlah, besok siang ia akan datang.” Jawabnya, kemudian melanjutkan makannya.
zzz
Akhirnya, saat yang paling kutunggu-tunggu tiba. Hari festival, dimana saat itu putri akan datang. Hmm, seperti apa ya, dia? Membuatku penasaran saja.
Dengan gaun panjang warna violet dengan aksen bunga Azalea warna biru aku siap datang ke alun-alun untuk merayakan festival sekaligus menyambut kedatangan sang putri. Rambut panjangku dibiarkan terurai dengan Gainsborough Hat menutupi puncak kepalaku dan melindungi wajahku dari teriknya matahari.
Tiga ketukan pelan terdengar di pintu kamarku.
“Hinata, apa kau sudah siap?” Tanya kakak.
“Ya, aku sudah siap.” Jawabku lalu segera keluar menghampirinya.
“Mana Sakura?” tanyaku.
“Tadi pagi salah satu petugas istana memberitahuku kalau Sakura tidak bisa berangkat bersama kita.” Jawab kakak, tiba-tiba saja aku bisa mendengar ada nada muram dalam suaranya.
“Ooh,” sahutku, entah kenapa aku juga merasa sedikit kecewa. Ia seperti temanku di sini.
“Ayo kita ke ruang makan, paman dan bibi sudah menunggu.” Kata kakak.
Aku berjalan menuju ruang makan dengan pikiran tertuju pada Sakura. Membayangkan berjalan tanpa Sakura, aku jadi merasa tidak nyaman. Sakura selalu bercerita ini-itu, membuat suasana cair. Kalau hanya bersama kakak, pasti akan membosankan sekali.
“Omong-omong, adikku cantik sekali,” ucap kakak tiba-tiba, mengagetkanku saja.
“Eh? Terima kasih, Kak.” Jawabku sambil tersipu. Kemudian ku amati kakakku dan menilai penampilannya.
Yeah, kakakku juga keren sekali. Dengan pakaian ala pangeran berwarna biru tua kakak terlihat sangat gagah.
“Kakak juga keren dan tampan sekali,” pujiku.
“Terima kasih,” jawabnya singkat.
Kami melanjutkan langkah kami ke ruang makan dengan diam. Sesampainya di ruang makan langsung terdengar teriakan Ratu Aya.
“Hinata sayang, kau cantik sekali!!” puji Ratu Aya dengan mata berbinar-binar.
“Terima kasih, Anda juga sangat cantik, Yang Mulia.” Jawabku kalem.
“Sasuke, kau benar-benar gagah seperti ayahmu, tapi jauh lebih tampan dibandingkan beliau,” puji Raja Kakashi pada kakak setelah kami duduk. Raja Kakashi menepuk-nepuk bahu kakakku.
“Terima kasih, Anda pun sangat tampan dan gagah.”
“Oh ya, Ratu, apa sang putri sudah datang? Atau masih dalam perjalanan?” tanyaku.
“Eh? Oh, itu…” kata Ratu yang tiba-tiba saja tampak gugup.
“Ia sudah dekat. Nanti saat di alun-alun kalian akan bertemu dengannya.” Jawab Raja menggantikan Ratu.
Walaupun agak bingung dengan sikap Ratu, aku mengangguk-angguk saja.
Ketika kulirik kakak, aku bisa melihat raut campur aduk dalam wajahnya, juga ekspresi yang sama tercermin dalam matanya.
Penasaran, cemas, dan… entahlah.
zzz
“Selamat siang Raja Kakashi, selamat siang Ratu Aya, selamat siang Pangeran Sasuke, selamat siang Putri Hinata, dan selamat siang seluruh hadirin! Pada final pertandingan balap kuda yang sudah dimulai beberapa minggu belakangan ini, marilah kita sambut para finalis termasuk sang putri yang juga menjadi salah satu peserta pertandingan ini!” ucap salah satu pembawa acara dengan pengeras suara. Semua hadirin bertepuk tangan dengan sangat meriah.
“Apa? Putri ikut lomba balap kuda? Bukankah peserta pada umumnya laki-laki?” tanyaku heran.
“Begitulah, di negeri ini, perempuan pun boleh ikut. Bahkan di final ini ada dua orang perempuan dari 10 finalis. Salah satunya sang putri.” Jawab Ratu Aya bangga.
Aku mengamati para finalis yang sudah siap di tempat start. Ya, dua di antaranya mengenakan gaun yang diangkat dengan celana panjang di baliknya. Tapi yang mana putrinya, aku masih belum tahu.
“Putri mengenakan gaun merah, yang itu.” tunjuk ratu seolah mengerti kalau aku tidak tahu yang mana sang putri.
