Archive for February 2015
Reborn [Part 6]
By : UnknownFan fiction Anime Naruto |
Ha! Sakura
memang buta sekali soal musik. Bisa dibilang di situlah ia tidak bisa
tampak mengagumkan. Entah mengapa hal itu membuatku senang dan aku
menyeringai dalam hati.
Part 6
“Confessions”
“Baik, anak-anak. Setelah bab lalu
kita mempelajari tentang seni peran, sekarang kita memasuki cabang seni
yang lain, yaitu seni musik. Dan setelah melihat bakat-bakat besar pada
diri kalian, saya menjadi optimis untuk mengadakan audisi untuk kalian.
Sebenarnya ini merupakan tes biasa, untuk mengambil nilai kalian. Tapi,
tes ini bisa juga disebut tidak biasa, karena kali ini saya sekaligus
mencari siapa di antara kalian yang akan tampil pada perayaan ulang
tahun sekolah ini yang akan diadakan 3 minggu lagi. Minggu depan tes dan
audisi dari saya, dua minggu kemudian orang-orang yang lolos audisi
akan tampil pada perayaan bergengsi di sekolah itu. Jadi, kalian harus
berusaha semaksimal mungkin untuk penilaian pekan depan.” Ujar Ms.
Kurenai Yuhi, guru kesenian kami.
Semua murid di kelasku melongo
mendengarnya. Tidak biasanya penilaian praktek menjadi seserius ini.
Memang, biasanya yang tampil di acara ulang tahun sekolah adalah
anak-anak yang nilai-nilai keseniannya bagus-bagus. Tapi tidak hanya
dari seni musik, karena biasanya ada juga pertunjukan drama, pembacaan
puisi, dan sebagainya.
“Kalian mungkin heran mengapa saya lebih
menekankan pada seni musik. Well, itu karena… pada malam perayaan ulang
tahun sekolah tahun ini, kita kedatangan seorang tamu istimewa. Beliau
adalah Mr. Zetsu, salah satu pencari bakat musik ternama dari Konoha
Music School. Jadi, saya ingin beliau menemukan bakat di antara kalian.
Dan orang yang beruntung itu akan masuk Konoha Music School tanpa tes
dan mendapatkan beasiswa penuh!” lanjut Ms. Kurenai semangat.
Dalam sekejap ruangan menjadi riuh oleh
siswa-siwi yang terperanjat dan berbisik-bisik satu sama lain. Setiap
tahun, sekolahku memang selalu merayakan ulang tahunnya. Dan siapa pun
yang bisa tampil malam hari itu adalah orang yang beruntung, karena
popularitasnya akan menanjak drastis. Event ini bahkan jauh lebih ‘wah’
daripada pertunjukan drama yang diadakan beberapa waktu lalu, karena
pertunjukan itu hanya bagian dari pelajaran kesenian, tidak semua warga
sekolah menontonnya, bahkan kepala sekolah tidak hadir. Tetapi beda
dengan acara ulang tahun sekolah. Mulai dari kepala sekolah, dewan guru,
seluruh siswa, bahkan para orang tua murid hadir pada acara itu.
Tapi kami benar-benar tidak menyangka
tahun ini ada yang berbeda. Selain popularitas, hal yang juga diincar
oleh siswa-siswi tentunya kesempatan masuk Konoha Music School tanpa
tes, dengan beasiswa penuh pula! Jadi, bisa kukatakan, tidak hanya murid
yang gila popularitas yang menginginkannya, tetapi juga mereka yang
terobsesi masuk Konoha Music School, mereka yang ingin beasiswa, mereka
yang ingin memiliki masa depan cerah melalui sekolah musik ternama itu.
Intinya, semua murid berlomba-lomba untuk memenangkan audisi!
zzz
“Hinata, kau tampak bersemangat sekali.
Ada apa?” Tanya Sakura saat kami pulang sekolah bersama. Hari ini Sakura
tidak ada jadwal les atau latihan taekwondo.
“Ah, tidak juga. Aku hanya ingat perkataan Ms. Kurenai tadi.”
“Oh, audisi itu. Ya, semua orang
tampaknya benar-benar mempersiapkan diri sebaik mungkin. Kau juga harus
begitu, Hinata. Suaramu kan sangat bagus.” Kata Sakura.
“Kau tampaknya tidak terlalu tertarik dengan audisi ini.” Ujar Sasuke pada Sakura dengan heran.
“Tertarik? Well, siapa yang tidak ingin?
Tapi, aku tahu diri. Kemampuan bermusikku nol besar. Jadi persiapanku
hanya sebatas untuk penilaian, agar nilaiku tidak sangat hancur. Sama
sekali tidak berpikiran untuk lolos audisi.” Sahut Sakura muram. Baru
kali ini aku melihatnya begitu pesimis.
“Kau jangan pesimis begitu, apa kau percaya keajaiban?” tanyaku pada Sakura.
Sakura mengangguk, “Aku percaya kehendak
Tuhan, tapi aku tidak bisa terlalu mengharapkan sesuatu yang memang di
luar kemampuanku. Karena mungkin memang bukan di situ jalanku. Aku tidak
mau bergantung pada keajaiban.”
Aku terdiam. Aku memang ingin
‘mengalahkan’ Sakura, dan akan lebih mudah bila Sakura memang tidak
berniat untuk menampilkan semaksimal mungkin, tapi aku ingin
‘mengalahkannya’ dengan lebih terhormat. Aku ingin Sakura lebih
bersemangat untuk tampil maksimal dan aku bisa jauh lebih bagus daripada
dirinya. Itu persaingan yang kuinginkan. Bukan menang dari orang yang
memang tidak ingin memenangkannya.
“Seperti apapun penampilanmu minggu
depan, lakukan yang terbaik. Usahakan yang terbaik. Kita tidak tahu apa
yang direncanakan Tuhan untukmu, yang bisa kau lakukan hanyalah berusaha
semaksimal mungkin. Masih ada waktu untuk berlatih. Ingat! Semua murid
berambisi untuk lolos audisi, jadi bisa kau bayangkan seperti apa usaha
mereka. Bila kau hanya menargetkan nilai yang tidak hancur –bahkan kau
tidak mengharapkan nilai bagus-, usahamu pasti jauh di bawah mereka
semua. Apalagi kau bilang kau sama sekali nol dalam bermusik. Yang ada
pasti hasilnya penampilanmu sangat amat buruk, karena penampilan yang
mungkin di saat tidak ada event khusus seperti ini merupakan penampilan
standar, akan menjadi sangat buruk di antara penampilan-penampilan lain
yang istimewa. Bisa diibaratkan bebek standar di antara bebek-bebek akan
tampak seperti itik buruk rupa di antara angsa-angsa rupawan.” Wejang
Sasuke panjang lebar. Aku belum pernah mendengarnya bicara sepanjang
ini.
“Sasuke benar sekali, Sakura.
Bersemangatlah seperti biasanya. Kita bisa berlatih bersama-sama.”
Dukungku tulus. Well, seperti yang kukatakan tadi, aku ingin Sakura
bersungguh-sungguh agar aku bersemangat menjalani ‘kompetisi’ ini.
zzz
Setelah seminggu penuh aku, Sakura, dan
Sasuke berlatih bersama (aku bernyanyi, Sakura bermain keyboard, dan
Sasuke bermain gitar), kami siap untuk penilaian sekaligus audisi itu.
Walaupun berlatih bersama, tetapi kami tampil sendiri-sendiri, karena Ms
Kurenai ingin melihat kemampuan individu kami.
Sakura tampak memejamkan mata sambil
menghela napas dalam-dalam sebelum mulai menekan tuts-tuts keyboard. Aku
jadi teringat tips yang diberikan Sakura itu beberapa waktu lalu.
Memang sangat membantu. Aku ikut berdoa dalam hati. Aku ingin Sakura
tampil dengan baik.
Dan benar saja, penampilan Sakura bisa
dibilang cukup baik. Bahkan sangat baik untuk orang yang tidak memiliki
kemampuan dasar sepertinya. Gemblenganku dan Sasuke rupanya membuahkan
hasil. Aku tersenyum puas.
Setelah Haruno Sakura, selanjutnya adalah
aku, Hyuuga Hinata. Dengan sedikit gugup aku maju menghadap Ms Kurenai.
Aku melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Sakura tadi untuk
menenangkan diri.
“There’s a song that’s inside of my soul
It’s the one that I’ve tried to write over and over again
I’m awake in the infinite cold
But You sing to me over and over and over again…”
Aku menyanyikan lagu Mandy Moore yang
berjudul Only Hope, sebuah lagu dari salah satu film kesukaanku, A Walk
to Remember. Membayangkan menjadi Jamie Sullivan dalam film itu, aku
menjadi sangat menghayatinya. Seolah-olah aku memang benar-benar Jamie
yang sedang tampil dalam drama musikal musim semi, Tommy “The Guns”,
menjadi Alicia, penyanyi klub yang misterius.
“So I lay my head back down
And I lift my hands and pray
To be only Yours
I pray to be only Yours
I pray to be only Yours
I know now You’re my only hope.”
Tepuk tangan dari teman-teman
mengembalikanku pada kenyataan, menjadi Hyuuga Hinata yang sedang tampil
untuk penilaian dan audisi menghebohkan itu.
Saat berjalan kembali ke tempatku semula,
aku melihat tatapan mata Ms Kurenai berbinar-binar, seperti orang yang
menemukan apa yang dicari-carinya sekian lama. Aku tersenyum dalam hati.
Semoga saja aku tidak terburu berbangga diri.
Setelah aku duduk di tempatku semula,
puluhan pasang mata teman-temanku masih saja mengikutiku walaupun sudah
ada temanku yang maju. Mereka tak henti-hentinya menatapku kagum, sampai
aku jadi risih dibuatnya.
“Super!” kata Naruto yang langsung menghampiriku untuk memberiku selamat.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Untuk penampilanmu yang luar biasa itu.
Aku yakin kau akan tampil 2 minggu lagi di aula dengan ratusan pasang
mata menatap kagum padamu.”
“Jangan berlebihan. Kau bahkan belum
melihat semuanya, mungkin saja ada yang lebih bagus dariku.” Ujarku
merendah, walau dalam hati aku sama optimisnya dengan dia. Hanya saja
aku tak mau terburu merasa senang sebelum benar-benar memastikannya.
Setelah Naruto kembali ke tempat
duduknya, Sakura dan teman-temanku yang lain langsung berbisik-bisik
memanggilku untuk memberi ucapan selamat dan menyatakan keyakinan mereka
kalau aku pasti lolos, atau sekadar mengacungkan kedua ibu jari
tangannya.
Aku hanya tersenyum dan berterima kasih.
Tapi, mengapa Sasuke tidak termasuk di antara mereka?
Aku menoleh ke arahnya. Ku lihat ia
sedang memperhatikan temanku yang sedang tampil. Semua teman yang tampil
diperhatikan olehnya. Sama sekali tidak mengalihkan secuil pun
perhatiannya untuk sekadar menoleh dan tersenyum padaku sebagai ucapan
selamat.
‘Tenang, Hinata, mungkin ia hanya tidak mau gegabah seperti yang lain.’ Hiburku pada diriku sendiri.
zzz
“Hinata, Sasuke, kalian benar-benar luar
biasa, kalian terpilih untuk tampil pada perayaan ulang tahun sekolah.
Bayangkan, dalam waktu seminggu di saat yang lain sibuk berlatih
masing-masing, kalian justru sibuk mengajari aku. Tapi kalian bisa
tampil luar biasa sehingga mengalahkan mereka. Aku yakin, kalau kalian
memaksimalkan waktu 2 minggu ini untuk berlatih intensif, kalian akan
mendapatkan tiket emas itu. Aku doakan kalian dan aku dukung kalian
sepenuhnya!” ujar Sakura padaku dan Sasuke sepulang sekolah.
Ya, yang terpilih adalah aku dan Sasuke.
Sasuke tadi menampilkan permainan gitar yang sangat luar biasa. Jemari
tangannya dengan lincah memainkan senar-senar gitar sehingga
menghasilkan nada-nada rumit yang indah. Sasuke juga mendapat perlakuan
sepertiku dari teman-teman. Dan aku tidak mengucapkan selamat padanya
seperti halnya ia tidak mengucapkan selamat padaku.
Ms. Kurenai tadi berpesan pada kami untuk
menyiapkan masing-masing dua buah penampilan, satu solo dan satu lagi
kami tampil bersama. Jadi itu artinya selama 2 minggu ini aku akan
banyak menghabiskan waktu dengan Sasuke.
Aku menghela napas lega. Akhirnya aku
mendapatkan Sasuke-ku kembali. Dan Sakura sementara ini akan menyingkir
dari kami untuk membiarkan kami berkonsentrasi latihan. Hanya
pulang-pergi bersama kami. Tidak ada berlatih bertiga seperti seminggu
yang lalu. Fiuuh, ternyata keputusanku untuk mengorbankan seminggu
‘membagi Sasuke’ dengannya berbuah manis untukku.
zzz
Kupikir, aku akan benar-benar bisa ‘mendapatkan kembali’ Sasuke-ku. Tapi ternyata aku salah.