Aku mengikuti arah yang ditunjuk ratu, mengamati seorang gadis yang mengenakan gaun merah, sementara gadis yang lain mengenakan gaun merah muda. Tapi aku tidak bisa melihat wajah siapapun dari sepuluh finalis itu.
Tiba-tiba aku jadi teringat Sakura.
“Ratu, apakah salah satunya Sakura?” tanyaku.
“Eh, emm, ya, salah satu dari mereka adalah Sakura. Wah, sepertinya sudah mau dimulai.” Jawab Ratu yang entah kenapa tiba-tiba seperti berusaha mengalihkan pembicaraan.
Saat terdengar bunyi tembakan ke udara, para finalis langsung melesat dengan kuda masing-masing. Ternyata putri hebat juga. Beberapa kali ia memimpin, walau terkadang dikalahkan oleh salah satu finalis pria yang juga hebat. Mereka berdua memimpin di depan bergantian.
Mendekati garis finish, mereka masih saja salip-salipan. Tidak ada yang bisa memprediksi siapa yang akan menang karena posisi mereka terus menerus bergantian.
Dan…
Finish! Seekor kuda berwarna keabuan tercatat sebagai yang tercepat, disusul kuda hitam dalam sekejap.
Semua hadirin bertepuk tangan. Aku suka sekali pada semua penonton, walaupun yang dijagokan sebagian besar dari mereka tidak menjadi juara pertama, tetapi mereka tetap turut bergembira untuk memberi selamat pada pemenang.
Kupikir setelah itu aku akan bisa bertemu dengan sang putri, tapi ternyata putri masih mengikuti satu perlombaan lagi, yaitu memanah.
Walau belum sempat istirahat, penampilan putri sangat mengagumkan. Aku memandanginya dengan kagum, tapi masih belum bisa melihat wajah dibalik jaring cocktail hat-nya.
Setelah harus puas dengan juara dua di pertandingan balap kuda, kali ini putri benar-benar puas dengan predikat juara pertama. Seluruh hadirin bersorak gembira.
“Hidup Putri Sakura!” ucap salah seorang dengan keras.
“Hidup!” jawab yang lain.
Eh? Apa aku tidak salah dengar tadi? Namanya siapa? Putri Sakura?
Dengan langkah sedikit gagah yang sangat tidak sesuai dengan gaun cantiknya, sang putri melangkah mendekat.
Dan terus mendekat.
Sampai akhirnya aku bisa melihat samar wajahnya.
Dan aku terkesiap.
Ya, dia Putri Sakura. Yang selama ini menemaniku dari hari pertama aku menjejakkan kakiku di negeri ini. Yang menyambut kedatangan aku dan kakak dari gerbang utama. Yang tidak bisa berangkat bersama kami tadi pagi. Yang terlalu gagah untuk ukuran wanita. Yang menjadi juara 2 lomba balap kuda bahkan juara pertama dalam lomba memanah. Yang sedang berjalan ke arah kami.
“Sakura…” pekikku dengan suara tercekat setelah ia berdiri tepat di hadapanku sambil tersenyum.
“Ya, ini aku. Akulah yang selama ini kau tunggu.” Jawabnya.
“Tapi, kenapa? Kenapa kau berbohong?” tanyaku.
“Berbohong? Seperti apa kalimat persisnya yang menunjukkan kalau aku berbohong? Apa kau pernah bertanya padaku apakah aku putri atau tidak dan kujawab tidak?”
“Bukan, bukan begitu. Kau bilang putri akan datang saat festival.”
“Apa aku berbohong? Aku kan hanya bilang putri akan datang saat festival, itu bisa berarti sebelumnya pun putri sudah datang, dan saat festival putri juga datang.”
“Tapi –“ aku tak tahu harus bilang apa. Ya, dia memang benar, tapi entah kenapa dadaku rasanya sesak. Aku tetap merasa dibohongi.
Putri yang selama ini kubayangkan yang buruk-buruk ternyata adalah putri yang luar biasa. Yang selama ini membuatku khawatir ternyata adalah yang selalu menenangkanku di sini. Yang selama ini membuatku kesal karena akan segera merebut kakakku ternyata adalah teman yang kusayangi.
“Maafkan aku, Hinata.” Ucapnya sambil memelukku.
Aku hanya mematung. Tak membalas pelukannya. Aku sangat bingung.
“Hahaha.” Tiba-tiba kakakku tertawa.
“Ada apa? Oh ya, aku juga minta maaf padamu karena juga tak memberitahumu.” Ujar Sakura setelah melepas pelukannya padaku.
“Kau benar-benar…” ucap kakakku menggantung, sepertinya berusaha memikirkan kata yang tepat.
“Unik.” Lanjutnya. Setuju dengan ucapan orang tua Putri Sakura.
Sakura hanya tersenyum lebar.
Setelah menanam tanaman Azalea, kami kembali ke istana. Putri Sakura berada di satu kereta kuda yang sama denganku. Tangan kirinya tak lepas dari menggenggam tanganku. Sementara tangan yang lain sibuk melambai-lambai pada para warga yang tak henti memandang iring-iringan kereta kuda kerajaan.
Aku mengikutinya, melambaikan tanganku. Tapi gerakan kami sangat berbeda. Aku dengan caraku seperti biasa, melambai dengan anggun sambil tersenyum manis. Sedangkan Sakura melambai ceria dengan cengiran lebar, sesekali berteriak memanggil nama orang yang dikenalnya.
Apa seperti ini putri di kerajaan Azalea?
Sikapnya di dalam istana pun tidak berubah seperti Sakura yang ku kenal sebelumnya. Lebih suka bepergian dengan kemeja dan celana panjang kesukaannya, sementara untuk mengenakan gaun harus dipaksa-paksa. Cara berjalannya masih sangat gagah, cara bicaranya sangat blak-blakan, pokoknya sama sekali tidak anggun. Bahkan kalau di negeriku dulu, wanita seperti itu pasti tidak layak menjadi putri. Tapi sepertinya di negeri ini berbeda. Raja dan Ratu sangat menyayanginya, walaupun sesekali memarahi tapi tidak pernah mempan. Rakyat pun sangat mencintainya. Rasanya tidak ada jarak antara dirinya dengan rakyat pada umumnya. Pantas saja aku bisa terkecoh saat itu.
“Jadi, bagaimana, Sasuke? Apa tanggapanmu mengenai putriku?” Tanya paman pada suatu sore, saat kami sedang menonton putri berlatih menunggang kuda agar semakin baik. Sebelumnya kakak juga ikut menunggang kuda dan jauh lebih unggul daripada dirinya, lalu kakak istirahat sebentar.
“Hmm, Putri Sakura sangat menarik.” Jawab kakakku sambil menarik sudut bibirnya.
“Benarkah? Jadi, mengenai tawaranku waktu itu, apa kau sudah mendapat jawabannya?” Tanya Raja Kakashi.
“Dari diriku sendiri sudah, tapi tentu aku akan bertanya pada adikku dulu, Yang Mulia. Dialah satu-satunya keluarga yang aku punya.” Jawab kakak sambil menoleh padaku. Aku langsung salah tingkah.
“Hinata, kau sudah tahu tawaran yang paman ajukan pada kakakmu?” Tanya Raja Kakashi.
“Sudah.” Jawabku setelah sebelumnya susah payah menelan air liurku.
“Jadi, bagaimana jawabanmu?” Tanya Raja. Ratu juga memandangiku dengan penasaran.
“Eh, untuk masalah itu… aku pikir…”
zzz



To Be Continue Part 5...

Next : Reborn [Part 5]
Tag : ,

Reborn [Part 3]

By : Unknown

Chapter 3
Sore hari, pulang sekolah. Aku berjalan dengan langkah lambat seperti biasa menyusuri koridor sekolah. Walaupun sudah sangat sore, aku tidak berusaha mempercepat langkahku karena Sasuke sedang ada keperluan. Aku tidak mau terlalu lama menunggunya di tempat kami biasanya bertemu untuk pulang bersama, di sebuah kedai es krim milik paman Jiraiya, tetangga kami. Bukan karena aku tidak suka berlama-lama di kedai paman yang poligami itu (tentu karena aku yakin ia tidak mungkin merayuku), tetapi paman Jiraiya sangat baik sehingga selalu menyodorkan es krim tambahan setelah aku menghabiskan pesananku.
Melewati ruangan ekskul, aku mendengar suara teriakan seorang gadis. Aku melongok melalui jendela untuk mencari tahu.
Sakura. Ia sedang berlatih taekwondo. Sepertinya ia sedang privat atau semacamnya, karena hanya ada dia dan pelatihnya di ruangan itu. Mungkin ia sedang berlatih intensif untuk menghadapi pertandingan atau sejenisnya. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas kemampuannya dalam dunia bela diri itu sudah tak diragukan lagi. Teriakannya barusan terlontar saat ia melakukan tendangan. Pelatihnya tersenyum sumringah, puas atas kemampuan anak didiknya.
Tiba-tiba aku melihat bayangan diriku samar di kaca jendela tempat aku mengintip latihan Sakura. Begitu beda. Aku dan dirinya sangat jauh berbeda. Aku yang lemah dan kikuk, ia yang kuat dan tangguh. Tetapi, walaupun menjadi ‘most wanted girl’ di sekolah, aku tak pernah mendengarnya memiliki kekasih. Mungkin ia orang yang pemilih. Yeah, wajar saja baginya. Ups! Mengapa aku jadi senang berspekulasi tentangnya begini?