Sudah seminggu lebih berlalu dari waktu
dua minggu intensifku dan Sasuke. Tapi Sasuke masih tidak seperti
Sasuke-ku yang dulu. Bahkan seminggu ini tidak bisa disebut intensif
karena intensitas pertemuan kami lebih jarang daripada saat kami latihan
bertiga bersama Sakura. Ia selalu beralasan kalau kami sebaiknya fokus
dulu pada penampilan solo kami, setelah itu kami baru akan berlatih
bersama secara intensif pada minggu kedua. Tapi kenyataannya, sudah 2
hari dari minggu kedua tidak ada perubahan apapun dalam intensitas
pertemuan kami.
“Sasuke, ini sudah minggu kedua. Mengapa
latihan bersama kita tetap 2 jam per hari? Saat kita berlatih bersama
Sakura saja kita menghabiskan waktu 4 jam setiap harinya.” Protesku
halus.
“Hinata, dengarkan aku. Kau, aku, dan
Sakura itu berbeda. Sakura tentu membutuhkan waktu yang banyak untuk
meningkatkan kemampuannya yang sangat payah itu. Kalau aku, lebih bisa
berkonsentrasi latihan seorang diri. Sedangkan kau, bakatmu sudah sangat
gemilang, tanpa latihan intensif pun, hanya berlatih biasa, kau bisa
menampilkannya dengan maksimal. Jadi, latihan yang efektif untuk kita
adalah, aku berlatih sendiri dulu sampai kemampuanku memadai, begitu
pula denganmu, walaupun kau tidak perlu berusaha sekeras aku dengan
kemampuan istimewamu itu. Lalu, bila kemampuanku sudah memadai untuk
bisa tampil denganmu, kita tinggal latihan bersama sekaligus gladi
bersih. Jadi setiap hari selama 2 jam itu aku hanya menyesuaikan
denganmu agar penampilan kita tetap kompak dan harmonis. Selebihnya kita
berlatih sendiri-sendiri agar aku bisa lebih konsentrasi sampai gladi
bersih.”
“Hah, aku tahu kau hanya mengada-ada
alasannya, Sasuke. Bagaimana mungkin kita bisa tampil kompak dan
harmonis dengan latihan 2 jam per hari?” ujarku kesal.
“Mengapa tidak? Tidakkah kau lihat latihan kita selama ini baik-baik saja?”
“Kenapa kau begitu egois??! Kau bisa
berkonsentrasi latihan seorang diri, jadi memutuskan kita lebih banyak
berlatih sendiri. Mengapa tidak mempedulikan aku? Kau tidak tahu kan
kalau aku hampir tidak pernah berlatih sendiri selama ini?? Aku hanya
berlatih saat bersamamu. Selebihnya, aku tidak bisa berlatih!! Lupakah
kau pada pentingnya chemistry pada penampilan kita?? Memangnya
apa yang membuat penampilanku begitu istimewa sampai terpilih kalau
bukan karena penjiwaanku yang mengalahkan teman-teman bersuara merdu
lainnya? Kau pikir penjiwaanku bisa lahir begitu saja, chemistry
kita bisa terjalin bergitu saja, tanpa adanya sesuatu yang
memperkuatnya seperti intensitas pertemuan yang tinggi???” teriakku
dengan penuh emosi. Dapat kurasakan darahku menjalar ke kepala sampai
membuat wajahku panas, dan pastinya wajahku sudah benar-benar merah
karena amarah.
Sasuke mematung sesaat. Terkejut atas
ledakan emosiku barusan. Setelah beberapa detik kami sama-sama diam,
akhirnya ia berkata,”Bukankah selama belasan tahun ini kita banyak
menghabiskan waktu bersama? Lagipula, kulihat selama kita berlatih ini,
kau sudah mendapatkan feelnya. Aku bisa merasakannya setiap kau menyanyikannya.” ujarnya hati-hati, mungkin takut aku kembali meledak-ledak.
Aku tertawa miris. Cukup lama sampai tawa
palsu itu berubah menjadi lelehan air mata. Sasuke menatapku bingung.
Mungkin yang membuatnya bingung adalah tadi aku meledak-ledak dan
sekarang menangis. Haah, mana mungkin aku sanggup marah setelah energiku
terkuras habis tadi? Amarahku hanya bisa tertuang lewat air mata
sekarang.
“Sasuke… Sasuke…. Begitu bebalkah
perasaanmu akibat kejeniusan pikiranmu? Begitu kebaskah hatimu sampai
tidak merasakannya? Atau, apa kau memang tidak pernah mempedulikan aku
–maksudku, perasaanku?”
Sasuke diam, menungguku melanjutkan perkataanku untuk membuatnya mengerti apa maksud ucapanku ini.
“Aku menyukaimu.” Lanjutku. Singkat dan sangat jelas. Menjelaskan semuanya.
Samar kulihat tubuhnya mengejang.
“Aku menyukaimu. Aku mencintaimu. Aku
menginginkanmu. Hanya untukku. Aku tidak suka perhatianmu selama ini
padaku terbagi pada Sakura, juga pada siapapun. Aku ingin menghabiskan
banyak waktu denganmu, seperti selama belasan tahun ini, yang mulai
berkurang semenjak kita masuk SMA, dan jauh lebih berkurang semenjak
hadirnya Sakura di antara kita. Aku ingin kita bisa tampil dengan sangat
memukau dengan chemistry yang sama-sama kuat, bukan hanya
penghayatanku yang benar-benar menjiwai penampilan kita, tetapi juga
penghayatanmu yang nyata kepadaku. Aku ingin kita bisa bersama-sama –“
“Cukup, Hinata.” Potong Sasuke. Ia langsung membalikkan badannya memunggungiku.
Air mataku terjun semakin deras, tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya pergi dariku setelah pengakuanku ini.
Tapi ia tidak pergi. Ia masih terdiam di tempatnya.
“Itulah, Hinata. Kau ingin kita semakin
sering bertemu karena perasaanmu padaku. Aku pun ingin mengurangi waktu
pertemuan kita karena alasan yang sama. Kau salah bila mengira aku tidak
peduli dengan perasaanmu. Justru karena aku tahu, aku memahami
perasaanmu, aku berbuat demikian. Aku tidak ingin melukaimu karena aku
tidak bisa membalas perasaanmu. Aku –“
“Cukup. Oke. Intinya, kau tidak
mencintaiku. Sudah jelas, aku sudah mengerti. Tidak usah diteruskan. Kau
pasti lebih menyukai gadis yang pandai memasak, menjahit, tapi juga
pandai bela diri.” Kali ini aku yang menghentikan ucapannya. Aku tidak
sanggup mendengar kelanjutan kata-katanya. Jadi lebih baik aku yang
mengucapkannya.
“Bukan begitu, Hinata. Sama sekali bukan karena Sakura.” Bantah Sasuke seraya membalikkan badannya lagi, menghadap ke arahku.
“Lalu karena apa?”
“Tidakkah kau melihat jurang besar di
antara kita? Kita memiliki perbedaan yang terlalu besar, sehingga kita
tidak dapat bersatu.”
“Apa maksudmu? Bukankah perbedaan itu ada agar kita saling melengkapi?”
“Dalam beberapa hal, ya. Tapi dalam hal
ini, sama sekali tidak. Karena ini menyangkut hidup mati kita.
Menyangkut jalan hidup dan tujuan akhir kita, juga apa yang menjadi
pegangan dalam hidup kita. Kita berbeda keyakinan.”
Aku merasa tertampar saat itu juga. Ya, mengapa aku tidak menyadarinya selama ini?
Keyakinan. Itu adalah sesuatu yang tidak
bisa dicampuradukkan. Yang tidak bisa untuk saling melengkapi. Adanya
perbedaan itu, berarti kita tidak berada pada garis yang sama. Kalaupun
kita berjalan bersisian, garis itu memiliki ujung yang berbeda.
Selamanya kita tidak akan pernah berada pada titik yang sama.
Lututku lemas. Dalam hitungan sepersekian
detik tubuhku ambruk. Aku terduduk dengan berurai air mata yang seakan
tak ada habisnya.
Sasuke menghampiriku dan ikut duduk di depanku.
“Itulah mengapa sejak awal SMA aku
mencoba sedikit menjauh darimu. Aku berusaha terlihat sangat fokus pada
sekolah sehingga terkesan mengabaikan keberadaanmu. Itu semua ku lakukan
untuk mencegah timbulnya perasaan ini. Untuk mencegah air matamu tumpah
ruah begini. Itu juga yang membuatku ingin mendekatkanmu pada lelaki
lain, lelaki yang bisa bersamamu, yang mencintaimu dan akan selalu
bersamamu, Namikaze Naruto itu. Dan itu juga yang membuatku merasa
senang atas kehadiran Sakura di antara kita, yang menjadi teman dekat
lain untukmu selain aku. Semua itu karena aku sangat ingin menjaga
perasaanmu.” Urai Sasuke.
Aku masih saja menangis sambil mendengarkan ucapannya.
“Kalau aku tidak mempedulikanmu, aku akan
langsung meninggalkanmu begitu saja agar tidak punya masalah perasaan
apapun denganmu. Tapi aku tidak begitu, kan? Setidaknya, aku berusaha
melepasmu secara perlahan. Karena aku telah berjanji pada ibuku untuk
menjagamu.”
Mataku membesar. ‘Untuk apa Sasuke berjanji pada ibunya untuk menjagaku?’ batinku.
Seakan bisa membaca pikiranku, Sasuke
melanjutkan, “Bagaimanapun, kau itu tetanggaku. Orang yang dekat
denganku. Terlebih kau sudah tidak mempunyai siapapun selain nenekmu.
Jadi sebagai teman, aku harus menjaga dan melindungimu. Itu permintaan
ibuku saat orang tuamu meninggal. Sejak kecil ibuku juga yatim piatu,
dan beliau sangat mengerti perasaanmu. Maka aku berjanji padanya untuk
selalu menjaga dan melindungimu. Sebagai teman, seperti seorang kakak.”
Aku masih sesenggukan walaupun air mataku tidak sederas tadi. Sasuke terus menemaniku sampai aku benar-benar berhenti menangis.
“Jadi?” tanyaku setelah air mataku berhenti menetes.
“Sibukkan pikiranmu dengan persiapan
perayaan ulang tahun sekolah, maka lama-lama perasaanmu padaku akan
netral kembali. Asalkan kau tidak membiarkan perasaan itu semakin
menjadi-jadi. Karena itulah, lebih baik kita berlatih seperti ini. Tidak
terlalu lama bersama, tapi kualitas penampilan kita tetap terjaga.”
Aku mengangguk. Sekarang bahkan aku rasanya ingin latihan kami setengah jam saja setiap harinya.
Sasuke menepuk-nepuk puncak kepalaku lembut. Lalu berdiri dan beranjak pergi.
“Tunggu, lalu bagaimana dengan Sakura? Seperti apa perasaanmu padanya?” tanyaku tiba-tiba.
“Apa itu penting bagimu? Yang penting adalah, ada atau tidak ada Sakura tidak akan mengubah status kita.”
“Well, aku hanya ingin tahu,” Ucapku sambil menghapus sisa-sisa air mata di pipiku. Lalu berdiri dan menghampirinya.
“Sebagai teman, kita kan bisa sharing.
Kau sudah tahu aku menyukai siapa, jadi aku juga ingin tahu kau
menyukai siapa. Katakan saja kau menyukainya atau tidak. Aku akan
mendukungmu sebagai sahabat.” Ujarku. Walaupun sakit, tapi kenyataan
bahwa aku tidak bisa menjadi lebih dari sahabatnya harus ku hadapi.
Sasuke menatap mataku lekat-lekat. Ia tidak mengatakan apapun, tapi aku bisa membaca jawabannya dari tatapan itu.
Ya, mana mungkin Sasuke dengan kejamnya mengiyakan pertanyaanku kalau aku sudah tahu jawabannya?
Zzz – zzZ
To Be Continue ...
Tag :
fiction,
Reborn [Part 5]
By : UnknownFan fiction Anime Naruto |
"Eh, untuk masalah itu… aku pikir…”
Chapter 5
“Waah, kalian sedang membicarakan apa?
Tampaknya seru sekali! Pasti membicarakanku, ya?” tebak Sakura dengan
cengiran lebar. Ia baru saja turun dari punggung Black Hole, kuda
kesayangannya.
“Ah, rupanya putri papa sudah selesai
berlatih. Bagaimana latihannya kali ini?” tanya Raja Kakashi balik,
tidak menjawab pertanyaan putrinya.
“Lho, kenapa Papa yang bertanya?
Seharusnya kan aku yang bertanya, bagaimana latihanku tadi menurut Papa
dan semuanya? Ada kemajuan kah? Huh, aku masih agak kesal dikalahkan
Sasuke tadi.”
“Kau selalu membuat kemajuan, Sayang.
Semangatmu untuk maju semakin besar.” Jawab ayahnya diplomatis.
Sebenarnya dari tadi Raja Kakashi tidak terlalu serius menyimak latihan
putrinya.
“Dari segi waktu ada sedikit kemajuan,
untuk masalah teknik, sebenarnya kau sudah bisa dikatakan mahir, hanya
saja kau juga harus memperhatikan keadaan Black Hole, bagaimanapun, ia
juga butuh istirahat, jangan terlalu diforsir untuk latihan. Tadi
kulihat Black Hole sudah kelelahan sehingga kau agak sulit
mengendalikannya, makanya di tikungan terakhir tadi kalian hampir
terpeleset.” Komentar kakak. Aku tidak menyadari kalau kakak ternyata
memperhatikan Sakura saat latihan tadi.
“Ya, benar sekali katamu. Di awal putaran
aku masih belum menyadari kalau Black Hole kelelahan. Habisnya, aku
masih tidak terima kalau kau masih sangat jauh di atasku. Hehehe.”