Aku sedang ingin meneruskan kembali langkahku yang tadi sempat terhenti saat kudengar seseorang memanggilku.
“Hei, Hinata!” sapanya riang.
Aku menoleh dan mendapati Naruto sedang setengah berlari ke arahku.
“Kau belum pulang?” tanyanya.
Aku menggeleng. ‘Kalau aku sudah pulang, lalu dengan siapa kau bicara sekarang?’ batinku.
“Mau pulang denganku?” tawarnya.
“Tidak perlu, terima kasih. Aku ingin mampir dulu ke suatu tempat.” Tolakku halus.
“Kalau boleh aku tahu, kemana?” tanyanya penasaran.
‘Ugh, ingin tahu sekali sih orang ini!’ rutukku dalam hati. Tapi aku tetap menjawabnya, “Kedai es krim milik paman Jiraiya.”
“Oh! Kau sering ke tempat itu?” tanyanya terkejut campur senang.
“Hmm, yaa, lumayan sering.”
“Wah, aku tidak menyangka kau adalah pelanggan setia pamanku!” katanya semangat.
“Pamanmu? Jadi paman Jiraiya itu pamanmu?” tanyaku terkejut.
“Iya! Waah, kalau begitu, ayo kita ke sana! Kebetulan aku juga sedang ingin makan es krim gratis!” ajaknya sambil menarik tanganku.
“Ta –tapi…”
“Ayo, nanti kau kuberi diskon!”
zzz
Kincring! Sebuah lonceng berdenting saat pintu kedai dibuka. Naruto yang masih tak melepas tanganku menarikku masuk. Aku terpaksa mengikutinya, padahal aku sudah melihat Sasuke beranjak pulang di depan sekolah tadi. Tapi ia bersikap seolah-olah tak melihatku.
“Pamaan! Aku mau es krim cokelat istimewa!” teriaknya pada paman Jiraiya. Lalu menoleh padaku dan bertanya, “Kau mau apa, Hinata?”
“Aku… aku pesan yang biasa saja, Paman.” Jawabku langsung pada paman Jiraiya.
“Lho, Hinata, tumben kau ke sini bersama Naruto. Biasanya –“
“Ya, aku tadi bertemu dengan Naruto dan ia mengajakku kemari bersama.” Potongku.
“Benar. Dan nanti aku akan mengantarnya pulang.“ lanjut Naruto.
“Lho, tapi –“
“Dan sepertinya Naruto sudah tidak sabar ingin makan es krim. Dari tadi ia menarikku dengan cepat.” Potongku lagi.
Dipotong dua kali, paman Jiraiya memilih untuk tidak bicara lagi. Kuharap paman bisa mengerti maksudku, bukan malah sakit hati oleh sikapku ini.
“Hinata, kau biasanya ke sini bersama siapa?” Tanya Naruto.
“Hmm, sendiri saja.” Jawabku. Aku tidak bohong, aku memang biasanya sendiri ke sini, lalu bertemu dengan Sasuke dan kami pulang bersama.
“Kau biasanya memesan apa?”
“Seperti yang ku pesan sekarang. Lihat saja saat nanti datang.”
Tak lama kemudian pesanan kami datang. Kami menghabiskan es krim kami sambil mengobrol, atau lebih tepatnya dia berbicara, aku mendengarkan.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk.
Maaf, aku sudah di rumah. Kau harus pulang bersamanya.
Dari Sasuke. Aku mendengus kesal.
“Ada apa?”
“Hmm, tidak apa-apa.” Dustaku.
“Jadi, bagaimana, nanti jadi kan pulang bersamaku?” tawarnya lagi.
“Kurasa ya.” Jawabku akhirnya.
Senyum Naruto mengembang maksimal sebelum akhirnya ia bersorak senang.
“Kenapa?” tanyaku.
“Hmm, tidak apa-apa.” Jawabnya menirukan jawabanku tadi.
zzz
Esok paginya aku sengaja berangkat lebih awal untuk menghindari Sasuke. Aku sedang kesal padanya. Kenapa sih ia bersikeras ingin agar aku bersama Naruto? Yang kuinginkan kan dia!
Mendekati lampu merah, aku kembali gugup. Keringat dingin menerobos pori-pori dahiku. Tanganku mulai bergetar kecil.
Lampu hijau! Aku melangkahkan kakiku yang rasanya sangat kaku itu. Pasti aku tampak seperti robot rusak sekarang.
Kuning. Oh, tidak. Bahkan aku belum sampai setengah jalan! Kurasakan kakiku semakin berat, seakan tertarik magnet di dasar bumi.
Merah. Tepat di tengah-tengah jalan raya, mobil-mobil itu mendapat giliran untuk maju. Kepalaku mulai pusing. Aku merasa semuanya berputar.