Ujarnya sambil terkekeh.
“Besok kan masih bisa latihan lagi.
Lagipula, kapan kamu mau berlatih memasak, berkebun, menyulam, dan yang
lainnya kalau kamu terus berlatih kuda?” tegur ibundanya, Ratu Aya.
“Tenang saja, Ma. Nanti sore kan aku
sudah punya jadwal dengan petugas dapur istana untuk berlatih memasak.
Oh ya, nanti kau ikut latihan masak denganku, ya!” ajak Sakura padaku.
“Baiklah.” Jawabku kalem.
“Hinata, kau harus hati-hati. Biasanya
Sakura hanya akan mencicipi makanan, jadi jangan sampai kau sudah
capek-capek memasak, dia tinggal menikmatinya saja.” Pesan Ratu Aya
mengingatkanku.
“Hahahahahahahaha.” Kami semua menertawai Sakura yang hanya merengut, sebelum akhirnya ikut tertawa bersama kami.
Mereka semua sangat baik, menganggapku dan kakak seperti keluarga. Rasanya memang kami cocok sekali menjadi satu keluarga.
Tapi, haruskah dengan pernikahan kakak dan Sakura?
Aku, aku… entah mengapa, rasanya tak mau kalau kakakku diambil orang lain. Bahkan oleh Sakura, satu-satunya sahabatku.
Sebenarnya, ada apa denganku? Ada apa dengan perasaanku? Ada apa dengan semua ini?
zzz
“Banyak sekali, Bi!” protes Sakura melihat begitu banyak bahan yang akan kami gunakan untuk memasak sore ini.
“Memang sebanyak ini, Nona. Karena kali
ini kita akan memasak menu yang spesial, dan kebetulan bumbu yang
dipakai banyak.” Jelas bibi Miru, kepala juru masak istana.
“Kenapa tidak membuat menu yang mudah saja? Aku kan baru belajar. Kita buat yang simple saja, Bi.” Rajuk Sakura.
“Maaf, Nona. Tapi ini perintah Ratu Aya.”
“Aah, mama ini. Huuh, baiklah.” Kata Sakura pasrah.
Aku dan bibi Miru mulai mengupas
bumbu-bumbu dapur dengan santai tapi cepat. Sementara Sakura mengupas
bawang merah saja lama sekali, sudah begitu ia mengupasnya terlalu
banyak, jadi ada bagian bawang yang memang strukturnya berlapis-lapis
itu yang terbuang.
Saat mengiris bawang, aku dan bibi Miru
yang sudah mahir tidak mengalami kendala apapun. Sedangkan Sakura
menghabiskan banyak tisu untuk menyeka air matanya. Aku dan bibi Miru
tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Aauw!” jeritku tanpa sadar setelah tanpa sengaja telunjuk kiriku tergores pisau. Ternyata aku lengah saat menatap Sakura tadi.
Sakura langsung meninggalkan pekerjaannya dan secepat kilat menghampiriku dengan ekspresi panik.
“Ya ampun, Hinata! Jarimu berdarah!” katanya panik tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan ini. Jangan panik.” Kataku yang justru menenangkannya.
Aku langsung beranjak keluar dari dapur dan mengobati lukaku. Sakura membuntutiku dengan khawatir.
“Hei, hei, hei. Ada apa ini? Apa sudah
matang masakannya?” tegur Ratu Aya melihat kami keluar dapur. Kali ini
ratu sangat bersikeras ingin Sakura belajar memasak.
“Hinata mengalami kecelakaan. Jadi latihan memasak kali ini disudahkan saja.” Jawab Sakura.
“Aku tidak apa-apa, hanya terluka sedikit. Setelah kuobati kita lanjutkan kembali latihannya.” Sanggahku.
“Tapi –“
“Sudahlah, aku baik-baik saja. Hanya sedikit luka kecil saja kok.”
“Baiklah…” ujar Sakura sambil mengerucutkan bibirnya.
Sekembalinya kami ke dapur setelah jariku
diobati dan dibalut rapi, Sakura benar-benar serius memasak. Ia bahkan
bersikeras melarangku memotong karena takut aku terluka lagi. Hampir
semua ia kerjakan, hanya agar aku tidak mengalami kecelakaan lagi.
Hah, dasar anak yang tak pernah ke dapur!
Melihat luka kecilku saja ia sampai bersikap berlebihan seperti itu.
Aku menggeleng-gelengkan kepala melihatnya begitu bersemangat
mengerjakan ini-itu. Setiap kali aku mau membantu, ia hanya mengizinkan
yang resikonya kecil. Alhasil aku hanya bisa mengaduk masakan saja.
“Sebenarnya kau tidak perlu bersikap berlebihan seperti ini. Sudah kubilang ini hal yang biasa terjadi.” Kataku.
“Tetap saja, bagiku, akulah yang membuatmu terluka seperti itu, karena aku yang mengajakmu.” Ucapnya merasa bersalah.
“Aku tidak apa-apa, sungguh!” kataku meyakinkannya.
“Maaf, dan… terima kasih.” Ujarnya sambil memelukku.
Aku terdiam sejenak sebelum membalas pelukannya.
Ya, Sakura. Aku tahu kau menyayangiku. Sangat. Aku pun juga ingin menyayangimu.
Sungguh, aku benar-benar ingin menyayangimu. Seperti apa yang seharusnya kurasakan pada calon kakak ipar. Bukan hanya seperti teman.
—zzz—
Untuk merayakan kesuksesan kami, Naruto
mengajak kami makan es krim di kedai pamannya, paman Jiraiya. Ia bilang
pamannya akan memberi diskon besar-besaran untuk kami. Tentu saja kami
bersorak gembira mendengarnya.
“Pamaan! Kami datang!” teriak Naruto di pintu masuk. Paman Jiraiya melambaikan tangan pada kami semua.
“Silakan masuk! Selamat datang di kedai
jelekku ini!” sambut Paman Jiraiya merendah. Kedainya bahkan sudah
memiliki beberapa cabang.
“Paman, aku menagih janjimu! Beri kami diskon besar-besaran!” pinta Naruto.
“Jadi drama kalian sukses?” tanya paman Jiraiya berbinar-binar.
“Sangat! Seandainya kau menonton, kau pasti akan sampai menangis-nangis!” sesumbar Naruto.
“Bagus, bagus. Kalau begitu aku tidak jadi memberikan kalian diskon.” Ujar paman Jiraiya kalem.
“Lho? Kenapa?! Kau kan sudah berjanji padaku kemarin?!!” protes Naruto.
“Aku memang tidak akan memberi kalian
diskon, tapi akan memberikan pesanan kalian secara cuma-cuma! Kalian
tidak perlu membayarnya! Itu hadiah untuk kalian! Selamat!” lanjut paman
Jiraiya sambil tersenyum lebar yang tampak seperti seringaian.
“Benarkah? Terima kasih, Paman!” teriak kami gembira.
Kami segera menempati kursi-kursi yang
ada. Beberapa meja disatukan sehingga kami bersepuluh bisa makan
bersama. Bahkan paman Jiraiya menarik satu kursi dan duduk di
tengah-tengah kami.
“Ceritakan padaku, bagaimana reaksi orang-orang setelah menonton penampilan kalian.” Pinta paman Jiraiya.
“Wuah, meriah sekali, Paman! Bahkan
sebelum kami berbaris untuk penutupan, tepuk tangan sudah membahana di
aula.” Jawab Yuuri dengan mata berbinar.
“Ya, lalu setelah kami menunduk, tepuk tangan itu semakin meriah.” Tambah Naomi.
“Sampai berisik sekali, bahkan.” Ujar Maruko.
“Banyak yang memberikan standing applause!” Hanawa tak mau kalah bercerita.
“Banyak yang bersorak-sorak memanggil nama kami!” kata Aya.
“Hey, tapi lebih banyak yang meneriaki nama Sasuke!” ralat Chouji.
“Dan Sakura! Sasuke dan Sakura benar-benar menjadi bintang!” sambung Aya.
“Sakura, hati-hati. Sepertinya
penggemarmu semakin membludak saja. Kau juga, Sasuke. Diam-diam kau
ternyata benar-benar menghanyutkan!” goda Chouji.
Pipi Sakura memerah, sementara Sasuke hanya menarik sudut kiri bibirnya sedikit.
“Memangnya Sakura dan Sasuke kenapa?” tanya paman Jiraiya.
“Sasuke adalah penulis naskah berbakat, dan Sakura adalah aktris yang jempolan!” jawab Aya.
“Wah, hebat, hebat. Sepertinya kalian cocok juga. Hehehe.” Goda paman Jiraiya.
Teman-temanku langsung bersorak menggoda-goda mereka. Sakura mendelik sebal, sedangkan Sasuke hanya terkekeh.
Tiba-tiba aku merasa tanganku mengepal kuat-kuat di kolong meja, sampai perih rasanya.
zzz
Baru kali ini aku merasakan es krim yang
pahit. Tapi aku yakin bukan karena kesalahan pembuat es krimnya. Mungkin
ini semua karena diriku sendiri. Aku benar-benar sedang bad mood
sampai-sampai es krim vanilla kesukaanku menjadi sangat tidak enak.
Teman-temanku sibuk menikmati es krim mereka, sesekali menjilat bibir
yang berlumuran es krim dan memuji paman Jiraiya yang menatap kami
dengan gembira. Mereka semua asyik berbincang-bincang dengan suara
keras, membuat hampir seluruh pengunjung menoleh. Hanya aku, Sasuke, dan
Sakura yang tidak ikut bersuara.
Sasuke tampak tengah menikmati es krim
dark chocolate-nya dalam diam. Tapi bisa kupastikan, rasa es krim yang
biasanya agak pahit itu menjadi sangat manis di mulutnya sekarang, dan
ia—yang biasanya tidak suka rasa manis– pasti jadi menyukai sensasi
manis itu. Sesekali aku melihat sudut kiri bibirnya tertarik kecil,
sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya senang.
Sakura pun tampak sangat menikmati es
krim strawberry-nya. Sesekali matanya menyipit menahan rasa asam yang
menyegarkan dari potongan-potongan strawberry di mangkuk es krimnya.
Pipinya masih merona. Melihatnya yang serba pink dengan es krim yang
warnanya serasi itu membuatnya semakin mempesona. Gerakannya sangat
anggun, sehingga bila mengingat tendangan mautnya seakan tak percaya
gadis seanggun itu mampu melakukannya.
Aku kembali melanjutkan gerakan tanganku menyendokkan es krim yang rasanya semakin tidak keruan itu.
“Kau kenapa, Hinata?” tanya Naruto – yang
walaupun dengan volume kecil– mengejutkanku. Aku tidak sadar ia sudah
keluar dari pembicaraan seru itu.
“Oh, tidak. Aku tidak kenapa-kenapa.” Dustaku.
“Sedang tidak enak badan? Kau tampaknya tidak nafsu makan begitu.”
“Aku baik-baik saja.” Tegasku halus.
“Atau, rasa es krimnya kurang enak?” desaknya lagi.
“Sudah kubilang aku baik-baik saja. Tidak
ada yang salah denganku, es krimnya, atau apapun. Semuanya baik-baik
saja.” Tegasku lagi dengan nada sedikit meninggi tapi dengan volume yang
masih tetap pelan.
Naruto sempat sedikit terkejut, sehingga
membuatku merasa bersalah dan ingin minta maaf kalau saja Sasuke tidak
tiba-tiba menoleh padaku dan Naruto yang berbicara dengan volume kecil
itu. Matanya menyiratkan rasa penasaran. Naruto –yang mudah-mudahan saja
tidak terluka karena ucapanku tadi– memutuskan kembali terjun pada
percakapan teman-teman yang lain.
“Sasuke, kau menyukai es krim yang agak pahit seperti itu ya?” tanya Sakura mengalihkan perhatian Sasuke dariku.
Sial! Tiba-tiba saja aku merasa darahku bergolak. Mengapa gadis itu merebut perhatian Sasuke?
“Ya. Aku kurang suka rasa manis. Rasa inilah satu-satunya rasa es krim yang kusuka.” Jawabnya.
“Apa kau sudah pernah merasakan es krim yang lain?” tanya Sakura lagi.
“Err, belum. Sejak awal aku memang memesan yang paling pahit. Yeah, walaupun tetap saja ada sedikit rasa manis di dalamnya.”
“Lalu bagaimana kau bisa memutuskan bahwa itulah rasa es krim yang paling kau suka?”
“Selama tidak manis, aku suka. Jadi menurutku pilihanku ini yang terbaik.”
“Tidak manis belum tentu pahit, bukan? Jadi, mengapa kau tidak mencoba rasa lain?”
“Maksudmu rasa asam?”
“Yeah, bisa saja. Untuk es krim mungkin hanya rasa asam yang tersisa, karena setahuku tidak ada rasa asin atau pedas. Hehehe.”
“Hmm, yeah, ku rasa kau benar juga. Mungkin lain kali aku akan mencobanya.”
“Mau mencoba sekarang?” tawar Sakura. Ia menunjuk mangkuk es krimnya.
Sasuke terdiam sesaat, sebelum menerima uluran mangkuk cantik itu dengan agak ragu.
“Cobalah!” kata Sakura melihat Sasuke yang hanya mengamati es krim itu.
Dengan sangat perlahan, Sasuke
menyendokkan sendok es krimnya yang masih sedikit berlumuran es krim
dark chocolate-nya ke dalam es krim strawberry Sakura.
Hap! Sasuke memejamkan matanya, menahan rasa asam yang menggigit tiba-tiba. Tapi sesaat kemudian ia tersenyum.
“Bagaimana?” tanya Sakura penasaran.
Sasuke masih merasa-rasakan sesendok es krim strawberry dalam mulutnya sekarang.
“Enak tidak?” desak Sakura.
“Hmm, tidak terlalu buruk.” Jawab Sasuke tersenyum, kemudian ia membuka kedua matanya dan menatap Sakura yang berbinar riang.
“Benar, kan? Rasa itu tidak hanya manis dan pahit. Masih ada rasa lain yang bisa jadi alternatif.”
“Yeah, kalau itu aku setuju. Tapi kalau memesan es krim strawberry… err, apa cocok aku memesan es krim pink begitu?” tanya Sasuke setengah tertawa.
“Mengapa tidak? Atau, kalau kau malu, kau
boleh meminta punyaku lagi. Aku kan baik hati, ramah tamah, lemah
lembut, rajin menabung dan tidak sombong. Hehehehe.”
“Dan jangan lupa: narsis!” ucap Sasuke yang ikut tertawa bersama Sakura.
Entahlah, aku merasa ada yang menyesakkan di dadaku. Dan aku tidak tahu kenapa mood ku bisa sehancur saat ini.
“Dan, satu hal lagi, Sasuke.” Kata Sakura di sela-sela tawanya.
“Apa?”
“Hmm,” Sakura menggantung kalimatnya.
Menahan napas sejenak sebelum melanjutkan dengan ekspresi serius, “Aku
memang tidak tahu apa alasanmu, tapi kupikir, kalau kau memang tidak
ingin ada teman sekolah kita yang mengetahui hubungan kalian, kau tidak
perlu bersikap dingin dan menjauhinya seolah-olah ia bahkan bukan
temanmu. Tidak harus bersikap yang bertolak belakang, bukan? Bersikap
sewajarnya saja seperti teman biasa, sebagai jalan alternatifnya.”
“Apa maksudmu?” tanya Sasuke tak paham.
“Well, hubunganmu dengan Hinata. Aku tahu
karena aku sering melihat kalian pulang-pergi bersama. Err… kalau kau
tidak ingin ada teman sekolah yang tahu hubungan kalian, tidak perlu
bersikap seolah tidak mengenalnya. Bersikap biasa saja. Oh ya,
sebelumnya aku minta maaf kalau menyinggung perasaanmu, tapi sebagai
teman, aku hanya ingin mengingatkanmu karena mungkin kau tidak
menyadarinya. Bagaimanapun, aku tahu, walaupun Hinata adalah gadis yang
sangat sabar, pasti menyakitkan sekali bila seperti… mmm, kekasih yang
tak dianggap.”
Aku terkejut bukan main. Ternyata Sakura salah paham mengenai hubunganku dengan Sasuke.
Sasuke terdiam dan menunduk sesaat,
sebelum kembali tertawa. Tapi aku merasa ada yang berbeda dengan tawanya
sekarang dengan yang tadi. Tawa ini hambar kebahagiaan, bahkan
cenderung ada kemirisan.
“Hahaha, jika saja kau tidak salah paham,
nasihatmu bijak sekali. Tapi, sepertinya psikolog pun tidak pernah
men-judge seseorang dan memberinya petuah begitu saja tanpa tahu yang
sebenarnya. Hahahahaha, kau ini lucu sekali.” ujar Sasuke di sela
tawanya.
“Maksudmu aku salah paham bagaimana?” tanya Sakura bingung.
“Aku dan Hinata bukan sepasang kekasih
seperti yang kau duga. Kami berteman baik sejak kecil, dan selalu
pulang-pergi bersama karena kami memang selalu sesekolah. Mengenai
sikapku di sekolah, well, mungkin karena aku tipe orang yang fokus pada
tujuanku, jadi aku benar-benar serius belajar di sekolah karena memang
itulah tujuanku.” Jelas Sasuke.
Sakura menggigit bibirnya, merasa tidak
enak sudah men-judge Sasuke seenaknya. “Hmm, tapi kan kau bisa besikap
sedikit lebih hangat padanya. Fokus sih bagus, tapi kalau sampai
mengabaikan sekitarmu kan jadinya tidak bagus juga. Aku saja yang hanya
melihat kalian merasa kurang senang dengan sikapmu, apalagi Hinata yang
merasakannya sendiri?” tambah Sakura.
“Ehm, aku baik-baik saja. Aku mengerti mengapa Sasuke bersikap seperti itu.” Elakku.
Sasuke menatapku, lalu kembali menatap Sakura dengan tatapan ‘Lihat, dia saja tidak mempermasalahkannya.’
“Well, aku minta maaf kalau begitu.
Habisnya, awalnya kukira kalian ini pacaran. Hehehehe.” Ujar Sakura
sambil terkekeh minta maaf.
Sasuke menyuapkan es krim dark chocolate ke mulutnya kembali. Juga memasang wajah-dengan-ekspresi-tak-tertebak lagi.
Aku hanya menghela napas. Entahlah,
sebenarnya Sakura benar. Memang itulah yang aku pertanyakan selama ini,
hanya saja tak pernah terlontarkan karena ketidakmampuanku. Tapi,
entahlah (lagi), aku merasa tidak senang dibantu olehnya. Karena,
entahlah. Mengapa ia harus berbuat baik padaku tapi aku tak pernah
menyukainya?
zzz
Setelah kenyang makan es krim dan kenyang
berbincang-bincang, kami semua pulang. Aku, Sasuke, dan Sakura ke arah
timur, sedangkan yang lain ke arah berlawanan.
Kami bertiga berjalan santai dalam diam. Sasuke berjalan di depan, sedangkan aku dan Sakura berjalan bersisian di belakangnya.
“Jadi, kalian itu bersahabat sejak kecil karena kalian bertetangga?” tanya Sakura merusak keheningan.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Wah, asyik ya punya tetangga yang
bersekolah di sekolah yang sama. Jadi bisa berangkat dan pulang bersama,
juga belajar bersama.” Katanya polos.
‘Oh, tidak! Jangan sampai…’ jerit batinku.
“Kau bisa bersama dengan kami. Rumah kita kan searah.” Ajak Sasuke. Kecemasanku nyata sudah.
“Kau juga bisa belajar bersama dengan
kami. Rumah kami tidak terlalu jauh kok dari rumahmu.” Tambahku.
Terlanjur basah, ya sudah mandi sekalian.
“Oh, tidak, tidak apa-apa. Itu tadi aku
hanya… err, bukan apa-apa. Aku sudah terbiasa sendiri kok. Sudah,
lupakan saja ya!” ucap Sakura tiba-tiba. Sepertinya ia merasa tidak enak
hati. Dan itu membuatku jadi ikut tidak enak. Apa tadi aku mengucapkan
dengan nada yang salah? Sampai-sampai Sakura tahu aku sebal
mengatakannya?
“Kau ini bicara apa? Rumah kita kan memang dekat. Tidak usah merasa tidak enak begitu!” kata Sasuke yang tiba-tiba ketus.
“Baiklah, kapan-kapan kita belajar
bersama, ya! Hehehe.” Sahut Sakura sambil menyeringai kecil, tapi
rautnya tetap menunjukkan perasaan bersalah. Entahlah, padahal kan dia
sudah tahu aku dan Sasuke hanya bersahabat.
Kami berpisah setelah menyeberang jalan
di lampu merah tempatku ditolong Sakura beberapa waktu lalu. Tapi kali
ini bukan Sasuke yang menggandeng tanganku, melainkan Sakura. Belum
apa-apa saja aku sudah kesal setengah mati.
“Daaah…” ucapnya sambil melambaikan
tangan padaku dan Sasuke. Aku membalas lambaian tangannya, sementara
Sasuke hanya mengangguk kecil.
Sakura berjalan ke sebuah tikungan,
memasuki perumahan. Aku melirik ke arah Sasuke dan mendapati matanya
menatap punggung gadis itu sampai ia menghilang. Tiba-tiba saja aku
merasa dadaku sakit.
zzz
Pagi hari. Aku dan Sasuke bertemu dengan
Sakura di lampu merah itu. Aku jadi heran, sebelumnya kami tidak pernah
bertemu, lalu sekarang setelah diajak Sasuke bersama jadi bertemu
begitu? Huh! Apa-apaan itu? Aku mendengus sebal dalam hati.
“Hai!” sapanya riang.
“Hai! Kebetulan sekali kita bertemu lagi. Ayo kita berangkat bersama!” ajakku seramah mungkin.
“Err… sebetulnya bukan kebetulan juga. Tadi Sasuke menelponku dan memintaku menunggu kalian di sini.” Ucapnya polos.
Deg! Dadaku rasanya dihantam petinju professional. Tapi aku segera menguasai diri.
“Ooh, bagus sekali. Jadi setiap hari kita bisa pulang-pergi bersama!” kataku, berusaha terdengar wajar.
“Hmm, mungkin kalau pulang sekolah tidak
bisa setiap hari. Karena kadang-kadang aku harus latihan taekwondo atau
langsung berangkat les.” Ucapnya.
“Memangnya kau ikut les apa?” tanya Sasuke yang sejak tadi terdiam.
“Memasak dan menjahit. Hehehe. Tidak keren sekali ya?” tanyanya sambil terkekeh.
“Menurutku itu sangat menarik. Jarang-jarang ada gadis yang mau ikut les seperti itu. Ku kira kau les musik atau semacamnya.”
“Tidak, aku memang buta sekali soal
musik, tapi aku sekarang ini sedang tertarik pada dunia ibu-ibu seperti
itu. Menyenangkan sekali lho, berada di antara ibu-ibu. Kau akan merasa
sangat muda. Hehehe.” Ujarnya bergurau.
Ha! Sakura memang buta sekali soal musik.
Bisa dibilang di situlah ia tidak bisa tampak mengagumkan. Entah
mengapa hal itu membuatku senang dan aku menyeringai dalam hati.
Tunggu, tunggu. Sebenarnya, ada apa dengan diriku? Mengapa aku bersikap seolah-olah ia adalah rivalku?
Tag :
fiction,
Reborn [Part 4]
By : Unknown
Tiga ketukan pelan terdengar di pintu
pondok. Aku yang sedang bermain-main dengan si rubah mungil kesayanganku
langsung membeku. Kupertajam kedua telingaku, dan kudengar bunyi yang
sama. Dengan was-was aku berjalan menuju pintu, mengintip di sebuah
lubang kecilnya.
Dalam sekejap
ketakutanku sirna. Tanpa pikir panjang aku segera membuka pintu dan
menghambur ke arah pengetuk itu. Ia membentangkan tangannya, bersiap
menerima serbuanku ke dalam pelukannya.
Kakak. Entah sudah berapa lama kami tak bertemu. Yang jelas sekarang ini kakak tampak jauh berbeda, dan jauh lebih baik.
“Hai, Tarzan! Apa kabar?” sapanya sambil mengelus rambut panjangku.
“Enak saja! Aku bukan tarzan!” jawabku sambil membenamkan wajahku di dadanya.
“Hahaha, baiklah, apa kabar, Adikku sayang?” tanyanya ulang.
“Tadinya tidak terlalu baik, tapi sekarang baik sekali!” jawabku sungguh-sungguh sambil mengangkat wajahku dan menatap mata onyxnya yang tajam.
“Aku senang mendengarnya.” Sahutnya seraya mencubit hidungku gemas.
Aku menyeringai lebar. Masih tidak mau melepaskan pelukanku.
“Kau tidak mau mengajak kakakmu masuk?” tanyanya.
“Oh iya, aku hampir lupa. Hehehe.” Jawabku tidak enak sambil melepaskan tanganku yang melingkarinya. Rasanya berat sekali.
Kakak memasuki pondok kami, lalu duduk di salah satu kursi kayu. Ia melepas topinya dan menggunakannya sebagai kipas.
Barulah pada saat itu aku menyadari. Ya, kakakku kini berbeda sekali. Pakaiannya sangat bagus.
“Kemana saja selama ini?” tanyaku.
“Nanti ku ceritakan. Sekarang aku
mengantuk sekali. Hoaaahm…” katanya sambil menguap lebar. Lalu ia
membaringkan tubuhnya di kursi sebesar ranjang itu.
Tak lama kemudian ia terlelap. Aku
memandanginya saat tertidur. Rasa rindu yang membuncah di diriku
membuatku ingin menyentuhnya. Tapi akhirnya kuurungkan, karena tidak
tega melihatnya kelelahan seperti ini. Akhirnya aku memutuskan untuk
membuatkan makanan untuknya saat terbangun nanti.
zzz
“Jadi, kakak sudah bertemu dengan paman itu?” tanyaku.
“Begitulah.” Jawab kakak yang kemudian menyesap minuman hangat yang kusediakan. Bukan kopi atau teh, tapi air jahe.
“Setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan dan berbulan-bulan tersesat?” tanyaku lagi.
Ia mengangguk tipis, masih menikmati air jahenya.
“Bagaimana perjalanannya? Menakutkan?” tanyaku.