Diin.. Diin..! Bunyi klakson mobil-mobil membuatku kepalaku semakin pening. Pandanganku seketika menjadi gelap. Aku menjambak sejumput rambutku, seakan kepalaku ingin pecah. Kupejamkan kedua mataku yang menjadi tak berfungsi itu.
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku yang oleng tak keruan ini ditangkap seseorang. Ia langsung membawaku ke seberang jalan.
Setelah beberapa saat berusaha menenangkan diri, aku membuka mataku.
Sepasang mata emerald jernih membalas tatapanku. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya.
“Yeah. Kurasa begitu. Terima kasih, Sakura.” Jawabku.
“Kupikir kau sebaiknya jangan meninggalkan Sasuke lagi.” Pesannya.
Aku terkejut. Mataku melebar.
“Kau –kau tahu darimana?” tanyaku heran.
Ia hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang sangaaat manis, dan juga membuat penasaran.
“Hati-hati, oke? Sebentar lagi Sasuke datang.” Ujarnya sambil menoleh ke seberang jalan. Sasuke berdiri di sana, sudah mau menyeberang.
Sakura kemudian pergi begitu saja.
Tak lama kemudian Sasuke datang. Dengan tatapan marah campur khawatir, ia memarahiku.
“Sudah berapa kali kukatakan?! Kau HARUS selalu berangkat bersamaku!” ucapnya dengan nada tinggi.
Aku menunduk dalam-dalam. “Maaf,” hanya itu yang dapat kukatakan.
Sepanjang sisa perjalanan ia benar-benar seperti bisu. Tak mau bicara padaku, tapi matanya selalu mengawasiku.
zzz
Pelajaran olah raga, pelajaran paling kubenci seumur hidupku.
Dengan gesit ia berlari kesana kemari, membalas pukulan shuttle cock lawan. Sesekali ia memberi kesempatan padaku, yang sebagian besar ku hancurkan kesempatan itu karena shuttle cock itu tidak mengarah ke tempat yang benar, atau bahkan tidak melampaui net. Tapi ia tak pernah berhenti menyemangatiku dan kembali memberiku kesempatan apabila skor kami masih aman.
Ia baik. Sangat baik dan bahkan terlalu baik. Tapi tidakkah ia menyadari bahwa ke-baik-annya membuatku benci? Aku benci, karena kesenjangan antara aku dengannya semakin jauh.
Ia mengibas-ngibaskan rambut pink sepinggangnya yang dikuncir ekor kuda. Kami menang lagi kali ini, dan itu menyelamatkan nilai pelajaran olah ragaku. Aku seharusnya berterima kasih padanya.
“Hinata, kau ada kemajuan! Itu bagus sekali!” ucapnya tulus.
Yeah, ia tidak salah. Aku memang bisa memukul raket dengan tepat satu kali lebih banyak daripada minggu lalu. Tapi tentu saja hal itu tidak lantas membuatku bahagia.
Aku mengangguk tipis seraya mengatakan, “Terima kasih.” Akhirnya bisa juga kukeluarkan kata itu.
Ia menenggak air minumnya lalu mengelap dagunya yang basah terkena tumpahannya saat meminum dengan terburu-buru tadi. Melihatku diam saja, ia mengacungkan botol minumnya.
“Kau mau?” tawarnya.
“Tidak, terima kasih.” Tolakku halus. Sebenarnya aku memang sangat haus, aku lupa membawa minuman dan sangat malas ke kantin.
“Sudahlah, aku tahu kau haus. Minumlah!” bujuknya sambil meletakkan botol minumnya ke tanganku.
Mau tidak mau aku menerimanya. Aku meneguk air segar yang langsung membasahi kerongkonganku.
“Ini, terima kasih,” ucapku sambil mengembalikan botol minumannya. Ia menerima dengan cengiran lebar.
“Kau marah padaku?” tanyanya menyelidik.
“Ha? Tidak.” Jawabku agak terkejut dengan pertanyaannya.
“Kupikir kau marah karena tadi aku jarang memberimu kesempatan. Maaf ya, bukannya aku mau main sendiri, tapi aku hanya ingin menyelamatkan nilai kita.” Urainya.
“Oh, aku tidak berpikir begitu. Aku malah senang kau jarang memberiku kesempatan, karena aku pasti akan lebih banyak menyia-nyiakannya.” Jawabku.
Kami terdiam. Ia mengelap keringatnya yang masih deras lalu mengipas-ngipaskan dirinya dengan buku.
“Err, Sakura, aku mau tanya.” Kataku tiba-tiba. Aku sendiri agak kaget mengapa aku berkata begitu. Aku hanya merasa aku ingin menanyakannya.
“Apa?” tanyanya. Matanya melebar penasaran.
“Itu… bagaimana… bagaimana kau bisa tahu aku sering berangkat bersama… dia?” Ucapku terbata. Aku tak ingin menyebutkan nama orang yang ku maksud, karena aku khawatir ada yang mendengar obrolan kami. Lagi pula Sakura sudah tahu siapa yang ku maksud.
“Oh… tentu saja aku tahu. Aku kan sering melihat kalian pulang-pergi.” Jawabnya santai.
“Lho, memang rumahmu di mana?” tanyaku heran. Arah rumahku dan Sasuke memang berbeda dengan rumah-rumah teman sekolahku pada umumnya. Aku dan Sasuke tinggal di daerah yang cukup sepi dan agak jauh, bahkan bisa dibilang cukup terpencil. Anak-anak tetanggaku biasanya bersekolah di sekolah yang terletak di dekat rumah kami, tapi aku dan Sasuke memilih sekolah yang berbeda. Teman sekolah kami hampir tidak ada yang tahu rumah kami, lagipula kami sama-sama pendiam dan tidak punya teman. Siapa yang akan peduli pada kami?
“Rumahku searah dengan kalian kok. Tapi tidak sejauh kalian. Hmm, lebih tepatnya di dekat lampu merah itu.” jawabnya.
zzz
Pelajaran sastra. Kelompok kami (aku, Sasuke, Sakura, Naruto, Chouji, Aya, Yuuri, Naomi, Maruko dan Hanawa) mendapat giliran tampil. Semua teman-teman dari kelompok lain sudah sangat penasaran bagaimana penampilan drama yang dibuat oleh penulis terkenal di sekolah, Uchiha Sasuke.
Setelah berganti baju, tiba-tiba saja perutku mendadak mulas. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Tanganku mulai bergetar.
“Hinata, ada apa?” tanya Sakura. Matanya menatapku khawatir. Aya, Yuuri, Naomi, dan Maruko yang sudah lebih dulu selesai sudah keluar dari tadi.
“Aku… kurasa aku demam panggung!” jawabku pelan sekali. Aku malu sekali mengakuinya.
“Tenanglah, Hinata. Semuanya akan baik-baik saja. Kau sudah sangat hebat saat latihan. Percayalah, kau juga pasti hebat saat tampil nanti!” ujarnya menenangkanku. Tangannya mengusap-usap punggungku lembut.
“Tapi… aku takut. Aku takut, Sakura! Bagaimana nanti kalau aku tiba-tiba gemetar hebat? Bagaimana nanti kalau aku salah? Bagaimana? Aku takut, Sakura! Semuanya menantikan penampilan kelompok kita! Bagaimana kalau aku menghancurkannya? Bagaimana –“
“Sshht…” potongnya sambil mengunci mulutku dengan telunjuknya.
Aku diam, tapi dalam hatiku tidak bisa diam.
“Dengarkan aku. Sekarang, tutup matamu!” perintahnya. Aku hanya bisa menuruti saja.
“Tarik napas dalam-dalam… tahan… hembuskan perlahan. Lakukan itu berulang kali sampai jantungmu berdetak dengan normal dan teratur.” Tambahnya. Lagi-lagi aku hanya bisa menurut.
“Berdoa dalam hati. Itu yang paling utama.” Instruksinya lagi.
‘Ya Tuhan, jangan biarkan aku mengacaukan semuanya. Aku tidak ingin mengecewakan siapapun, terutama Sasuke. Ya Tuhan, beri aku kekuatan. Amin.’
Aku mengangguk sebagai tanda doaku sudah selesai.
“Sekarang, dengarkan aku lagi. Kita sudah berlatih sebaik mungkin, dan kita akan menampilkannya sebaik mungkin.” Ucapnya meyakinkanku.
Aku mengangguk mantap.
“Baik, sekarang buka matamu.”
Aku membuka mata, disambut oleh mata hijau emerald jernihnya yang berkilauan.
“Bagaimana?” tanyanya.
“Jauh lebih baik. Terima kasih, Sakura.” Ucapku sungguh-sungguh.
Sakura tersenyum. Lagi-lagi senyumnya membuatku iri. Sangat manis dan, lebih dari itu, sangat tulus. Aku bisa melihat ketulusan terpancar dari dirinya. Sudah cantik di luar, cantik pula di dalam.
“Ayo bergegas, kita pasti sudah ditunggu.” Ajaknya. Kami bergegas keluar dari ruang ganti.
Ini pementasan drama pertama bagi kami. Sasuke sendiri sebelumnya hanya sering menulis naskah. Kemampuan akting kami benar-benar ingin dilihat sekarang.