Ia meletakkan gelasnya di meja sebelum
menjawab dengan panjang, “Awalnya sangat sulit. Aku harus terus
bersembunyi dan melakukan perjalanan di malam hari. Tapi semakin jauh
aku melangkah, semakin sedikit orang yang mengetahui siapa aku, sampai
akhirnya tidak ada sama sekali yang mengenaliku. Barulah aku bisa
berjalan dengan wajar, bergaul dengan baik, dan mendapat informasi lebih
mudah. Sampai akhirnya aku berhasil mengetahui letak kerajaan paman
Kakashi. Aku segera menuju ke sana tapi sempat tersesat beberapa kali,
setelah sampai pun tidak mudah untuk langsung menemui beliau.
Orang-orang tak percaya bahwa aku mengenal raja mereka. Setelah
kukatakan bahwa aku adalah anak Iruka, pengawalnya memberi tahu paman
Kakashi. Lalu paman Kakashi segera memerintahkan mereka untuk membawaku
menemuinya.”
“Paman Kakashi langsung percaya kalau kakak adalah anak ayah? Bukankah kalian belum pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku lagi.
“Memang belum, aku juga belum pernah ke
pondok ini sebelumnya tapi akhirnya berhasil menemukannya, bukan?
Setelah melihatku, paman Kakashi memandangku dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Awalnya dia agak ragu, tapi setelah aku menunjukkan kalung
ayah, paman langsung percaya.”
“Kalung? Kalung apa? Kakak tidak pernah memberitahuku tentang kalung sebelumnya.” Desakku.
“Ayah pernah berkata pada kakak, bila
keadaan genting, pergilah ke pondok ini dan carilah sebuah kalung yang
tersimpan di pondok tersebut. Lalu pergilah menemui paman Kakashi,
sahabat ayah. Pondok ini pun dibangun untuk mereka berdua. Jadi kakak
menuruti saja perkataan ayah.”
“Walaupun kakak sendiri tidak pernah tahu
sebelumnya? Tidak tahu dimana letak pondok ini secara pasti, tidak tahu
dimana kerajaan paman Kakashi, bahkan tidak tahu orangnya seperti apa?”
tanyaku heran pada kenekatan kakak.
“Itulah gunanya kepercayaan. Kalau kau
percaya dan yakin betul, kau akan berhasil. Walaupun kau buta sama
sekali sebelumnya.” Jawabnya mantap.
Aku terdiam. Mencerna kata-katanya dan
mencari apa lagi yang ingin kutanyakan. Sebetulnya banyak sekali yang
ingin kutanyakan, tapi mendadak hilang semua.
“Kau tidak bertanya apa yang terjadi kemudian?” pancing kakak.
Oh, ya. Tentu saja. Apa yang terjadi pada kakak selanjutnya?
“Ceritakan semuanya padaku.” Pintaku.
“Hmm, kurasa aku jadi haus lagi karena
terlalu banyak bercerita.” Sindirnya halus. Dengan sigap aku langsung
mengambilkan minuman untuknya lagi.
Setelah meneguk beberapa kali, kakak kembali melanjutkan ceritanya.
“Setelah paman yakin bahwa aku adalah
anak Iruka, paman langsung memelukku erat sekali. Ia bertanya-tanya apa
yang terjadi dengan ayah. Tapi sebelum aku bercerita, ia menyuruh
pengawalnya untuk mengurusku. Yeah, badanku bau sekali saat itu. Setelah
aku sudah bersih, rapi, dan wangi, ia memintaku menceritakan
selengkap-lengkapnya. Bahkan matanya merah dan sesekali air matanya
menetes. Istrinya, ratu Aya Haruka, menghabiskan banyak sekali sapu
tangan untuk menghapus air matanya. Ratu memang sangat lembut dan
berperasaan.” Ceritanya.
“Bagaimana dengan anaknya? Apa mereka memiliki pangeran atau putri?” tanyaku.
“Nah, di sinilah klimaksnya, Adikku yang
cantik. Paman Kakashi menanyakan padaku apakah aku mau menjadi
menantunya, karena beliau tidak memiliki putra. Mereka hanya mempunyai
seorang putri, yang sampai sekarang aku belum melihatnya karena selama
aku di sana ia sedang berkelana.”
“Berkelana?” tanyaku heran.
“Ya, mereka bilang putri mereka memang
agak unik. Oleh karena itulah paman terlihat agak ragu memintaku menjadi
menantunya. Tapi ia sangat berharap agar mau menyetujuinya.” Jawab
kakak sambil menarik sudut kiri bibirnya. Sepertinya ia tertarik pada
putri itu.
“Kakak –jangan bilang kakak mulai tertarik dengannya?!” tebakku.
Ia malah semakin menarik sudut bibirnya, “Apa menurutmu begitu?”
“Kak! Bagaimana kalau ternyata gadis itu
tidak seperti yang kakak bayangkan? Bahkan tadi kakak sendiri yang
bilang kalau paman Kakashi sebenarnya agak ragu meminta kakak menjadi
menantunya! Bagaimana kalau ternyata sang putri memiliki kelainan?
Bagaimana kalau ia cacat? Bagaimana –“
“Ssshht…” potongnya sambil mengacungkan telunjuknya di bibirnya, menyuruhku diam.
“Jangan terlalu berlebihan. Kita bahkan belum tahu siapa dia.”
“Justru karena kita belum tahu dia, makanya kakak jangan keburu jatuh cinta padanya!” bantahku.
“Siapa yang bilang kalau aku jatuh cinta padanya?” Tanya kakak.
“Yeah, hampir. Tapi jangan sampai.” Ucapku semakin pelan.
“Dengar, Hinata. Pikirkan bagaimana
kelangsungan kerajaan kita kelak. Kita masih bisa mempertahankannya
dengan cara ini. Kita masih bisa melanjutkan perjuangan ayah, kakek, dan
terus sampai raja pertama. Pikirkan bagaimana rakyat kita sekarang…
tunggu, bagaimana keadaan mereka selama kepergianku?” Tanya kakak.
“Masih aman. Walau hidup mereka tidak
sedamai dan sesejahtera dulu, tapi setidaknya kerusuhan itu sudah mereda
sejak kakak mulai pergi. Sebagian besar dari mereka memang sudah
menjadi rakyat mereka, tapi masih ada pengikut setia kita yang
mengungsi ke tempat lain dan bersembunyi. Mereka masih tetap menanti
kemunculan kita kembali.” Jelasku.
Aku memang tinggal sendiri di hutan, tapi
seperti yang ku bilang, pondok ini masih tidak terlalu jauh di dalam
hutan. Sesekali aku keluar hutan untuk memantau perkembangan, tentu
dengan menyamar. Aku benar-benar merahasiakan identitasku dari siapapun,
karena kawan bisa menjadi lawan setelah adanya perusuh seperti mereka, yang suka mengadu domba dan menipu rakyatku untuk kepentingan mereka sendiri.
Ya, mereka yang kumaksud adalah mereka yang telah menghancurkan kerajaanku dan…
MEMBUNUH-HAMPIR-SELURUH-KELUARGA-BESARKU.
“Karena itulah, Hinata. Aku harus menyelamatkan mereka.” Ucap kakakku.
“Dengan mengorbankan dirimu sendiri? Maksudku, kalau kau tidak mencintainya, kau tetap akan menikahinya demi rakyat kita?”
“Tenang saja, aku akan mencintainya. Aku akan mencintai istriku sepenuh hati.” Jawab kakakku mantap.
Mendengar keteguhan dalam nada bicaranya, hatiku tersentuh. ‘Betapa beruntungnya kau, Putri.’ Batinku.
zzz
Esok paginya, kami berangkat menuju kerajaan Kakashi. Kedatangan kakak adalah untuk menjemputku.
Aku memandangi pondok itu lama sekali.
Mengamati setiap detilnya, dan menyimpannya dalam ingatanku. Ketika
mataku menatap rubah itu, aku tak tahan untuk tidak mengajaknya.
Akhirnya kakakku mengizinkan karena toh rubah itu telah berjasa selama
ini menemaniku.
Kami berangkat pagi-pagi sekali. Sebelum
matahari terbit kami sudah mencapai batas aman dimana sudah bukan lagi
daerah rawan bertemu orang-orang dari kerajaan lama kami.
“Seberapa jauh jaraknya?” tanyaku.
“Hmm, berhubung aku sudah tahu jalannya, kurang lebih 3 bulan kita sudah sampai.”
“Apa?! Itu jauh sekali!”
“Tenang saja, Hinata. Bukankah kau sudah terbiasa memakan apapun yang kau temukan di jalan? Itulah yang akan kita lakukan.”
“Mengapa paman Kakashi tidak menyuruhmu membawa kuda atau apalah sebagai alat transportasi?” tanyaku.
“Paman sudah menawarkannya padaku. Bahkan
beliau juga memintaku untuk bersedia diiringi pengawalnya dengan kereta
kuda. Tapi aku menolak.” Jawabnya.
“Kenapa? Kau ini bodoh atau sombong sih?” tanyaku jengkel.
Kakak hanya tertawa mendengar omelanku. “Karena aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan adikku.” Jawabnya kemudian.
Tiba-tiba saja aku merasa pipiku terbakar. Kakak ternyata memang sangat, sangat baik dan menyayangiku.
zzz
Sepanjang sisa perjalanan, kami
benar-benar memanfaatkan waktu untuk melepas kerinduan kami. Aku yang
sudah terbiasa mandiri menjadi sangat dimanja oleh kakakku. Tapi aku
senang dengan perlakuannya.
Aku sangat suka memandangi kakak yang
sedang tertidur. Begitu polos dan tentu saja tampan. Dalam hati aku
membayangkan bagaimana putri yang kelak akan menjadi ratu dari kakakku
yang luar biasa ini.
Pertama-tama aku membayangkan seorang
putri yang hobi jalan-jalan dan menghamburkan banyak uang, mengingat
kata kakak ia sedang berkelana. Uugh, belum-belum aku sudah mual
membayangkannya.
Lalu aku membayangkan seorang putri yang
memiliki kelainan, mengingat kata kakak orang tuanya bilang ia unik.
Semacam autis atau semacamnya mungkin. Membayangkannya membuatku miris.
Atau, bagaimana kalau ia cacat? Atau
penyakitan? Sehingga ia harus dibawa pergi kemana-mana untuk mencari
pengobatan terbaik. Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Aku kembali melihat wajah kakakku yang
rupawan itu. Tiba-tiba aku berpikir, bagaimana kalau putri itu buruk
rupa? Sehingga bukan lagi beauty and the beast, tapi handsome and the
beast? Aku bergidik membayangkannya. Bukan, bukan karena aku tidak suka
orang yang tidak cantik. Aku sendiri tidak sangat cantik. Hanya saja,
membayangkan kakakku yang rupawan ini bersanding dengan putri yang buruk
rupa… apa malah tidak membuatnya ingin bunuh diri?
zzz
Tiga bulan yang rasanya bagaikan tiga
menit bila dibandingkan dengan rasa kangen kami setelah berpisah entah
berapa puluh bulan. Kami akhirnya tiba di kawasan Kerajaan Azalea.
Bunga-bunga Azalea bemekaran di awal musim panas ini. Kakak bilang
beberapa hari lagi akan diadakan festival. Dan di saat itulah putri
rencananya akan tiba.
“Selamat pagi, Tuan dan Nona! Selamat
datang di kerajaan Azalea!” sapa seorang gadis ramah di gerbang kerajaan
Azalea yang dikelilingi pagar beton.
“Selamat pagi!” jawabku. Kakak hanya menunduk sedikit.
“Apa memang setiap orang asing yang datang selalu disambut seperti ini?” bisikku pada kakak.
Kakak mengangkat bahunya. “Waktu aku datang ke sini tidak.”
“Mungkin Anda heran dengan penyambutan
saya. Perkenalkan, saya Sakura, dan saya memang ditugaskan untuk
menyambut kedatangan Anda. Silakan masuk, Tuan dan Nona. Anda berdua
sudah ditunggu raja dan ratu di dalam istana.” Ujarnya dengan senyum
yang terus terkembang.
Aku mengikutinya di belakang bersama
kakak. Ia berjalan di depan kami dengan langkah tegap. Sedikit terlalu
gagah untuk ukuran seorang wanita. Rambut merah mudanya dipotong sangat
pendek hingga menampakkan leher belakangnya. Ia tidak mengenakan baju
terusan seperti wanita pada umumnya, melainkan mengenakan sebuah kemeja
merah muda dengan dasi merah tua, disertai celana panjang merah tua. Aku
baru kali ini melihat wanita berpenampilan ‘berbeda’ seperti dia.
“Bagaimana perjalanan kalian?” Tanya Sakura.
“Baik-baik saja,” jawab kakak.
“Dan agak melelahkan.” Tambahku. Sakura tersenyum.
“Bagaimana kabar raja dan ratu?” Tanya kakak.
“Kabar mereka baik dan sehat.” Jawabnya.
“Syukurlah. Lalu keadaan Kerajaan Azalea?” Tanya kakakku lagi.
“Aman terkendali.” Jawabnya mantap.
Kakakku mengangguk-angguk lega. Sepertinya sebagian jiwa kakak sudah menjadi bagian dari Kerajaan Azalea.
“Bagaimana dengan sang putri?” tanyaku.
“Putri juga baik-baik saja.”
“Apakah dia sudah pulang dari
perjalanannya?” tanyaku lagi. Aku tahu sebenarnya kakak juga ingin tahu
tapi tidak tahu harus bertanya bagaimana. Maka untuk urusan ini biar aku
yang ambil alih.
“Yang jelas, putri berjanji bahwa pada saat festival ia akan datang.” Ujarnya.
Ternyata, Sakura adalah gadis yang baik.
Walaupun penampilannya agak ‘berbeda’, tapi ia orang yang menyenangkan.
Dalam waktu singkat aku bisa mengaguminya. Bahkan ia bisa mencuri
perhatian kakakku, walau kakak menutupinya.
zzz
H-1 festival. Semua lapisan masyarakat
kerajaan Azalea sibuk mempersiapkan acara tahunan paling meriah negeri
itu. Di setiap rumah terdapat semacam koinobori tetapi bukan
berbentuk ikan, melainkan bunga Azalea. Alun-alun di pusat kota
didekorasi sedemikian rupa dengan beragam peralatan perlombaan, karena
keesokan harinya ada banyak perlombaan yang diadakan di lapangan itu.
Akan ada lomba balap kuda, memanah, memasak, dan sebagainya.
“Wah, ramai sekali. Sepertinya festival besok akan sangat meriah,” ucapku.
“Begitulah, setiap tahun selalu seperti
ini. Dan aku selalu sangat menyukai momen ini.” Kata Sakura yang
membawaku berkeliling sore itu.
“Puncak acaranya kapan? Nanti malam?” Tanya kakak.
“Tidak. Puncak acaranya besok siang.
Festival ini memang diadakan siang hari. Tetapi mulai nanti malam ada
pasar malam yang akan berlangsung tiga malam berturut-turut.” Jelasnya.
“Puncak acaranya seperti apa?” tanyaku.
“Hmm, penanaman tanaman Azalea oleh raja,
lalu seluruh anggota kerajaan, kemudian oleh beberapa orang perwakilan
rakyat negeri ini.” Jawab Sakura sambil tersenyum bangga.
“Hah? Seperti itu? Unik sekali,” ucapku kaget, tetapi ada kekaguman di dalamnya.
“Apa dari dulu seperti itu?” Tanya kakak.
“Mmm, tidak juga, acara seperti itu baru dimulai beberapa tahun belakangan.”
“Apa itu ide sang putri?” Tanya kakak lagi.
Sakura tersenyum sebelum mengangguk.
Tiba-tiba saja kakak menarik sudut kiri
bibirnya. Dapat kulihat di matanya kalau ia sangat penasaran dengan
putri ini dan bahkan sudah tertarik padanya.
Oh, tidak. Jangan mulai lagi.
zzz
“Sakura, apa putri sudah dekat? Kira-kira
sudah sampai di mana ya?” tanyaku saat aku, Sakura, dan kakakku sedang
makan mie di sebuah kedai di pasar malam.
“Hmm, yang pasti sang putri sudah dekat. Sudahlah, besok siang ia akan datang.” Jawabnya, kemudian melanjutkan makannya.
zzz
Akhirnya, saat yang paling
kutunggu-tunggu tiba. Hari festival, dimana saat itu putri akan datang.
Hmm, seperti apa ya, dia? Membuatku penasaran saja.
Dengan gaun panjang warna violet dengan
aksen bunga Azalea warna biru aku siap datang ke alun-alun untuk
merayakan festival sekaligus menyambut kedatangan sang putri. Rambut
panjangku dibiarkan terurai dengan Gainsborough Hat menutupi puncak kepalaku dan melindungi wajahku dari teriknya matahari.
Tiga ketukan pelan terdengar di pintu kamarku.
“Hinata, apa kau sudah siap?” Tanya kakak.
“Ya, aku sudah siap.” Jawabku lalu segera keluar menghampirinya.
“Mana Sakura?” tanyaku.
“Tadi pagi salah satu petugas istana
memberitahuku kalau Sakura tidak bisa berangkat bersama kita.” Jawab
kakak, tiba-tiba saja aku bisa mendengar ada nada muram dalam suaranya.
“Ooh,” sahutku, entah kenapa aku juga merasa sedikit kecewa. Ia seperti temanku di sini.
“Ayo kita ke ruang makan, paman dan bibi sudah menunggu.” Kata kakak.
Aku berjalan menuju ruang makan dengan
pikiran tertuju pada Sakura. Membayangkan berjalan tanpa Sakura, aku
jadi merasa tidak nyaman. Sakura selalu bercerita ini-itu, membuat
suasana cair. Kalau hanya bersama kakak, pasti akan membosankan sekali.
“Omong-omong, adikku cantik sekali,” ucap kakak tiba-tiba, mengagetkanku saja.
“Eh? Terima kasih, Kak.” Jawabku sambil tersipu. Kemudian ku amati kakakku dan menilai penampilannya.
Yeah, kakakku juga keren sekali. Dengan pakaian ala pangeran berwarna biru tua kakak terlihat sangat gagah.
“Kakak juga keren dan tampan sekali,” pujiku.
“Terima kasih,” jawabnya singkat.
Kami melanjutkan langkah kami ke ruang makan dengan diam. Sesampainya di ruang makan langsung terdengar teriakan Ratu Aya.
“Hinata sayang, kau cantik sekali!!” puji Ratu Aya dengan mata berbinar-binar.
“Terima kasih, Anda juga sangat cantik, Yang Mulia.” Jawabku kalem.
“Sasuke, kau benar-benar gagah seperti
ayahmu, tapi jauh lebih tampan dibandingkan beliau,” puji Raja Kakashi
pada kakak setelah kami duduk. Raja Kakashi menepuk-nepuk bahu kakakku.
“Terima kasih, Anda pun sangat tampan dan gagah.”
“Oh ya, Ratu, apa sang putri sudah datang? Atau masih dalam perjalanan?” tanyaku.
“Eh? Oh, itu…” kata Ratu yang tiba-tiba saja tampak gugup.
“Ia sudah dekat. Nanti saat di alun-alun kalian akan bertemu dengannya.” Jawab Raja menggantikan Ratu.
Walaupun agak bingung dengan sikap Ratu, aku mengangguk-angguk saja.
Ketika kulirik kakak, aku bisa melihat raut campur aduk dalam wajahnya, juga ekspresi yang sama tercermin dalam matanya.
Penasaran, cemas, dan… entahlah.
zzz
“Selamat siang Raja Kakashi, selamat
siang Ratu Aya, selamat siang Pangeran Sasuke, selamat siang Putri
Hinata, dan selamat siang seluruh hadirin! Pada final pertandingan balap
kuda yang sudah dimulai beberapa minggu belakangan ini, marilah kita
sambut para finalis termasuk sang putri yang juga menjadi salah satu
peserta pertandingan ini!” ucap salah satu pembawa acara dengan pengeras
suara. Semua hadirin bertepuk tangan dengan sangat meriah.
“Apa? Putri ikut lomba balap kuda? Bukankah peserta pada umumnya laki-laki?” tanyaku heran.
“Begitulah, di negeri ini, perempuan pun
boleh ikut. Bahkan di final ini ada dua orang perempuan dari 10 finalis.
Salah satunya sang putri.” Jawab Ratu Aya bangga.
Aku mengamati para finalis yang sudah
siap di tempat start. Ya, dua di antaranya mengenakan gaun yang diangkat
dengan celana panjang di baliknya. Tapi yang mana putrinya, aku masih
belum tahu.
“Putri mengenakan gaun merah, yang itu.” tunjuk ratu seolah mengerti kalau aku tidak tahu yang mana sang putri.
Aku mengikuti arah yang ditunjuk ratu,
mengamati seorang gadis yang mengenakan gaun merah, sementara gadis yang
lain mengenakan gaun merah muda. Tapi aku tidak bisa melihat wajah
siapapun dari sepuluh finalis itu.
Tiba-tiba aku jadi teringat Sakura.
“Ratu, apakah salah satunya Sakura?” tanyaku.
“Eh, emm, ya, salah satu dari mereka
adalah Sakura. Wah, sepertinya sudah mau dimulai.” Jawab Ratu yang entah
kenapa tiba-tiba seperti berusaha mengalihkan pembicaraan.
Saat terdengar bunyi tembakan ke udara,
para finalis langsung melesat dengan kuda masing-masing. Ternyata putri
hebat juga. Beberapa kali ia memimpin, walau terkadang dikalahkan oleh
salah satu finalis pria yang juga hebat. Mereka berdua memimpin di depan
bergantian.
Mendekati garis finish, mereka masih saja
salip-salipan. Tidak ada yang bisa memprediksi siapa yang akan menang
karena posisi mereka terus menerus bergantian.
Dan…
Finish! Seekor kuda berwarna keabuan tercatat sebagai yang tercepat, disusul kuda hitam dalam sekejap.
Semua hadirin bertepuk tangan. Aku suka
sekali pada semua penonton, walaupun yang dijagokan sebagian besar dari
mereka tidak menjadi juara pertama, tetapi mereka tetap turut bergembira
untuk memberi selamat pada pemenang.
Kupikir setelah itu aku akan bisa bertemu
dengan sang putri, tapi ternyata putri masih mengikuti satu perlombaan
lagi, yaitu memanah.
Walau belum sempat istirahat, penampilan
putri sangat mengagumkan. Aku memandanginya dengan kagum, tapi masih
belum bisa melihat wajah dibalik jaring cocktail hat-nya.
Setelah harus puas dengan juara dua di
pertandingan balap kuda, kali ini putri benar-benar puas dengan predikat
juara pertama. Seluruh hadirin bersorak gembira.
“Hidup Putri Sakura!” ucap salah seorang dengan keras.
“Hidup!” jawab yang lain.
Eh? Apa aku tidak salah dengar tadi? Namanya siapa? Putri Sakura?
Dengan langkah sedikit gagah yang sangat tidak sesuai dengan gaun cantiknya, sang putri melangkah mendekat.
Dan terus mendekat.
Sampai akhirnya aku bisa melihat samar wajahnya.
Dan aku terkesiap.
Ya, dia Putri Sakura. Yang selama ini
menemaniku dari hari pertama aku menjejakkan kakiku di negeri ini. Yang
menyambut kedatangan aku dan kakak dari gerbang utama. Yang tidak bisa
berangkat bersama kami tadi pagi. Yang terlalu gagah untuk ukuran
wanita. Yang menjadi juara 2 lomba balap kuda bahkan juara pertama dalam
lomba memanah. Yang sedang berjalan ke arah kami.
“Sakura…” pekikku dengan suara tercekat setelah ia berdiri tepat di hadapanku sambil tersenyum.
“Ya, ini aku. Akulah yang selama ini kau tunggu.” Jawabnya.
“Tapi, kenapa? Kenapa kau berbohong?” tanyaku.
“Berbohong? Seperti apa kalimat persisnya
yang menunjukkan kalau aku berbohong? Apa kau pernah bertanya padaku
apakah aku putri atau tidak dan kujawab tidak?”
“Bukan, bukan begitu. Kau bilang putri akan datang saat festival.”
“Apa aku berbohong? Aku kan hanya bilang
putri akan datang saat festival, itu bisa berarti sebelumnya pun putri
sudah datang, dan saat festival putri juga datang.”
“Tapi –“ aku tak tahu harus bilang apa.
Ya, dia memang benar, tapi entah kenapa dadaku rasanya sesak. Aku tetap
merasa dibohongi.
Putri yang selama ini kubayangkan yang
buruk-buruk ternyata adalah putri yang luar biasa. Yang selama ini
membuatku khawatir ternyata adalah yang selalu menenangkanku di sini.
Yang selama ini membuatku kesal karena akan segera merebut kakakku
ternyata adalah teman yang kusayangi.
“Maafkan aku, Hinata.” Ucapnya sambil memelukku.
Aku hanya mematung. Tak membalas pelukannya. Aku sangat bingung.
“Hahaha.” Tiba-tiba kakakku tertawa.
“Ada apa? Oh ya, aku juga minta maaf padamu karena juga tak memberitahumu.” Ujar Sakura setelah melepas pelukannya padaku.
“Kau benar-benar…” ucap kakakku menggantung, sepertinya berusaha memikirkan kata yang tepat.
“Unik.” Lanjutnya. Setuju dengan ucapan orang tua Putri Sakura.
Sakura hanya tersenyum lebar.
Setelah menanam tanaman Azalea, kami
kembali ke istana. Putri Sakura berada di satu kereta kuda yang sama
denganku. Tangan kirinya tak lepas dari menggenggam tanganku. Sementara
tangan yang lain sibuk melambai-lambai pada para warga yang tak henti
memandang iring-iringan kereta kuda kerajaan.
Aku mengikutinya, melambaikan tanganku.
Tapi gerakan kami sangat berbeda. Aku dengan caraku seperti biasa,
melambai dengan anggun sambil tersenyum manis. Sedangkan Sakura melambai
ceria dengan cengiran lebar, sesekali berteriak memanggil nama orang
yang dikenalnya.
Apa seperti ini putri di kerajaan Azalea?
Sikapnya di dalam istana pun tidak
berubah seperti Sakura yang ku kenal sebelumnya. Lebih suka bepergian
dengan kemeja dan celana panjang kesukaannya, sementara untuk mengenakan
gaun harus dipaksa-paksa. Cara berjalannya masih sangat gagah, cara
bicaranya sangat blak-blakan, pokoknya sama sekali tidak anggun. Bahkan
kalau di negeriku dulu, wanita seperti itu pasti tidak layak menjadi
putri. Tapi sepertinya di negeri ini berbeda. Raja dan Ratu sangat
menyayanginya, walaupun sesekali memarahi tapi tidak pernah mempan.
Rakyat pun sangat mencintainya. Rasanya tidak ada jarak antara dirinya
dengan rakyat pada umumnya. Pantas saja aku bisa terkecoh saat itu.