Ceritanya sebenarnya sederhana. Apalagi bagianku, tidak sulit sama sekali. Aku hanya duduk terdiam di sebuah bangku, membaca surat dan berekspresi sesuai isi surat itu. Isi surat itu dibacakan dalam bentuk rekaman suara Sakura, yang berperan sebagai penulis surat itu. Sakura dan yang lain berakting sesuai isi surat itu, menggambarkan keadaan yang tertulis di surat tanpa dialog.
Kakak,
Maafkan aku, aku tahu kau pasti terkejut menerima surat ini.
Aku menampakkan ekspresi yang memang benar-benar terkejut.
Maafkan aku, dulu aku meninggalkanmu begitu saja. Aku benar-benar kalut dan takut saat itu. Perceraian orang tua kita saja sudah terasa mencekikku. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baik ayah maupun ibu tidak mau membawa kita bersamanya. Aku merasa sangat sakit. Perasaan tertolak dan terbuang begitu menguasaiku, tak peduli seberapa besar mereka berpura-pura ingin mengajak kita tapi mereka tidak bisa. Aku tahu, keberadaan kita sudah tidak lagi diharapkan.
Sasuke yang berperan sebagai ayahku dan Sakura bertengkar dengan Yuuri yang berperan sebagai ibu kami. Sasuke membawa koper besar dan beranjak pergi, lalu Sakura menariknya, menatapnya dengan tatapan memohon. Sasuke menggeleng perlahan sambil mengusap kepalanya lembut. Lalu Sasuke benar-benar pergi. Sakura menghampiri Yuuri, menggenggam tangannya dan menatapnya dengan tatapan sama seperti saat ia menatap Sasuke tadi. Tapi Yuuri juga menggeleng, ia memeluk Sakura dan menepuk-nepuk punggungnya lembut. Aya yang berperan sebagai aku waktu kecil hanya terdiam.
Maafkan aku, aku tidak menurutimu yang mengajakku untuk tinggal bersama nenek dan memulai kehidupan baru di luar kota. Aku begitu egois saat itu, yang kuinginkan hanyalah melupakan bahwa aku punya keluarga agar aku bisa melupakan rasa sakit itu. Aku pergi tanpa tujuan seorang diri, tanpa pemberitahuan apapun.
Aya menarik sebuah koper besar dan menjinjing sebuah tas besar. Di punggungnya juga tergendong sebuah ransel. Ia menyerahkan tas yang dijinjingnya pada Sakura. Tapi Sakura lari meninggalkan Aya. Aya mencoba mengejarnya tapi kepayahan dengan beban yang dibawanya.
Maafkan aku, aku membuatmu benar-benar panik saat itu. Kepergianku secara mendadak membuatmu menunda kepergianmu beberapa minggu, tapi aku tak kunjung ditemukan. Kau menitipkan alamat rumah nenek pada salah satu tetangga kita.
Aya berlari dari salah satu sisi panggung ke sisi lain, lalu kembali lagi dengan ekspresi sama: panik dan frustasi. Lalu dengan muram Aya menyerahkan sebuah kertas pada Hanawa.
Maafkan aku, aku benar-benar bukan adik yang baik. Aku hidup di jalanan dan berteman dengan orang-orang yang menurut sebagian besar orang bukanlah orang baik-baik. Tapi menurutku mereka semua baik, mungkin karena aku sudah tidak lagi baik-baik. Mereka membantuku melupakan rasa sakitku. Yeah, walaupun hanya sementara, tapi setidaknya rasa sakit yang tertancap kuat dalam diriku bisa menjadi tak terasa saat aku tidak sadar.
Sakura berjalan sendirian dari sisi panggung sebelah kiri, di arah berlawanan ada Naruto, Chouji, Naomi, dan Maruko. Mereka berempat yang berpenampilan berantakan itu sedang tertawa-tawa. Lalu Naruto menghampiri Sakura dan mengajaknya bergabung. Awalnya Sakura nampak canggung, tapi lama-lama terbiasa. Chouji menawarkan sebuah bungkusan pada Sakura. Sakura menerima dan menghirupnya tanpa ragu sampai hilang kesadaran. Mereka berlima pesta narkoba bersama.
Aku menggeleng-geleng tak percaya.
Maafkan aku, aku mengeluh dan mengerang setiap rasa itu datang. Rasa dimana aku benar-benar membutuhkan penenangku. Rasa yang begitu sakit, seperti sekarat tapi tak kunjung mati. Rasa yang sama hebatnya dengan rasa sakit dalam hatiku selama ini. Tapi kali ini, fisikku lah yang luar biasa kesakitan. Lengkap sudah penderitaanku. Jiwa ragaku sudah sakit dan benar-benar hancur.