“Jadi, bagaimana, Sasuke? Apa tanggapanmu
mengenai putriku?” Tanya paman pada suatu sore, saat kami sedang
menonton putri berlatih menunggang kuda agar semakin baik. Sebelumnya
kakak juga ikut menunggang kuda dan jauh lebih unggul daripada dirinya,
lalu kakak istirahat sebentar.
“Hmm, Putri Sakura sangat menarik.” Jawab kakakku sambil menarik sudut bibirnya.
“Benarkah? Jadi, mengenai tawaranku waktu itu, apa kau sudah mendapat jawabannya?” Tanya Raja Kakashi.
“Dari diriku sendiri sudah, tapi tentu
aku akan bertanya pada adikku dulu, Yang Mulia. Dialah satu-satunya
keluarga yang aku punya.” Jawab kakak sambil menoleh padaku. Aku
langsung salah tingkah.
“Hinata, kau sudah tahu tawaran yang paman ajukan pada kakakmu?” Tanya Raja Kakashi.
“Sudah.” Jawabku setelah sebelumnya susah payah menelan air liurku.
“Jadi, bagaimana jawabanmu?” Tanya Raja. Ratu juga memandangiku dengan penasaran.
“Eh, untuk masalah itu… aku pikir…”
zzz
Tag :
fiction,
Reborn [Part 3]
By : Unknown
Chapter 3
Sore hari, pulang sekolah. Aku berjalan
dengan langkah lambat seperti biasa menyusuri koridor sekolah. Walaupun
sudah sangat sore, aku tidak berusaha mempercepat langkahku karena
Sasuke sedang ada keperluan. Aku tidak mau terlalu lama menunggunya di
tempat kami biasanya bertemu untuk pulang bersama, di sebuah kedai es
krim milik paman Jiraiya, tetangga kami. Bukan karena aku tidak suka
berlama-lama di kedai paman yang poligami itu (tentu karena aku yakin ia
tidak mungkin merayuku), tetapi paman Jiraiya sangat baik sehingga
selalu menyodorkan es krim tambahan setelah aku menghabiskan pesananku.
Melewati ruangan ekskul, aku mendengar suara teriakan seorang gadis. Aku melongok melalui jendela untuk mencari tahu.
Sakura. Ia
sedang berlatih taekwondo. Sepertinya ia sedang privat atau semacamnya,
karena hanya ada dia dan pelatihnya di ruangan itu. Mungkin ia sedang
berlatih intensif untuk menghadapi pertandingan atau sejenisnya. Aku
tidak tahu pasti. Yang jelas kemampuannya dalam dunia bela diri itu
sudah tak diragukan lagi. Teriakannya barusan terlontar saat ia
melakukan tendangan. Pelatihnya tersenyum sumringah, puas atas kemampuan
anak didiknya.
Tiba-tiba aku melihat bayangan diriku
samar di kaca jendela tempat aku mengintip latihan Sakura. Begitu beda.
Aku dan dirinya sangat jauh berbeda. Aku yang lemah dan kikuk, ia yang
kuat dan tangguh. Tetapi, walaupun menjadi ‘most wanted girl’ di
sekolah, aku tak pernah mendengarnya memiliki kekasih. Mungkin ia orang
yang pemilih. Yeah, wajar saja baginya. Ups! Mengapa aku jadi senang
berspekulasi tentangnya begini?
Aku sedang ingin meneruskan kembali langkahku yang tadi sempat terhenti saat kudengar seseorang memanggilku.
“Hei, Hinata!” sapanya riang.
Aku menoleh dan mendapati Naruto sedang setengah berlari ke arahku.
“Kau belum pulang?” tanyanya.
Aku menggeleng. ‘Kalau aku sudah pulang, lalu dengan siapa kau bicara sekarang?’ batinku.
“Mau pulang denganku?” tawarnya.
“Tidak perlu, terima kasih. Aku ingin mampir dulu ke suatu tempat.” Tolakku halus.
“Kalau boleh aku tahu, kemana?” tanyanya penasaran.
‘Ugh, ingin tahu sekali sih orang ini!’ rutukku dalam hati. Tapi aku tetap menjawabnya, “Kedai es krim milik paman Jiraiya.”
“Oh! Kau sering ke tempat itu?” tanyanya terkejut campur senang.
“Hmm, yaa, lumayan sering.”
“Wah, aku tidak menyangka kau adalah pelanggan setia pamanku!” katanya semangat.
“Pamanmu? Jadi paman Jiraiya itu pamanmu?” tanyaku terkejut.
“Iya! Waah, kalau begitu, ayo kita ke
sana! Kebetulan aku juga sedang ingin makan es krim gratis!” ajaknya
sambil menarik tanganku.
“Ta –tapi…”
“Ayo, nanti kau kuberi diskon!”
zzz
Kincring! Sebuah lonceng berdenting saat
pintu kedai dibuka. Naruto yang masih tak melepas tanganku menarikku
masuk. Aku terpaksa mengikutinya, padahal aku sudah melihat Sasuke
beranjak pulang di depan sekolah tadi. Tapi ia bersikap seolah-olah tak
melihatku.
“Pamaan! Aku mau es krim cokelat
istimewa!” teriaknya pada paman Jiraiya. Lalu menoleh padaku dan
bertanya, “Kau mau apa, Hinata?”
“Aku… aku pesan yang biasa saja, Paman.” Jawabku langsung pada paman Jiraiya.
“Lho, Hinata, tumben kau ke sini bersama Naruto. Biasanya –“
“Ya, aku tadi bertemu dengan Naruto dan ia mengajakku kemari bersama.” Potongku.
“Benar. Dan nanti aku akan mengantarnya pulang.“ lanjut Naruto.
“Lho, tapi –“
“Dan sepertinya Naruto sudah tidak sabar ingin makan es krim. Dari tadi ia menarikku dengan cepat.” Potongku lagi.
Dipotong dua kali, paman Jiraiya memilih
untuk tidak bicara lagi. Kuharap paman bisa mengerti maksudku, bukan
malah sakit hati oleh sikapku ini.
“Hinata, kau biasanya ke sini bersama siapa?” Tanya Naruto.
“Hmm, sendiri saja.” Jawabku. Aku tidak
bohong, aku memang biasanya sendiri ke sini, lalu bertemu dengan Sasuke
dan kami pulang bersama.
“Kau biasanya memesan apa?”
“Seperti yang ku pesan sekarang. Lihat saja saat nanti datang.”
Tak lama kemudian pesanan kami datang.
Kami menghabiskan es krim kami sambil mengobrol, atau lebih tepatnya dia
berbicara, aku mendengarkan.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk.
Maaf, aku sudah di rumah. Kau harus pulang bersamanya.
Dari Sasuke. Aku mendengus kesal.
“Ada apa?”
“Hmm, tidak apa-apa.” Dustaku.
“Jadi, bagaimana, nanti jadi kan pulang bersamaku?” tawarnya lagi.
“Kurasa ya.” Jawabku akhirnya.
Senyum Naruto mengembang maksimal sebelum akhirnya ia bersorak senang.
“Kenapa?” tanyaku.
“Hmm, tidak apa-apa.” Jawabnya menirukan jawabanku tadi.
zzz
Esok paginya aku sengaja berangkat lebih
awal untuk menghindari Sasuke. Aku sedang kesal padanya. Kenapa sih ia
bersikeras ingin agar aku bersama Naruto? Yang kuinginkan kan dia!
Mendekati lampu merah, aku kembali gugup. Keringat dingin menerobos pori-pori dahiku. Tanganku mulai bergetar kecil.
Lampu hijau! Aku melangkahkan kakiku yang rasanya sangat kaku itu. Pasti aku tampak seperti robot rusak sekarang.
Kuning. Oh, tidak. Bahkan aku belum sampai setengah jalan! Kurasakan kakiku semakin berat, seakan tertarik magnet di dasar bumi.
Merah. Tepat di tengah-tengah jalan raya,
mobil-mobil itu mendapat giliran untuk maju. Kepalaku mulai pusing. Aku
merasa semuanya berputar.
Diin.. Diin..! Bunyi klakson mobil-mobil
membuatku kepalaku semakin pening. Pandanganku seketika menjadi gelap.
Aku menjambak sejumput rambutku, seakan kepalaku ingin pecah. Kupejamkan
kedua mataku yang menjadi tak berfungsi itu.
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku yang oleng tak keruan ini ditangkap seseorang. Ia langsung membawaku ke seberang jalan.
Setelah beberapa saat berusaha menenangkan diri, aku membuka mataku.
Sepasang mata emerald jernih membalas tatapanku. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya.
“Yeah. Kurasa begitu. Terima kasih, Sakura.” Jawabku.
“Kupikir kau sebaiknya jangan meninggalkan Sasuke lagi.” Pesannya.
Aku terkejut. Mataku melebar.
“Kau –kau tahu darimana?” tanyaku heran.
Ia hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang sangaaat manis, dan juga membuat penasaran.
“Hati-hati, oke? Sebentar lagi Sasuke
datang.” Ujarnya sambil menoleh ke seberang jalan. Sasuke berdiri di
sana, sudah mau menyeberang.
Sakura kemudian pergi begitu saja.
Tak lama kemudian Sasuke datang. Dengan tatapan marah campur khawatir, ia memarahiku.
“Sudah berapa kali kukatakan?! Kau HARUS selalu berangkat bersamaku!” ucapnya dengan nada tinggi.
Aku menunduk dalam-dalam. “Maaf,” hanya itu yang dapat kukatakan.
Sepanjang sisa perjalanan ia benar-benar seperti bisu. Tak mau bicara padaku, tapi matanya selalu mengawasiku.
zzz
Pelajaran olah raga, pelajaran paling kubenci seumur hidupku.
Dengan gesit ia berlari kesana kemari, membalas pukulan shuttle cock lawan. Sesekali ia memberi kesempatan padaku, yang sebagian besar ku hancurkan kesempatan itu karena shuttle cock
itu tidak mengarah ke tempat yang benar, atau bahkan tidak melampaui
net. Tapi ia tak pernah berhenti menyemangatiku dan kembali memberiku
kesempatan apabila skor kami masih aman.
Ia baik. Sangat baik dan bahkan terlalu
baik. Tapi tidakkah ia menyadari bahwa ke-baik-annya membuatku benci?
Aku benci, karena kesenjangan antara aku dengannya semakin jauh.
Ia mengibas-ngibaskan rambut pink
sepinggangnya yang dikuncir ekor kuda. Kami menang lagi kali ini, dan
itu menyelamatkan nilai pelajaran olah ragaku. Aku seharusnya berterima
kasih padanya.
“Hinata, kau ada kemajuan! Itu bagus sekali!” ucapnya tulus.
Yeah, ia tidak salah. Aku memang bisa
memukul raket dengan tepat satu kali lebih banyak daripada minggu lalu.
Tapi tentu saja hal itu tidak lantas membuatku bahagia.
Aku mengangguk tipis seraya mengatakan, “Terima kasih.” Akhirnya bisa juga kukeluarkan kata itu.
Ia menenggak air minumnya lalu mengelap
dagunya yang basah terkena tumpahannya saat meminum dengan terburu-buru
tadi. Melihatku diam saja, ia mengacungkan botol minumnya.
“Kau mau?” tawarnya.
“Tidak, terima kasih.” Tolakku halus. Sebenarnya aku memang sangat haus, aku lupa membawa minuman dan sangat malas ke kantin.
“Sudahlah, aku tahu kau haus. Minumlah!” bujuknya sambil meletakkan botol minumnya ke tanganku.
Mau tidak mau aku menerimanya. Aku meneguk air segar yang langsung membasahi kerongkonganku.
“Ini, terima kasih,” ucapku sambil mengembalikan botol minumannya. Ia menerima dengan cengiran lebar.
“Kau marah padaku?” tanyanya menyelidik.
“Ha? Tidak.” Jawabku agak terkejut dengan pertanyaannya.
“Kupikir kau marah karena tadi aku jarang
memberimu kesempatan. Maaf ya, bukannya aku mau main sendiri, tapi aku
hanya ingin menyelamatkan nilai kita.” Urainya.
“Oh, aku tidak berpikir begitu. Aku malah
senang kau jarang memberiku kesempatan, karena aku pasti akan lebih
banyak menyia-nyiakannya.” Jawabku.
Kami terdiam. Ia mengelap keringatnya yang masih deras lalu mengipas-ngipaskan dirinya dengan buku.
“Err, Sakura, aku mau tanya.” Kataku
tiba-tiba. Aku sendiri agak kaget mengapa aku berkata begitu. Aku hanya
merasa aku ingin menanyakannya.
“Apa?” tanyanya. Matanya melebar penasaran.
“Itu… bagaimana… bagaimana kau bisa tahu aku sering berangkat bersama… dia?”
Ucapku terbata. Aku tak ingin menyebutkan nama orang yang ku maksud,
karena aku khawatir ada yang mendengar obrolan kami. Lagi pula Sakura
sudah tahu siapa yang ku maksud.
“Oh… tentu saja aku tahu. Aku kan sering melihat kalian pulang-pergi.” Jawabnya santai.
“Lho, memang rumahmu di mana?” tanyaku
heran. Arah rumahku dan Sasuke memang berbeda dengan rumah-rumah teman
sekolahku pada umumnya. Aku dan Sasuke tinggal di daerah yang cukup sepi
dan agak jauh, bahkan bisa dibilang cukup terpencil. Anak-anak
tetanggaku biasanya bersekolah di sekolah yang terletak di dekat rumah
kami, tapi aku dan Sasuke memilih sekolah yang berbeda. Teman sekolah
kami hampir tidak ada yang tahu rumah kami, lagipula kami sama-sama
pendiam dan tidak punya teman. Siapa yang akan peduli pada kami?
“Rumahku searah dengan kalian kok. Tapi tidak sejauh kalian. Hmm, lebih tepatnya di dekat lampu merah itu.” jawabnya.
zzz
Pelajaran sastra. Kelompok kami (aku,
Sasuke, Sakura, Naruto, Chouji, Aya, Yuuri, Naomi, Maruko dan Hanawa)
mendapat giliran tampil. Semua teman-teman dari kelompok lain sudah
sangat penasaran bagaimana penampilan drama yang dibuat oleh penulis
terkenal di sekolah, Uchiha Sasuke.
Setelah berganti baju, tiba-tiba saja perutku mendadak mulas. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Tanganku mulai bergetar.
“Hinata, ada apa?” tanya Sakura. Matanya
menatapku khawatir. Aya, Yuuri, Naomi, dan Maruko yang sudah lebih dulu
selesai sudah keluar dari tadi.
“Aku… kurasa aku demam panggung!” jawabku pelan sekali. Aku malu sekali mengakuinya.
“Tenanglah, Hinata. Semuanya akan
baik-baik saja. Kau sudah sangat hebat saat latihan. Percayalah, kau
juga pasti hebat saat tampil nanti!” ujarnya menenangkanku. Tangannya
mengusap-usap punggungku lembut.
“Tapi… aku takut. Aku takut, Sakura!
Bagaimana nanti kalau aku tiba-tiba gemetar hebat? Bagaimana nanti kalau
aku salah? Bagaimana? Aku takut, Sakura! Semuanya menantikan penampilan
kelompok kita! Bagaimana kalau aku menghancurkannya? Bagaimana –“
“Sshht…” potongnya sambil mengunci mulutku dengan telunjuknya.
Aku diam, tapi dalam hatiku tidak bisa diam.
“Dengarkan aku. Sekarang, tutup matamu!” perintahnya. Aku hanya bisa menuruti saja.
“Tarik napas dalam-dalam… tahan…
hembuskan perlahan. Lakukan itu berulang kali sampai jantungmu berdetak
dengan normal dan teratur.” Tambahnya. Lagi-lagi aku hanya bisa menurut.
“Berdoa dalam hati. Itu yang paling utama.” Instruksinya lagi.
‘Ya Tuhan, jangan biarkan aku
mengacaukan semuanya. Aku tidak ingin mengecewakan siapapun, terutama
Sasuke. Ya Tuhan, beri aku kekuatan. Amin.’
Aku mengangguk sebagai tanda doaku sudah selesai.
“Sekarang, dengarkan aku lagi. Kita sudah
berlatih sebaik mungkin, dan kita akan menampilkannya sebaik mungkin.”
Ucapnya meyakinkanku.
Aku mengangguk mantap.
“Baik, sekarang buka matamu.”
Aku membuka mata, disambut oleh mata hijau emerald jernihnya yang berkilauan.
“Bagaimana?” tanyanya.
“Jauh lebih baik. Terima kasih, Sakura.” Ucapku sungguh-sungguh.
Sakura tersenyum. Lagi-lagi senyumnya
membuatku iri. Sangat manis dan, lebih dari itu, sangat tulus. Aku bisa
melihat ketulusan terpancar dari dirinya. Sudah cantik di luar, cantik
pula di dalam.
“Ayo bergegas, kita pasti sudah ditunggu.” Ajaknya. Kami bergegas keluar dari ruang ganti.
Ini pementasan drama pertama bagi kami.
Sasuke sendiri sebelumnya hanya sering menulis naskah. Kemampuan akting
kami benar-benar ingin dilihat sekarang.
Ceritanya sebenarnya sederhana. Apalagi
bagianku, tidak sulit sama sekali. Aku hanya duduk terdiam di sebuah
bangku, membaca surat dan berekspresi sesuai isi surat itu. Isi surat
itu dibacakan dalam bentuk rekaman suara Sakura, yang berperan sebagai
penulis surat itu. Sakura dan yang lain berakting sesuai isi surat itu,
menggambarkan keadaan yang tertulis di surat tanpa dialog.
Kakak,
Maafkan aku, aku tahu kau pasti terkejut menerima surat ini.
Aku menampakkan ekspresi yang memang benar-benar terkejut.
Maafkan
aku, dulu aku meninggalkanmu begitu saja. Aku benar-benar kalut dan
takut saat itu. Perceraian orang tua kita saja sudah terasa mencekikku.
Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baik ayah maupun ibu tidak mau
membawa kita bersamanya. Aku merasa sangat sakit. Perasaan tertolak dan
terbuang begitu menguasaiku, tak peduli seberapa besar mereka
berpura-pura ingin mengajak kita tapi mereka tidak bisa. Aku tahu,
keberadaan kita sudah tidak lagi diharapkan.
Sasuke yang berperan sebagai ayahku dan
Sakura bertengkar dengan Yuuri yang berperan sebagai ibu kami. Sasuke
membawa koper besar dan beranjak pergi, lalu Sakura menariknya,
menatapnya dengan tatapan memohon. Sasuke menggeleng perlahan sambil
mengusap kepalanya lembut. Lalu Sasuke benar-benar pergi. Sakura
menghampiri Yuuri, menggenggam tangannya dan menatapnya dengan tatapan
sama seperti saat ia menatap Sasuke tadi. Tapi Yuuri juga menggeleng, ia
memeluk Sakura dan menepuk-nepuk punggungnya lembut. Aya yang berperan
sebagai aku waktu kecil hanya terdiam.
Maafkan
aku, aku tidak menurutimu yang mengajakku untuk tinggal bersama nenek
dan memulai kehidupan baru di luar kota. Aku begitu egois saat itu, yang
kuinginkan hanyalah melupakan bahwa aku punya keluarga agar aku bisa
melupakan rasa sakit itu. Aku pergi tanpa tujuan seorang diri, tanpa
pemberitahuan apapun.
Aya menarik sebuah koper besar dan
menjinjing sebuah tas besar. Di punggungnya juga tergendong sebuah
ransel. Ia menyerahkan tas yang dijinjingnya pada Sakura. Tapi Sakura
lari meninggalkan Aya. Aya mencoba mengejarnya tapi kepayahan dengan
beban yang dibawanya.
Maafkan
aku, aku membuatmu benar-benar panik saat itu. Kepergianku secara
mendadak membuatmu menunda kepergianmu beberapa minggu, tapi aku tak
kunjung ditemukan. Kau menitipkan alamat rumah nenek pada salah satu
tetangga kita.
Aya berlari dari salah satu sisi panggung
ke sisi lain, lalu kembali lagi dengan ekspresi sama: panik dan
frustasi. Lalu dengan muram Aya menyerahkan sebuah kertas pada Hanawa.
Maafkan
aku, aku benar-benar bukan adik yang baik. Aku hidup di jalanan dan
berteman dengan orang-orang yang menurut sebagian besar orang bukanlah
orang baik-baik. Tapi menurutku mereka semua baik, mungkin karena aku
sudah tidak lagi baik-baik. Mereka membantuku melupakan rasa sakitku.
Yeah, walaupun hanya sementara, tapi setidaknya rasa sakit yang
tertancap kuat dalam diriku bisa menjadi tak terasa saat aku tidak
sadar.
Sakura berjalan sendirian dari sisi
panggung sebelah kiri, di arah berlawanan ada Naruto, Chouji, Naomi, dan
Maruko. Mereka berempat yang berpenampilan berantakan itu sedang
tertawa-tawa. Lalu Naruto menghampiri Sakura dan mengajaknya bergabung.
Awalnya Sakura nampak canggung, tapi lama-lama terbiasa. Chouji
menawarkan sebuah bungkusan pada Sakura. Sakura menerima dan
menghirupnya tanpa ragu sampai hilang kesadaran. Mereka berlima pesta
narkoba bersama.
Aku menggeleng-geleng tak percaya.
Maafkan
aku, aku mengeluh dan mengerang setiap rasa itu datang. Rasa dimana aku
benar-benar membutuhkan penenangku. Rasa yang begitu sakit, seperti
sekarat tapi tak kunjung mati. Rasa yang sama hebatnya dengan rasa sakit
dalam hatiku selama ini. Tapi kali ini, fisikku lah yang luar biasa
kesakitan. Lengkap sudah penderitaanku. Jiwa ragaku sudah sakit dan
benar-benar hancur.
Sakura di tengah-tengah panggung
sendirian. Ia meringkuk dan menggigil hebat. Aktingnya di bagian ini
sangat luar biasa, ia betul-betul menjiwai karakter yang dimainkannya
sebagai orang yang sedang sakau. Ia benar-benar mampu menunjukkan
kesakitan yang luar biasa. Bibirnya bergetar meringis, begitu miris dan
membuat yang melihatnya seperti teriris-iris.
Aku memegang dadaku dan mencengkeram bajuku, ikut merasakan perih yang dirasakan Sakura.
Maafkan
aku, aku hanya bisa tersenyum dan mengucapkan selamat dari jarak jauh
padamu saat kulihat kau kini sudah menjadi orang hebat.
Sakura memandang koran yang dipegangnya dengan mata berkaca-kaca sambil tersenyum.
Aku mengangguk-angguk kecil.
Maafkan aku, yang menyesali pilihanku yang salah.
Sakura menulis sesuatu di selembar kertas, lalu menelepon seseorang.
Maafkan aku, aku tahu kau masih selalu berusaha mencariku, tapi kau tidak akan bisa menemukanku.
Sakura memasukkan banyak pil ke dalam
mulutnya. Kemudian menyuntikkan sesuatu ke lengan kirinya. Setelah itu
ia menghirup serbuk yang sudah dipersiapkannya. Dalam waktu singkat,
tubuhnya mengejang-ngejang, buih putih keluar dari mulutnya. Matanya
membeliak seakan mau meloncat. Tiba-tiba Naruto datang dan dengan
terkejut ia hampiri Sakura. Sakura menyerahkan surat yang tadi
ditulisnya pada lelaki itu sebelum akhirnya mengejang semakin hebat yang
dengan tiba-tiba langsung berhenti. Tanpa ada gerakan apa-apa lagi.
Aku menutup mulutku dengan telapak tangan dan menggeleng-geleng tak percaya sebelum merosot dari bangku yang kududuki.
zzz
Guru dan teman-temanku yang lain langsung
bertepuk tangan begitu penampilan kami berakhir. Kami bersepuluh
berbaris sambil berpegangan tangan lalu menundukkan badan. Suara tepukan
tangan penonton semakin meriah, bahkan tidak sedikit yang memberikan standing applause. Sakura yang berdiri di sebelahku mengeratkan genggaman tangannya, seolah berkata, ‘Benar, kan, semuanya baik-baik saja?’
Kami tidak dapat menghentikan senyuman kami. Rasanya lega sekali melihat semuanya berakhir dengan tidak mengecewakan.
zzz
“Itu tadi keren sekali! Kau lihat, banyak yang memberikan standing applause pada kita!” pekik Naruto setelah kami selesai beres-beres di backstage.
“Benar! Akhirnya usaha kita tidak sia-sia!” sahut Chouji.
“Yeah, lega sekali rasanya!” Ucap Aya sambil menghembuskan napas lega.
“Aku jadi ingin bermain drama lagi!” Kata Yuuri.
“Bagaimana aktingku tadi? Apa aku cocok jadi artis?” Tanya Naomi.
“Aktingmu bagus kok. Kalau aku bagaimana?” Tanya Maruko balik.
“Kau juga bagus kok. Ayo kita ikut casting saja kalau begitu!” Ajak Naomi.
“Ya! Dan kita akan terkenal!” Jawab Maruko.
“Dan banyak uang!” Tambah Hanawa.
“Dan punya banyak penggemar!” Ucap Yuuri.
“Kyaa! Aku tidak bisa membayangkannya!” Teriak Naomi histeris.
Teman-teman sekelompokku asyik
berbincang-bincang dengan semangat menggebu-gebu. Sepertinya mereka
ketagihan bermain drama. Aku hanya terdiam sambil sesekali tersenyum
kecil mendengar celotehan mereka. Sasuke diam tanpa ekspresi, tapi bisa
kulihat matanya menunjukkan sorot puas. Sakura tertawa-tawa kecil.
Lalu Sasuke menoleh pada gadis yang tengah tertawa-tawa itu, menatapnya dengan tatapan yang membuat darahku serasa mendidih.
“Sakura, kau tadi luar biasa.” ucapnya pelan. Hanya Sakura, aku, dan ia sendiri yang mendengarnya.
Sakura menoleh ke arahnya, lalu menjawab,
“Kau juga hebat. Aku selalu mengagumi kemampuanmu dalam menulis.”
Ucapnya pelan, lalu Sakura kembali mengarahkan pandangannya ke
teman-teman kami yang masih larut dalam perasaan gembira.
“Dan aku selalu mengagumi kemampuanmu
membuat semua orang terkagum-kagum, termasuk aku.” Balas Sasuke dengan
sangaaaaat pelan. Sakura tidak menanggapinya, entah karena tak mendengar
atau memang pura-pura tak mendengarnya.
zzz
To Be Continue..
Next : Reborn [Part 4]
Tag :
fiction,