Sakura di tengah-tengah panggung sendirian. Ia meringkuk dan menggigil hebat. Aktingnya di bagian ini sangat luar biasa, ia betul-betul menjiwai karakter yang dimainkannya sebagai orang yang sedang sakau. Ia benar-benar mampu menunjukkan kesakitan yang luar biasa. Bibirnya bergetar meringis, begitu miris dan membuat yang melihatnya seperti teriris-iris.
Aku memegang dadaku dan mencengkeram bajuku, ikut merasakan perih yang dirasakan Sakura.
Maafkan aku, aku hanya bisa tersenyum dan mengucapkan selamat dari jarak jauh padamu saat kulihat kau kini sudah menjadi orang hebat.
Sakura memandang koran yang dipegangnya dengan mata berkaca-kaca sambil tersenyum.
Aku mengangguk-angguk kecil.
Maafkan aku, yang menyesali pilihanku yang salah.
Sakura menulis sesuatu di selembar kertas, lalu menelepon seseorang.
Maafkan aku, aku tahu kau masih selalu berusaha mencariku, tapi kau tidak akan bisa menemukanku.
Sakura memasukkan banyak pil ke dalam mulutnya. Kemudian menyuntikkan sesuatu ke lengan kirinya. Setelah itu ia menghirup serbuk yang sudah dipersiapkannya. Dalam waktu singkat, tubuhnya mengejang-ngejang, buih putih keluar dari mulutnya. Matanya membeliak seakan mau meloncat. Tiba-tiba Naruto datang dan dengan terkejut ia hampiri Sakura. Sakura menyerahkan surat yang tadi ditulisnya pada lelaki itu sebelum akhirnya mengejang semakin hebat yang dengan tiba-tiba langsung berhenti. Tanpa ada gerakan apa-apa lagi.
Aku menutup mulutku dengan telapak tangan dan menggeleng-geleng tak percaya sebelum merosot dari bangku yang kududuki.
zzz
Guru dan teman-temanku yang lain langsung bertepuk tangan begitu penampilan kami berakhir. Kami bersepuluh berbaris sambil berpegangan tangan lalu menundukkan badan. Suara tepukan tangan penonton semakin meriah, bahkan tidak sedikit yang memberikan standing applause. Sakura yang berdiri di sebelahku mengeratkan genggaman tangannya, seolah berkata, ‘Benar, kan, semuanya baik-baik saja?’
Kami tidak dapat menghentikan senyuman kami. Rasanya lega sekali melihat semuanya berakhir dengan tidak mengecewakan.
zzz
“Itu tadi keren sekali! Kau lihat, banyak yang memberikan standing applause pada kita!” pekik Naruto setelah kami selesai beres-beres di backstage.
“Benar! Akhirnya usaha kita tidak sia-sia!” sahut Chouji.
“Yeah, lega sekali rasanya!” Ucap Aya sambil menghembuskan napas lega.
“Aku jadi ingin bermain drama lagi!” Kata Yuuri.
“Bagaimana aktingku tadi? Apa aku cocok jadi artis?” Tanya Naomi.
“Aktingmu bagus kok. Kalau aku bagaimana?” Tanya Maruko balik.
“Kau juga bagus kok. Ayo kita ikut casting saja kalau begitu!” Ajak Naomi.
“Ya! Dan kita akan terkenal!” Jawab Maruko.
“Dan banyak uang!” Tambah Hanawa.
“Dan punya banyak penggemar!” Ucap Yuuri.
“Kyaa! Aku tidak bisa membayangkannya!” Teriak Naomi histeris.
Teman-teman sekelompokku asyik berbincang-bincang dengan semangat menggebu-gebu. Sepertinya mereka ketagihan bermain drama. Aku hanya terdiam sambil sesekali tersenyum kecil mendengar celotehan mereka. Sasuke diam tanpa ekspresi, tapi bisa kulihat matanya menunjukkan sorot puas. Sakura tertawa-tawa kecil.
Lalu Sasuke menoleh pada gadis yang tengah tertawa-tawa itu, menatapnya dengan tatapan yang membuat darahku serasa mendidih.
“Sakura, kau tadi luar biasa.” ucapnya pelan. Hanya Sakura, aku, dan ia sendiri yang mendengarnya.
Sakura menoleh ke arahnya, lalu menjawab, “Kau juga hebat. Aku selalu mengagumi kemampuanmu dalam menulis.” Ucapnya pelan, lalu Sakura kembali mengarahkan pandangannya ke teman-teman kami yang masih larut dalam perasaan gembira.
“Dan aku selalu mengagumi kemampuanmu membuat semua orang terkagum-kagum, termasuk aku.” Balas Sasuke dengan sangaaaaat pelan. Sakura tidak menanggapinya, entah karena tak mendengar atau memang pura-pura tak mendengarnya.
zzz


 To Be Continue..

Next : Reborn [Part 4]
Tag : ,

- Copyright © Star Imagination - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -